
Sekjen PBB, Antonio Guterrez saat bertemu Perdana Menteri PNG, James Marape di Port Moresby (doc: info.gov.pg)
Port Moresby, Papua Nugini – Awal September 2025 menjadi babak baru dalam sejarah diplomasi di Pasifik. Ibu kota Papua Nugini (PNG) yang biasanya tenang, berubah menjadi panggung penyambutan megah.
Suara tarian tradisional, gemuruh sorak-sorai rakyat, dan kibaran bendera menyambut kedatangan sosok penting, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) António Guterres.
Kunjungan Guterres dari 2 hingga 5 September ini bukan sekadar agenda diplomatik biasa. Ini adalah Sekjen PBB pertama yang mengunjungi PNG selama masa jabatannya.
Momen ini kian istimewa karena bertepatan dengan perayaan 50 tahun kemerdekaan PNG, sebuah tonggak sejarah yang mengukuhkan perjalanan panjang negara kepulauan ini dalam membangun demokrasi di tengah keanekaragaman budaya yang luar biasa.
Dalam pidatonya yang bersejarah di Parlemen Nasional PNG pada 3 September, Guterres menyoroti tiga pelajaran penting yang ditawarkan PNG kepada dunia: dialog, aksi iklim, dan inklusivitas.
Guterres memuji keragaman PNG yang luar biasa dengan lebih dari 800 suku, bahasa dan tradisi yang tak terhitung jumlahnya. Namun tetap mampu berbicara dengan satu suara untuk perdamaian dan kemajuan.
“Anda adalah juara multilateralisme dan semangat itu sangat dibutuhkan di dunia kita hari ini,” ujarnya.
Kunjungan ini juga menegaskan posisi strategis PNG sebagai penjaga gerbang krisis iklim global. Sebagai rumah bagi dua dari tiga warga Pasifik dan dengan 7% keanekaragaman hayati dunia, PNG menghadapi ancaman langsung dari kenaikan permukaan laut dan cuaca ekstrem, meskipun kontribusi emisi karbonnya hampir nihil.
Guterres menekankan pentingnya suara negara-negara Pasifik dalam mendesak negara-negara G20, yang bertanggung jawab atas 80% emisi global, untuk mengambil tindakan tegas.
Ia juga menyerukan reformasi pendanaan iklim, termasuk peningkatan kontribusi untuk dana kerugian dan kerusakan (loss and damage fund), yang saat ini masih jauh dari memadai.
Bougainville: Model Perdamaian dan Penentuan Nasib Sendiri
Kunjungan Sekretaris Jenderal PBB António Guterres ke Papua Nugini (PNG) bukan hanya sebatas seremoni diplomatik.
Ia menyinggung pelajaran penting yang lahir dari sejarah panjang konflik di Bougainville, sebuah pulau kecil di timur PNG yang pernah menjadi episentrum salah satu perang saudara paling mematikan di kawasan Pasifik.
Perjanjian Damai Bougainville tahun 2001 (Bougainville Peace Agreement/BPA) menandai berakhirnya perang saudara berdarah yang berlangsung hampir satu dekade (1988-1998).
Konflik ini berawal dari eksploitasi tambang tembaga raksasa Panguna, yang dikelola Rio Tinto. Ketidakadilan pembagian hasil tambang, kerusakan lingkungan, serta diskriminasi terhadap masyarakat Bougainville melahirkan perlawanan bersenjata.
Perang ini menewaskan sekitar 15.000–20.000 orang, dan melumpuhkan kehidupan sosial ekonomi pulau itu. BPA memberikan Bougainville otonomi khusus yang luas, termasuk hak membentuk pemerintahan sendiri dan militerisasi minimum.
Lebih jauh, BPA memuat klausul hak untuk menggelar referendum penentuan nasib sendiri, yang akhirnya dilaksanakan pada tahun 2019. Hasilnya mencengangkan: 97,7% pemilih mendukung kemerdekaan penuh dari PNG, dalam pemungutan suara dengan tingkat partisipasi hampir 87%.
