
Pemuda Adat Papua di Sorong menolak Proyek Strategis Nasional (doc: greenpeace)
Sorong, Papua Barat Daya – Siang itu, Kamis (3/9) di jantung Kota Sorong, suara lantang aktivis dan pemuda adat Papua menggema. Mereka berkumpul membawa satu pesan: batalkan pasal Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam UU Cipta Kerja.
Bagi mereka, pasal itu bukan sekadar aturan hukum, melainkan palu godam yang mengancam tanah, hutan, dan hidup masyarakat adat di Indonesia, termasuk tanah Papua.
Seruan itu datang dari Gerakan Selamatkan Manusia Tanah & Hutan Malamoi (Gerakan Malamoi), Konfederasi Selamatkan Tanah Hutan & Manusia Papua (KSTHMP), dan jaringan aktivis lingkungan di Tanah Papua.
Mereka bergabung dalam barisan panjang perjuangan yang mendukung Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) PSN. Gugatan konstitusional ini resmi diajukan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) pada 4 Juli 2025.
Bagi mereka, pasal PSN dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi UU adalah dalih legal untuk menghalalkan kerusakan: perampasan tanah adat, penggusuran paksa, kriminalisasi rakyat, dan penghancuran lingkungan.
Gugatan ini menyoroti bagaimana pasal PSN bertentangan dengan prinsip negara hukum dan perlindungan HAM yang dijamin UUD 1945. Dalam praktiknya, skema PSN justru menjadi legitimasi pelanggaran hukum.
Proyek-proyek besar seperti Rempang Eco City, reklamasi PIK 2, food estate di Merauke, hingga pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dijalankan dengan mengabaikan hak dasar warga: hak atas tanah, hak atas pangan dan gizi, partisipasi publik, serta keberlanjutan ekosistem.
Secara hukum, pemohon menilai ketentuan PSN melanggar prinsip ‘due process of law’ karena mengaburkan standar hukum perlindungan lingkungan dan menghapus jaminan hak warga atas ruang hidup.
“MK harus hadir sebagai penjaga konstitusi sekaligus pelindung HAM dan lingkungan,” tegas para aktivis.
PSN: Wajah Ekstraktif, Oligarkhi dan Kriminalisasi
Yan Manfred Metla, perwakilan Pemuda Adat Papua, menegaskan watak PSN sebagai wajah pembangunan eksploitatif. Menurutnya, pemerintah Indonesia telah mengabaikan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) atau persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan.
“Penyusunan daftar PSN tidak pernah melibatkan rakyat secara bermakna. Percepatan proyek dijadikan dalih untuk mengesampingkan prinsip kehati-hatian ekologis yang seharusnya menjadi dasar utama pembangunan,” ujarnya. “Ini jelas bertentangan dengan UUD 1945”.
FPIC, lanjutnya, memberi ruang masyarakat adat untuk mengambil keputusan secara independen dan kolektif tanpa intimidasi, dalam bahasa mereka sendiri, dengan waktu yang cukup, dan berdasarkan informasi yang memadai.
Prinsip ini juga memungkinkan mereka menolak atau menarik kembali persetujuan kapan pun. Namun dalam praktik PSN, semua unsur itu diabaikan.
Koordinator KSTHMP, Fiktor Klafiyu, menambahkan bahwa kehadiran PSN justru membuka ruang kriminalisasi masyarakat adat. “Pasal PSN telah jadi payung hukum bagi proyek-proyek yang melanggar HAM, merusak lingkungan, dan mengabaikan aspirasi rakyat,” ujarnya.
Menurutnya, pasal tersebut menguatkan rezim ekstraktif dan oligarki yang lebih mementingkan investasi dan keuntungan segelintir pihak ketimbang kesejahteraan rakyat.
Alih-alih mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen seperti klaim pemerintah, yang justru terjadi adalah konflik agraria, perampasan tanah adat, dan kriminalisasi aktivis lingkungan.
Kenyataan pahit itu terlihat jelas di Merauke, tanah adat masyarakat Malind. Atas nama PSN, 10 perusahaan besar beroperasi dan merampas lahan berburu serta meramu milik marga. Hutan dan tanah adat yang selama ini menjadi sumber pangan tradisional hilang seketika.
Bagi Elson Moifilit, Juru Kampanye Gerakan Malamoi, PSN tak ubahnya Proyek Sengsara Nasional. “Perlawanan ini bukan hanya soal hukum, tapi soal hidup dan mati rakyat. Kalau terus dipaksakan, masyarakat adat Malind akan kehilangan ruang hidup mereka,” tegasnya.
Bukti di MK dan Tuntutan Rakyat
Sidang gugatan kini memasuki tahap pembuktian. Pemerintah bersikeras PSN berjalan sesuai prosedur. Namun, fakta lapangan berbicara sebaliknya.
Masyarakat adat bersaksi bahwa tidak ada ruang dialog difasilitasi pemerintah untuk mempertemukan mereka dengan perusahaan. “Ini bukti pemerintah melanggar UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua,” kata Elson.
Aturan itu menjamin perlindungan hak ulayat masyarakat adat dalam pemanfaatan tanah dan pengembangan ekonomi.
Lebih jauh, PSN juga bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat serta hak tradisionalnya. “Masyarakat adat tidak pernah dilibatkan. Proses pembentukan UU Cipta Kerja jelas inkonstitusional,” tambahnya.
Dalam pernyataan resmi, para aktivis menegaskan tiga tuntutan pokok: mendesak MK membatalkan pasal PSN dalam UU Cipta Kerja; menghentikan kriminalisasi dan represi terhadap masyarakat adat Papua yang menolak PSN; dan memastikan kebijakan pembangunan berpihak pada rakyat, lingkungan, dan konstitusi.
“Kami tidak akan tunduk! Perjuangan ini bukan hanya soal tanah atau proyek, tapi soal masa depan rakyat, khususnya masyarakat adat yang telah lama menjaga bumi nusantara ini sebelum Indonesia ada,” tegas Elson Moifilit.
Perjuangan masih berlanjut. Gerakan solidaritas dan masyarakat adat yang menderita akan terus bersuara sampai keadilan ditegakkan. (Julian Haganah Howay)