
Wajah Tambrauw dengan keindahan alamnya (doc: liputan6.com)
Tambrauw, PBD – Saat itu awal Mei 2012. Di persimpangan takdir, di mana beban ekonomi dan tanggung jawab keluarga menjelma laksana rantai besi, saya harus memancangkan kaki.
Ada sepasang mata balita, sepotong jiwa yang menunggu uluran kasih dan seberkas nafkah, dan itu adalah jangkar terkuat yang menahan badai keraguan agar saya tetap berlayar.
Beberapa tahun sebelumnya, pada kurun waktu 2010–2011, saya sempat mencoba peruntungan dengan mengikuti ujian CPNS. Namun, bisikan keluarga acap kali lebih nyaring dari gema suara hati.
Mereka merajut mimpi agar saya kembali mengabdi di ranah leluhur, Maybrat. Akan tetapi, jejak langkah hidup tak selalu patuh pada peta keinginan.
Dari pengalaman itu, saya belajar: perjuangan sejati terkadang harus ditempuh dalam kesunyian. Laksana mata air yang mengalir diam-diam, bahkan tanpa sepengetahuan siapa pun.
Kabar baik itu merambat bagai angin pagi. Kakak perempuanku membisikkan bahwa Kabupaten Tambrauw, sebuah wilayah yang baru mekar (diresmikan tahun 2008), sedang membuka pintu penerimaan Pegawai Tidak Tetap (PTT), mencari tenaga medis: perawat, bidan, gizi, dan SKM.
Tanpa menghela napas panjang, saya menyusun mozaik berkas lamaran di penghujung Maret. Hari pengumuman tiba, detak jantung tak beraturan menanti putusan semesta. Namaku tersemat, mengalun lembut melalui siaran RRI Sorong.
Kala itu, orang tua, om, tante, dan segenap sanak saudara sedang menikmati kehangatan pagi. Menyeruput kopi yang mengepulkan asap mimpi. Mereka terperanjat, seolah mendengar nama asing. “Ada lowongan kerja di Tambrauw?” tanya mereka.
Saya hanya menyunggingkan senyum tipis, mengangguk, dan berbisik pelan, “Iya, saya sudah sempat ke sana.”
Akhir April 2012, waktu mencatat perpisahan. Dengan suara yang bergetar menahan luapan haru, mata yang berkaca-kaca memantulkan bayangan masa depan, saya menitipkan sepotong surga: “Tolong jaga sapu anak ee.., de punya usia baru lima bulan.”
Sungguh, ia adalah sehelai sutra merah yang harus kutinggalkan. Tetapi aku tahu, langkah ini adalah janji suci demi masa depannya yang harus terang benderang.
Tanggal 25 April, kami yang terpilih berkumpul di Halte Maranatha, Kota Sorong. Barisan mobil Avanza dan Hilux menanti, bagai kapal yang siap berlayar. Pelukan dan doa dari orang tua, om, tante, dan keluarga besar mengiringi hingga ke gerbang pemberangkatan.
Setelah doa bersama, saya naik ke mobil Hilux, menatap ke belakang dengan dada yang sesak oleh perpisahan, meninggalkan riuh Kota Sorong menuju kesunyian Tambrauw.
Pelayaran Darat di Kanvas Senja
Perjalanan panjang pun merayap. Dari terik siang menuju pelukan malam, kami menembus Km 12, Bambu Kuning, melewati tanjakan yang mencakar langit dan turunan yang menukik tajam, membelah belokan berbahaya.
Kami tiba di Distrik Makbon. Di sini kami rehat sejenak, meneguk air putih laksana air kehidupan, sambil menatap biru Laut Pasifik dan Pulau Um atau Pulau Kelelawar, yang memantulkan cahaya senja keemasan.
Keindahan itu, sungguh, laksana lukisan agung yang diukir langsung oleh jemari Sang Khalik.
Kami terus melaju, melintasi Distrik Mega, menyentuh air sungai yang bening kristal untuk membasuh wajah dan melepas dahaga, hingga akhirnya tiba di Sausapor, yang saat itu menjadi ibu kota sementara Tambrauw.