Sejak BPA ditandatangani, Bougainville telah menjalani lima kali pemilihan umum otonomi, menunjukkan stabilitas demokrasi yang relatif langka di kawasan yang sarat konflik.
Dalam kunjungannya, Guterres menyebut pengalaman ini sebagai “model penyembuhan” bagi dunia, karena menunjukkan bagaimana dialog, konsensus, dan kesabaran dapat menggantikan peluru.
Perdamaian Bougainville bukanlah proses yang berjalan sendiri. PBB memainkan peran signifikan melalui United Nations Observer Mission in Bougainville (UNOMB) yang mengawasi pembuangan senjata, mendukung rekonsiliasi, hingga memfasilitasi referendum.
Dana Pembangunan Perdamaian (Peacebuilding Fund) PBB juga menyalurkan jutaan dolar untuk program pembangunan pascakonflik. Bagi Guterres, Bougainville adalah bukti bahwa “intervensi multilateral yang tepat dapat menjadi penopang demokrasi dan stabilitas.”
Dinamika Regional: Bayangan Kanaky dan Papua Barat
Namun, kesuksesan Bougainville bukan tanpa bayangan. Di saat Guterres memuji PNG atas pencapaian perdamaian, perhatian publik Pasifik juga tertuju pada dua wilayah lain: Kanaky (Kaledonia Baru) dan Papua Barat.
Kanaky adalah wilayah seberang laut atau tepatnya masih menjadi wilayah jajahan Prancis yang menjadi bagian dari rumpun budaya Melanesia. Sejak Perjanjian Nouméa 1998, Prancis berjanji memberi jalan bagi referendum kemerdekaan.
Referendum kemudian digelar sebanyak tiga kali: Pada referendum pertama di tahun 2018, sebanyak 43,3% memilih merdeka. Lalu pada referendum kedua 2020, sekitar 46,7% memilih merdeka.
Kemudian referendum ketiga dilaksanakan pada 2021 dengan sekitar 96% menolak merdeka. Tetapi referendum ini diboikot kelompok pro-kemerdekaan yang dipelopori Front de Libération Nationale Kanak et Socialiste (FLNKS), yang menilai prosesnya tidak adil. Sebab digelar di tengah pandemi COVID-19.
Meski hasil referendum menolak kemerdekaan, ketidakpuasan masih membara. Pada Mei 2024, protes besar di Nouméa pecah, menewaskan sedikitnya 9 orang. Gelombang ini dipicu rencana Prancis mengubah aturan pemilu lokal yang dinilai merugikan penduduk asli Kanak.
Hingga kini, status politik Kanaky masih menjadi perdebatan sengit, dan banyak negara Pasifik seperti Vanuatu terus mendesak PBB agar mengawasi lebih ketat proses penentuan nasib sendiri di wilayah itu.
Papua Barat: Luka Panjang yang Belum Sembuh
Jika Bougainville menjadi teladan perdamaian, Papua Barat justru mencerminkan jalan buntu. Sejarah Papua Barat penuh kontroversi.
Sejarah kolonisasi dimulai pada 1962, ketika Belanda sebagai negara yang mengkolonisasi Papua Barat menyerahkan administrasi wilayah ini kepada PBB melalui UNTEA.
Kemudian pada 1963, Papua diserahkan kepada Indonesia dan pada 1969 dilaksanakan Act of Free Choice (Pepera). Dari sekitar 800.000 jiwa, hanya 1.025 orang yang dipilih dan dipaksa secara kekerasan untuk memberikan suara.
Hasilnya hampir 100% mendukung integrasi dengan Indonesia. Banyak dokumen, termasuk laporan misi PBB sendiri, mengakui proses ini jauh dari standar demokrasi, penuh rekayasa, manipulasi dan intimidasi oleh militer Indonesia.
