
Deklarasi berdirinya Komite Aksi Selamatkan Demokrasi dan Lingkungan Papua Selatan (KOMASDELING PAPSEL) di Merauke (doc: Aworo/Komasdeling)
DEMOKRASI sejatinya hadir untuk membangun masyarakat yang aman, nyaman, dan setara. Setiap warga negara berhak mengemukakan pendapat, dihormati hak-haknya, serta dilibatkan dalam pengambilan keputusan melalui musyawarah.
Demokrasi juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial terhadap pemerintah, menumbuhkan budaya toleransi, serta memperkuat kerja sama kolektif tanpa diskriminasi.
Namun, realitas di tanah Papua justru menunjukkan sebaliknya. Sistem demokrasi yang seharusnya menjamin kebebasan berpendapat justru tidak berfungsi. Aspirasi rakyat Papua berulang kali dibungkam dengan kekerasan militer bersenjata, penembakan, hingga pemenjaraan tanpa proses hukum yang adil.
Padahal, hak kebebasan berpendapat dan berkumpul dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik serta Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Sejarah mencatat pembungkaman ruang demokrasi rakyat Papua telah berlangsung sejak 1961. Perjanjian New York dan Perjanjian Roma yang menentukan masa depan Papua sama sekali tidak melibatkan rakyat Papua.
Pola itu terus berulang: Undang-Undang Otonomi Khusus 2001 diputuskan sepihak; pemekaran provinsi dan kabupaten dilakukan tanpa mendengar suara rakyat; hingga Otonomi Khusus Jilid II tahun 2021 tetap dipaksakan meski gelombang penolakan meluas.
Hal serupa juga terjadi dalam kebijakan investasi. Masuknya perusahaan tambang, perkebunan, hingga program strategis nasional (PSN) tidak pernah melalui proses demokratis yang melibatkan pemilik tanah adat.
Di Papua Selatan, masyarakat adat Marind menolak keras PSN yang hendak membuka dua juta hektar lahan untuk perkebunan. Bagi mereka, PSN adalah program pemusnahan yang mengancam eksistensi orang Marind dan seluruh masyarakat di Papua Selatan.
Jika proyek itu dipaksakan, dampaknya bukan hanya hilangnya hutan, rawa, tanah adat, dan sumber pangan seperti sagu serta kelapa, tetapi juga rusaknya ekosistem, berkurangnya satwa buruan (babi, rusa, kasuari), meningkatnya banjir, hingga runtuhnya pengetahuan adat yang diwariskan turun-temurun.
“Ini bukan hanya soal tanah, ini soal hidup kami yang akan dilenyapkan,” tegas seorang perwakilan masyarakat Marind.
Melihat realitas ini, lahirlah Komite Aksi Selamatkan Demokrasi dan Lingkungan Papua Selatan (KOMASDELING PAPSEL) di Merauke. Gerakan sosial ini hadir untuk memperjuangkan hak-hak rakyat yang selama ini diabaikan negara, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, demokrasi, maupun lingkungan.
KOMASDELING PAPSEL mengajak seluruh rakyat Papua Selatan, baik secara individu maupun organisasi, untuk bersatu memperjuangkan kehidupan yang demokratis, adil, dan setara.
Tuntutan KOMASDELING PAPSEL
- Menolak Program Strategis Nasional (PSN) di seluruh Papua Selatan.
- Menolak pembangunan batalyon militer di Papua Selatan.
- Menolak pemekaran kabupaten baru (Kimam, Muara Digul, Muyu, Asmat Tengah, Safan, Atmi Korbai).
- Menutup semua pertambangan ilegal di Korowai, Kombai, dan wilayah Papua Selatan lainnya.
- Menolak program transmigrasi di Papua Selatan.
- Menutup seluruh peredaran minuman keras di Papua Selatan.
- Mendesak pemerintah menyediakan pasar khusus bagi pedagang asli Papua di pusat kota Merauke.
- Mewujudkan pendidikan gratis bagi orang asli Papua Selatan.
- Mendesak Pemprov Papua Selatan dan Pemkab Merauke segera merancang Perda/Perdasus.
- Menggantikan Uskup Agung Merauke dengan Uskup asli Papua.
- Menutup perkebunan sawit di Muting, Eligobel, Ulilin, Mam, Kaliki, Wayau, Senegi.
- Menghentikan praktik perjudian di seluruh Merauke.
- Menyediakan pelayanan kesehatan gratis bagi orang asli Papua Selatan.
- Mengembalikan pegawai yang dimutasi serta memberdayakan orang asli Papua Selatan dalam birokrasi.
- Mendukung perjuangan pencaker Papua Selatan untuk sisa kuota 206 formasi CPNS 2024.
- Mengakomodir 100% formasi CPNS 2025 bagi orang asli Papua Selatan.
- Menghentikan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dinilai sarat praktik rente.
- Menghentikan penangkapan ilegal dan kekerasan terhadap masyarakat sipil di Merauke.
- Menaikkan gaji buruh pelabuhan Merauke.
- Membebaskan 4 tahanan politik NRFPB serta seluruh tapol Papua.
- Menarik pasukan militer organik dan non-organik dari Papua.
- Mengusut tuntas penembakan Tobias Silak, Viktor Deal, dan pelanggaran HAM lainnya di Papua.
- Mencabut Undang-Undang TNI.
- Mencabut Undang-Undang Cipta Kerja.
- Menurunkan nilai Pajak Bumi dan Bangunan.
- Menghapus tunjangan DPR yang membebani rakyat.
- Menyediakan lapangan pekerjaan layak bagi orang asli Papua Selatan.
- Menyediakan tempat penampungan layak bagi anak-anak terlantar.
- Mengadili pelaku kekerasan terhadap aktivis prodemokrasi di Indonesia dan Papua.
- Menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Papua.
- Menghentikan rencana pengembangan Blok Wabu, Weilan, Warim, dan pertambangan lainnya di Papua.
- Menolak Kawasan Ekonomi Khusus di Sorong, Papua Barat Daya.
- Menutup PT Freeport Indonesia.
- Menghentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Maybrat, Yahukimo, dan seluruh Papua.
- Membuka akses jurnalis independen seluas-luasnya di Papua.
- Mendukung Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang melegitimasi perampasan ruang hidup atas nama PSN.
Merauke 5 september 2025
Hormat kami
Konferensi Komite Selamatkan Demokrasi dan Lingkungan Papua Selatan (KOMASDELING PAPSEL)
(MAI-P KK MERAUKE, IKBS, IPMKB, HMPJM, IPMY, IPMKY, IPMANAPANDODE, IMAWI, IPMNI)
Amborosius Nit (Koorditor Umum)