
Gambar ilustrasi tragedi longsor di area Grasberg, tambang yang dikuasai Freeport di Timika, Papua (doc : UGM)
MALAM itu, 8 September 2025, pukul 22.00 WIT, bumi di kedalaman Papua bergetar. Bukan karena gempa, melainkan karena ambisi dan kegagalan manusia.
Di perut tambang bawah tanah Grasberg Block Cave (GBC), tanah yang selama ini dijanjikan sebagai lumbung kekayaan bangsa, tiba-tiba runtuh.
Sebanyak 600.000 ton material basah tumpah ruah, menelan tujuh nyawa pekerja: 5 putra terbaik bangsa, bersama 2 jiwa dari Chili dan Afrika Selatan. Di atas tanah, keluarga menanti dengan cemas. Di bawah sana, di antara lorong-lorong gelap, tujuh nyawa itu terperangkap dalam bisu yang memilukan.
Operasi penyelamatan yang digagas dengan optimisme, yang semula ditargetkan selesai dalam 30 jam, kini telah memasuki hari kesepuluh. Setiap jam yang berlalu terasa seperti satu abad.
Komunikasi yang sempat terjalin melalui handy talkie (HT) kini terputus, memutus harapan dan menyisakan doa. Tragedi ini bukan sekadar insiden kerja; ini adalah cermin buram dari sistem yang tak berdaya.
Tragedi ini membuka luka lama tentang kepatuhan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan PP No. 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen K3, yang seharusnya menjadi benteng terakhir bagi para pekerja.
Tragedi Grasberg telah menjadi riak yang memicu gelombang besar, mengguncang bukan hanya tanah Papua, tetapi juga pilar-pilar kekuasaan di Jakarta. Di satu sisi, ada duka dan kekhawatiran; di sisi lain, ada manuver politik dan gejolak ekonomi yang tak kalah mencekam.
Pada hari-hari yang kelam itu, nasib tujuh pekerja dan nasib izin ekspor konsentrat tembaga PTFI berada di ujung tanduk. Tenggat waktu perpanjangan relaksasi ekspor kian mendekat, namun perusahaan tak kunjung mengajukan permohonan.
Seolah-olah, di tengah duka, segalanya terhenti. Kebijakan ini, yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, kini dipertaruhkan. Jika izin tak diperpanjang, produksi yang sudah anjlok hingga 30% akibat longsoran akan semakin tertekan, mengancam penerimaan negara dan ekonomi nasional.
Situasi lantas menjadi seolah permainan catur politik. Di balik layar, langkah-langkah strategis sedang digulirkan. Pemerintah Indonesia, memanfaatkan momentum ini, mengumumkan rencana ambisius untuk menambah kepemilikan saham di PTFI secara gratis hingga 12%.
Sebuah langkah yang dianggap “murah” karena masa berlaku izin tambang (IUPK) yang tersisa hingga 2041. Bersamaan dengan itu, terjadi perombakan penting di Kementerian ESDM. Presiden menunjuk Ahmad Erani Yustika sebagai Sekretaris Jenderal, sebuah sinyal bahwa prioritas pemerintah dalam pengelolaan sektor mineral telah berubah, beralih dari sekadar ekonomi ke tata kelola yang lebih ketat.
Tragedi Grasberg kali ini menyingkap sebuah ironi pahit. Di tengah klaim sebagai perusahaan kelas dunia, sistem keselamatan Freeport ternyata memiliki celah yang fatal.
Laporan-laporan industri dan data dari International Labour Organization (ILO) mengungkapkan bahwa sistem deteksi dini, komunikasi darurat, dan jalur evakuasi di tambang Grasberg masih jauh dari standar internasional.
Fakta bahwa komunikasi HT terputus dalam hitungan jam dan volume longsoran mencapai angka fantastis menunjukkan lemahnya mitigasi risiko.
Jika dibandingkan dengan negara-negara tambang maju seperti Australia, Kanada, atau Chili, Indonesia masih tertinggal jauh. Di Australia, sistem peringatan dini diuji secara rutin setiap tiga bulan, dan di Kanada, setiap tambang bawah tanah wajib memiliki dua jalur evakuasi aktif.
Hal ini memperjelas bahwa regulasi di Indonesia seperti yang diatur dalam PP No. 50 Tahun 2012, belum diterapkan secara optimal, dan kebijakan ekspor masih bersifat reaktif, bukan berbasis kinerja keselamatan.
Tragedi Grasberg adalah sebuah epilog yang tragis, sekaligus prolog yang memaksa Pemerintah Indonesia perlu memilih jalan. Apakah akan membiarkan keuntungan ekonomi mengaburkan nilai kemanusiaan, atau menjadikan tragedi ini sebagai momentum untuk reformasi menyeluruh?
Kelayakan operasional Freeport kini dipertanyakan. Perusahaan ini mungkin masih bisa beroperasi, tetapi hanya jika ada komitmen serius untuk memperbaiki tata kelola dan sistem keselamatan.
Pemerintah Indonesia sebagai penguasa tambang Freeport yang menjadi kekayaan alam Papua, harus memperketat pengawasan. Menjadikan standar keselamatan internasional sebagai patokan, dan menempatkan nyawa pekerja di atas segalanya.
Penutupan permanen adalah opsi terakhir yang harus dipertimbangkan jika Freeport gagal memenuhi tuntutan ini. Tragedi ini adalah cermin yang tak bisa dipandang remeh dan sekaligus tak dapat hindari.
Ini memperlihatkan bahwa di balik gemerlap emas, tembaga, beserta mineral-mineral berharga milik bumi Papua, ada nyawa-nyawa yang berharga.
Keputusan yang diambil hari ini akan menentukan apakah janji kemakmuran akan terus menjadi alasan untuk pengorbanan, atau menjadi kekuatan untuk membangun masa depan yang lebih adil, aman dan bermartabat.
(*) Arkilaus Baho adalah penulis artikel ini. Penulis adalah aktivis Papua yang tinggal di Jakarta. Dirangkum dari artikel lengkap penulis berjudul “Kelayakan Operasional dan Tata Kelola Keselamatan PT Freeport Indonesia Pasca Longsor Grasberg 2025: Analisis Strategis, Regulasi, dan Skenario Kebijakan”.