
Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
PAGI itu, pukul 08.15 WIT, Sabtu 23 Agustus 2025, langit Kebar, sebuah distrik pegunungan di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya masih diselimuti kabut tipis.
Udara dingin yang menyeruak dari pegunungan dan padang rumput nan hijau, menusuk tulang dan seakan ikut menyimpan gelisah.
Di tengah kesunyian yang hanya sesekali dibuyarkan deru kendaraan, sebuah perjalanan kecil menuju Puskesmas Distrik Kebar menyimpan cerita besar tentang hidup dan mati.
Seorang ibu muda, Papuana Aremin, datang dengan wajah menahan perih. Tangannya meremas kain sarung. Tubuhnya sesekali menggigil.
Keluhannya sederhana, namun sarat makna: perutnya terasa kencang, tanda bahwa kehidupan baru dalam rahimnya sedang berjuang mencari jalan lahir.
Pada pukul 09.20 WIT, seorang petugas kesehatan melakukan pemeriksaan. Pembukaan jalan lahir baru mencapai 4 cm. Empat jam kemudian, pembukaan meningkat drastis menjadi 9 cm, persalinan kian mendekati puncaknya.
Namun, jalan seakan buntu. Bayi tak kunjung turun. Sunyi yang mencekam menyelimuti ruangan sederhana Puskesmas itu. Para tenaga kesehatan bekerja dengan segala keterbatasan.
Mereka mencoba segala cara, hingga akhirnya memanggil dokter. USG dilakukan. Tampak kepala dan perut bayi, berat janin diperkirakan 3,752 kg. Tapi posisi sulit.
Persalinan normal mustahil dilakukan. Dengan nada tegas penuh tanggung jawab, dr. Zebasthian Sibuea memutuskan: pasien harus dirujuk ke Rumah Sakit Umum, demi menyelamatkan dua nyawa sekaligus.
Refleksi dari Kebar
Peristiwa di Puskesmas Kebar bukan sekadar catatan medis. Ini adalah cermin keterbatasan fasilitas kesehatan di pedalaman Papua.
Pertanyaan pun menggema: sudahkah negara dan Pemerintah Indonesia memenuhi janji konstitusionalnya bagi warga di tanah paling timur republik ini?
Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Pasal 5 UU ini bahkan menegaskan: “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.”
Namun realitas di tanah Papua sering kali jauh dari teks hukum, aturan, regulasi dan sentuhan kebijakan pemerintah. Di banyak distrik, termasuk Kebar yang menjadi distrik tertua di Tambrauw, jarak rumah sakit bisa jadi penentu nasib antara hidup dan mati.
Tanah Papua masih mencatat angka kematian ibu yang tinggi. Data BPS 2023 menunjukkan angka kematian ibu di Papua mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup, jauh di atas rata-rata nasional 189 per 100.000.
Sementara, angka kematian bayi di Papua berada di kisaran 35 per 1.000 kelahiran hidup, hampir dua kali lipat dari rata-rata nasional 19 per 1.000.
Berdasarkan data SKALA – Australia–Indonesia Partnership Program (2024), indikator prioritas pembangunan layanan dasar, termasuk kesehatan, di Papua Barat Daya dan Papua secara keseluruhan.
Data itu misalnya menunjukan, Angka Kematian Ibu (Maternal Mortality Rate / MMR) di Papua Barat Daya tercatat 343 per 100.000 kelahiran hidup, sama dengan rata-rata di Papua secara keseluruhan.
Sementara Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rate / IMR) di Papua Barat berada pada sekitar 37 per 1.000 kelahiran hidup, jauh lebih tinggi dari angka nasional.
Statistik ini bukan sekadar angka, melainkan potret nyata risiko yang dihadapi ibu-ibu dan perempuan Papua seperti Papuana Aremin setiap kali mereka melahirkan.
Otsus dan Harapan yang Tertunda
Otonomi Khusus (Otsus) Papua melalui UU No. 21 Tahun 2001 yang kemudian diperbarui dengan UU No. 2 Tahun 2021, sebenarnya memberi ruang besar untuk menjawab masalah ini.
Salah satu prioritas Otsus adalah pembangunan kesehatan berbasis kondisi sosial budaya lokal. Dana Otsus bukan hanya angka di laporan keuangan, tapi seharusnya menjelma menjadi puskesmas yang lengkap, dokter yang memadai, ambulans yang sigap, serta fasilitas persalinan yang aman.
Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan ketimpangan. Distrik Kebar, salah satu wilayah tertua di Kabupaten Tambrauw saja masih berhadapan dengan keterbatasan infrastruktur.
Jalanan berliku, ambulans terbatas, bahkan sinyal komunikasi sering hilang. Di balik bukit-bukit Tambrauw, suara perempuan Papua masih sering tak terdengar. Mereka melahirkan dalam diam, dengan risiko tinggi.
Kisah Papuana Aremin adalah semacam cerita sastra tentang kemanusiaan. Ini mengingatkan kita bahwa kesehatan bukan sekadar urusan medis, melainkan persoalan keadilan sosial.
Otsus Papua dan pemekaran wilayah hadir bukan untuk membangun jalan, gedung pemerintahan yang megah dan menambah banyak ASN Papua yang sebelumnya jadi pengangguran. Tetapi untuk menghadirkan pelayanan dasar yang menyentuh rahim seorang ibu dan napas pertama seorang bayi.
Teriakan sunyi di Puskesmas Kebar adalah alarm yang tak boleh lagi diabaikan. Dari rahim ibu Papua, seharusnya lahir harapan baru: sebuah sistem kesehatan yang benar-benar hadir untuk semua.
Mungkin, dari satu peristiwa di sebuah distrik kecil bernama Kebar, kita diajak merenung: di manakah letak keadilan ketika seorang ibu harus melawan waktu demi sebuah kehidupan?
*Mantah, Kusme Aya Marak