Sejak itu, Papua Barat dilanda kekerasan structural dengan status sebagai wilayah pendudukan, kolonisasi dan perampokan sumber daya alam. Operasi militer berkepanjangan, perampasan tanah adat, pelanggaran hak asasi manusia dan diskriminasi rasial menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Laporan OHCHR 2019 menegaskan adanya pelanggaran HAM serius, termasuk penembakan demonstran, pengekangan kebebasan berpendapat di muka umum melalui aksi demonstrasi, hingga penahanan sewenang-wenang dan penghilangan paksa (pembunuhan) para aktivis Papua.
Selain itu, akses internasional ke Papua Barat hampir tertutup. Media asing dibatasi, dan permintaan kunjungan resmi OHCHR sejak 2018 tak pernah dikabulkan oleh pemerintah Indonesia.
Guterres sendiri ketika ditanya soal Papua hanya mengatakan bahwa PBB “melakukan tugasnya” melalui Dewan HAM, sebuah jawaban yang dianggap terlalu diplomatis dibanding dukungan terbuka negara-negara Pasifik seperti Vanuatu, Tonga, dan Kepulauan Solomon.
Pasifik di Persimpangan, Menghubungkan Tiga Peta Jalan
Bougainville, Kanaky, dan Papua Barat menunjukkan tiga jalur berbeda dalam isu penentuan nasib sendiri di Pasifik.
Bougainville misalnya, dalam upaya penyelesaian konflik, telah dilakukan dialog beserta komitmen politik yang melahirkan proses damai dan demokratis. Meskipun tantangan transisi menuju kemerdekaan penuh masih besar.
Sementara Kanaky, proses penyelesaian konflik dan tuntutan kemerdekaan dari rakyat pribumi Kanak diakomodir Pemerintah Kolonial Perancis dengan jalan referendum yang sudah ditempuh sebanyak tiga kali. Namun legitimasi politik dipertanyakan, dan kolonialisme Prancis masih membayangi.
Sedangkan Papua Barat yang sudah menjadi wilayah pendudukan dan kolonisasi Indonesia selama lebih dari 6 dekade dengan konflik yang terus berkepanjangan, proses demokratis terhambat sejak awal.
Dengan represi negara dan pemerintah Indonesia masih terus berlanjut dan ruang dialog (perundingan) yang perlu difasilitasi oleh pihak internasional seperti Aceh masih tertutup rapat. Atau kesempatan untuk bisa menentukan nasib sendiri melalui referendum seperti Timor Leste dan Bougainville masih dikunci Pemerintah Indonesia.
Ketiganya menjadi cermin perdebatan besar di kawasan: apakah PBB dan komunitas internasional siap menegakkan prinsip hak menentukan nasib sendiri (self-determination) yang dijamin Piagam PBB, ataukah kepentingan geopolitik dan ekonomi akan terus mendikte arah sejarah?
Dalam konteks inilah, kunjungan Guterres ke PNG punya makna ganda: ia memuji perdamaian Bougainville sebagai “model,” tetapi sekaligus diingatkan bahwa di Kanaky dan Papua Barat, jalan menuju perdamaian dan keadilan masih panjang dan penuh rintangan.
Kunjungan Guterres ke PNG, yang bertepatan dengan peringatan kemerdekaannya, secara simbolis menjadi cerminan perjalanan panjang sebuah bangsa yang membangun identitas nasional. Kunjungan ini juga merupakan pengakuan atas peran penting negara ini di panggung global.
Tetapi pada saat yang sama, ia juga menyoroti ironi: PNG, sebagai juara perdamaian melalui dialog, berbagi perbatasan dengan wilayah di mana hak yang sama diperjuangkan dengan pengorbanan yang besar.
Ini menunjukkan bahwa meskipun satu pintu telah terbuka bagi perdamaian, masih ada pintu-pintu lain di kawasan Melanesia yang menunggu untuk dibukakan, dan PBB memiliki peran penting untuk dimainkan di dalamnya. (Julian Haganah Howay)