Kami menetap seminggu, menanti Surat Keputusan (SK) dari Bupati. Tepat pada 1 Mei 2012, SK itu kami genggam. Saya ditugaskan di Distrik Syujak, Pustu Soon. Dalam hati, saya hanya bisa melafalkan syukur: “Terima kasih Tuhan, Engkau bukakan jalan setapak di tengah belantara takdir.”
Kami lalu terbagi menjadi dua regu: mereka yang mengabdi di hamparan pesisir dan kami yang ditugaskan menaiki puncak-puncak pegunungan. Saya bersama tiga rekan menuju Syujak, didampingi ibu bendahara dan kepala dinas kesehatan.
Jalan menuju ke sana bukanlah permadani, melainkan ujian ketahanan: jalanan berbatu yang tak bertepi, gunung yang menjulang perkasa, turunan curam dengan jurang menganga di sisi kiri dan kanan.
Ketika sampai di sungai yang lebar dengan arus deras yang bergemuruh, kendaraan menyerah. Kami memanggul barang bawaan, perbekalan, dan kebutuhan lainnya di pundak, lalu berjalan kaki meniti batang kayu yang menjadi jembatan kehidupan di atas sungai.
Masih satu kilometer lagi menuju kampung, menyusuri rimbunnya hutan.
Pelukan Tulus dari Jantung Alam
Saat tiba di Syujak, kami disambut dengan kehangatan yang mengusir lelah oleh Kepala Kampung, Bapak Yekwam, dan segenap warganya.
Kehidupan sederhana menyapa tanpa basa-basi: mama-mama yang baru kembali dari kebun, membawa hasil bumi berupa sayur, pisang, jagung dan cabai. Mereka dengan tulus membaginya kepada kami.
Bapak-bapak sigap mengantar kayu bakar. Anak-anak berlarian sambil tertawa riang, seakan menyambut kami sebagai bagian dari matriks keluarga mereka.
Saya sering diajak Mama Yekwam ke kebun, ikut menanam, memanen, hingga berbagi hasil. Jika ada hasil buruan, warga selalu membagi rata, sebab di sini, harta adalah milik bersama.
Kadang saya ikut para mama dan anak-anak menyeberangi sungai, sabar menanti para lelaki kembali dari ritual berburu. Kehidupan di sini begitu jujur, merangkul alam, sederhana, dan dipenuhi kasih yang mengalir bagai air sungai.
Satu tahun terlewati di Syujak. Hidup tanpa cahaya listrik, tanpa jaringan internet, tetapi dikelilingi oleh gunung-gunung purba, hutan yang menyimpan misteri, dan sungai besar yang bertenaga.
Burung Cenderawasih ikon Papua menari anggun di pucuk pepohonan. Rumah-rumah gantung berdiri tegak di lereng bukit. Namun, yang paling memukau adalah hati warga: tulus, ramah, dan bersahaja, melampaui gemerlap kota.
Ketika kontrak kerja menemui batasnya, kami harus mengucapkan selamat tinggal. Diiringi pelukan hangat yang erat, mata yang basah oleh air mata perpisahan, dan sebuah pesan sederhana yang membuat dadaku bergetar, merangkum segala kenangan:
“Kalau masih cinta tempat ini dan bila rindu menyentuhmu, kembalilah kemari…”
Syujak, sebuah tempat di jantung Kabupaten Tambrauw yang juga disebut sebagai ‘Kabupaten Konservasi’, telah menjadi rumah keduaku.
Keindahannya yang tak tersentuh, ketulusan warganya yang tak lekang oleh waktu, dan memori satu tahun pengabdian itu akan selalu terpatri, abadi dalam batinku.
Salam Kasih, Bangkit Syujak!
(*) Elisabeth Nauw adalah penulis kisah ini. Penulis adalah aktivis perempuan, pegiat literasi dan pemberdayaan masyarakat yang tinggal di Sorong.