
Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
GELOMBANG demonstrasi yang mengguncang Indonesia pada akhir Agustus 2025 bukanlah sekadar riak musiman. Ini adalah manifestasi dari kegelisahan yang terpendam, sebuah badai yang berakumulasi dari berbagai isu krusial.
Peristiwa ini, dengan segala kompleksitasnya, adalah cerminan dari tantangan serius terhadap demokrasi, kebebasan berekspresi, dan keamanan manusia di Indonesia.
Semua dimulai dari layar gawai. Saat pemerintah memblokir 592 akun media sosial, narasi tentang pembungkaman ruang digital langsung menyebar. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Facebook, yang selama ini menjadi ruang ekspresi bagi jutaan anak muda, mendadak terasa terancam.
Kepolisian dan Kominfo berdalih tindakan ini untuk mencegah penyebaran konten provokatif dan ajakan melanggar hukum, menetapkan tujuh administrator akun sebagai tersangka. Namun, bagi sebagian masyarakat, tindakan ini adalah pukulan telak terhadap kebebasan berekspresi.
Hal ini mengingatkan kita pada teori gerakan sosial baru (New Social Movement Theory), yang menekankan peran media sosial sebagai alat utama mobilisasi. Di era digital, aktivis tidak lagi membutuhkan organisasi formal untuk menggerakkan massa.
Cukup dengan sebuah tagar atau unggahan viral, gelombang protes dapat menyebar dengan kecepatan kilat. Ini menunjukkan bagaimana teknologi telah mengubah lanskap perlawanan, menjadikan gawai tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga medan pertempuran ide dan narasi.
Di balik layar, aksi demonstrasi bergejolak di jalanan. Tragedi kekerasan tak terhindarkan, meninggalkan luka mendalam.
Di Sulawesi Selatan, sepuluh nyawa melayang, termasuk empat ASN yang tewas dalam insiden pembakaran gedung DPRD. Kemudian, insiden yang mencabik-cabik rasa kemanusiaan: Affan Kurniawan, seorang pengendara, dilindas oleh rantis Brimob.
Di Surabaya, LBH Surabaya mengecam penangkapan sewenang-wenang terhadap 110 orang, termasuk delapan anak di bawah umur. Rentetan peristiwa ini menjadi bensin yang menyulut api kemarahan.
Tuntutan utama dari mahasiswa dan masyarakat sipil adalah keadilan. Mereka menuntut pembentukan tim investigasi independen untuk menelusuri dugaan kekerasan aparat. LBH Surabaya, melalui Direkturnya Habibus Shalihin, dengan tegas mendesak transparansi dan akuntabilitas dari pihak kepolisian.
Ini bukan sekadar permintaan, melainkan jeritan untuk menegakkan keamanan manusia (Human Security), sebuah konsep yang menggeser fokus keamanan dari negara ke individu, memastikan perlindungan dari ancaman fisik, ekonomi, dan politik.
Politik Kosmetik dan Janji yang Menggantung
Respons pemerintah dan DPR terhadap gelombang protes ini pun menuai kritik. Pertemuan antara perwakilan mahasiswa dan pimpinan DPR memang menghasilkan beberapa kesepakatan: penghentian tunjangan rumah DPR, evaluasi tunjangan dan fasilitas, serta janji pembahasan RUU Perampasan Aset.
Namun, janji-janji ini, menurut para pakar, cenderung bersifat politik kosmetik. Vidhyandika Djati Perkasa dari CSIS, misalnya, menegaskan bahwa masyarakat kini lebih cerdas dan kritis. “Mereka butuh perubahan nyata yang dapat diverifikasi, bukan sekadar manuver pencitraan,” ujarnya.
Hal ini diperkuat oleh Amalinda Savirani dari FISIP UGM, yang menyoroti pentingnya tindak lanjut yang transparan dan mekanisme akuntabilitas yang dapat dipantau publik. Tanpa langkah konkret, janji-janji tersebut hanyalah kata-kata hampa yang tidak akan memulihkan kepercayaan publik.
Narasi demonstrasi tidak hanya berpusat pada tuntutan mahasiswa dan respons pemerintah, tetapi juga diselimuti spekulasi tentang aktor intelektual di baliknya.
Presiden Prabowo Subianto menuding adanya unsur makar dan terorisme. Nama-nama seperti Riza Chalid dan dugaan “mafia sawit” muncul, dituduh sebagai dalang dan penyandang dana di balik aksi anarkis. Budiman Sudjatmiko bahkan secara spesifik menyebut “mafia sawit” sebagai aktor kericuhan.
Namun, klaim-klaim tersebut masih bersifat tuduhan atau spekulasi yang belum didukung bukti kuat. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan untuk sekuritisasi konflik, di mana negara membingkai demonstrasi sebagai ancaman keamanan nasional alih-alih sebagai ekspresi politik warga.
Padahal, akar masalah sesungguhnya, seperti korupsi, ketidakadilan, dan celah dalam sistem politik, masih belum tersentuh.
Menuju Demokrasi yang Lebih Sehat
Demonstrasi Agustus 2025 adalah cerminan dari krisis multidimensi yang dihadapi Indonesia. Ini adalah alarm keras yang menyerukan perlunya reformasi fundamental.
Solusi yang efektif harus melampaui tindakan simbolis dan menyentuh akar permasalahan. Beberapa rekomendasi kunci yang diusulkan oleh para pakar adalah: transparansi proses, dimana pemerintah harus mempublikasikan setiap langkah reformasi dan hasil investigasi secara jelas dan dapat diaudit publik.
Perlunya independensi dan kredibilitas. Ditempuh dengan membentuk tim investigasi independen untuk menelisik dugaan kekerasan dan aktor intelektual, dengan melibatkan lembaga independen jika perlu.
Perlunya perlindungan HAM dengan menghentikan kriminalisasi terhadap aksi damai dan memastikan prosedur penangkapan sesuai hukum. Selain itu, diperlukan dialog inklusif yang melibatkan unsur mahasiswa, organisasi masyarakat sipil, dan perwakilan akar rumput dalam dialog yang terstruktur untuk merumuskan solusi jangka panjang.
Pada akhirnya, keberhasilan memulihkan kepercayaan publik dan membangun demokrasi yang lebih sehat akan sangat bergantung pada komitmen nyata pemerintah untuk membuka ruang dialog, menegakkan akuntabilitas, dan menyelesaikan akar persoalan.
Ini adalah tantangan yang tidak mudah, tetapi juga merupakan kesempatan emas jika Indonesia ingin melangkah melangkah maju, membiarkan jeritan keadilan yang terpendam menjadi melodi reformasi yang harmonis.
(*) Arkilaus Baho adalah penulis artikel ini. Dia adalah aktivis Papua yang meminati studi dinamika politik nasional dan internasional. Tulisan ini merupakan ringkasan dari artikel penulis berjudul “Analisis Strategis Demonstrasi Agustus 2025: Bedah Isu, Tuntutan Mahasiswa, Aktor Kunci, dan Efektivitas Solusi Pemerintah dalam Perspektif Teori Gerakan Sosial dan Keamanan Manusia”.