
Aktivis Solidaritas Rakyat Papua Pro Demokrasi Se-Sorong Raya (SRP-PDSR) saat menyerahkan pernyataan sikap di Kejaksaan Negeri Sorong (doc: SRP-PDSR)
Sorong, Papua Barat Daya – Di jantung Tanah Papua, hari-hari di pertengahan September 2025 terasa seperti halaman-halaman yang merobek sebuah puisi damai.
Di satu sisi, ketenangan Danau Paniai ternoda oleh bising mesin perahu cepat yang membawa bayang-bayang ketakutan. Di sisi lain, di Sorong Raya, gema perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan justru dibalas dengan sel penahanan yang kotor dan pengap.
Dua peristiwa yang terpisah oleh jarak, namun terikat oleh benang merah luka sejarah yang sama: intimidasi militer demi Sumber Daya Alam dan pembungkaman suara rakyat yang menuntut keadilan.
Sejak tanggal 21 hingga 24 September 2025, suasana di Paniai, Deiyai, dan Intan Jaya (Provinsi Papua Tengah) mencekam. Di balik keindahan alam yang menyimpan cadangan mineral emas yang memikat di kawasan yang dikenal sebagai Blok Wabu, masyarakat adat harus menyaksikan pengerahan masif personil TNI non-organik.
Para prajurit bersenjata itu, menurut laporan yang diterima Pembela Hak Asasi Manusia (HRD), memasuki Paniai dengan menyusuri perairan Danau Paniai menggunakan speed boat.
Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, berdiri di garis depan kecaman ini. Ia menyoroti kegelisahan dan ketakutan masyarakat Papua Asli.
Kehadiran personil bersenjata tersebut bukanlah sekadar pengamanan, melainkan upaya “intimidasi” yang dirancang secara sistematis agar rakyat pemilik hak adat keluar dari tanah leluhur mereka.
“Tujuan negara jelas, hendak mengeksploitasi Sumber Daya Alam mineral emas di Blok Wabu,” tegas Warinussy, mendesak Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk segera bertindak.
Ia mengingatkan bahwa setiap operasi militer non-perang harus mendapat persetujuan politik dari DPR RI, sebuah prinsip konstitusional yang terancam diabaikan.
Ironi ini menggema dalam luka sejarah yang telah berulang kali disorot, termasuk dalam liputan terdahulu Wene Buletin mengenai eskalasi militer di wilayah kaya sumber daya.
Pola yang terjadi selalu sama: militerisasi di wilayah potensial, diikuti oleh pengabaian hak adat dan konflik yang tak berkesudahan, seolah-olah martabat manusia Papua harus ditukarkan dengan harga sebongkah emas.
Keadilan yang Terpindahkan ke Kota Jauh
Jika di Blok Wabu intimidasi mengambil rupa senjata, di Sorong, perlawanan dibungkam dengan kriminalisasi dan penipuan hukum.
Kisah bermula dari niat damai. Pada 21 April 2025, aktivis Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) menyerahkan surat tawaran dialog damai untuk menyelesaikan konflik Papua Barat.
Namun, alih-alih merespons dengan bijaksana, Gubernur Papua Barat Daya (PBD), Elisa Kambu, justru menganggapnya sebagai ancaman terhadap eksistensi NKRI dan memerintahkan penangkapan. Empat aktivis; Abraham G Gamam, Maksi Sangkek, Piter Robaha, dan Nikson Mai, ditangkap empat hari kemudian.
Kesengsaraan mereka menjadi wajah humanis dari ketidakadilan. Mereka didakwa makar dan ditahan secara sewenang-wenang dalam ruangan yang digambarkan sebagai “sempit, kotor, busuk, dan pengap”.
Kondisi ini merenggut kesehatan para Tahanan Politik (Tapol), terutama Maksi Sangkek. Permintaan penangguhan penahanan oleh Kuasa Hukum mereka, Yan Warinussy (yang juga Direktur LP3BH) bersama keluarga, ditolak mentah-mentah oleh kepolisian, menambah derita yang tak terperikan.
Puncak kejanggalan terjadi pada Agustus 2025. Dengan dalih palsu bahwa Kota Sorong dilanda ”bencana alam dan gangguan keamanan”, alasan yang disebut tidak mendasar dan murni dibuat-buat. Berkas perkara para Tapol justru dipindahkan dan disetujui Mahkamah Agung untuk disidangkan di Makassar.
Keputusan pemindahan paksa ini memicu gelombang kemarahan di seluruh Papua. Rakyat Sorong Raya memblokade jalan, membakar ban, dan merusak kantor-kantor pemerintah. Respon aparat pun brutal dan represif.
Polisi menangkap 17 orang dan menembak seorang warga sipil bernama Maikel Walerubun. Penangkapan brutal terhadap aktivis seperti Yan Manggapraw pun terjadi secara paksa, meninggalkan trauma fisik dan mental yang mendalam bagi anak-anak yang menyaksikan.
Komnas HAM bahkan menduga adanya pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh polisi dan TNI. Solidaritas Rakyat Papua Pro Demokrasi Sorong Raya (SRPPDSR) berseru dengan lantang, menegaskan bahwa pemindahan paksa ini adalah murni kriminalisasi terhadap para pejuang kemanusiaan.
“Mengapa sidang tetap dilaksanakan di Tengah situasi Makasar yang kian tak terkendali (pasca perlawanan rakyat Indonesia, termasuk pembakaran kantor DPRD Sulawesi Selatan), sementara kota Sorong yang kondusif justru dibatalkan?” tanya Koordinator Umum SRPPDSR, Simon Nauw, dalam pernyataan sikap mereka.
Kejanggalan ini adalah cermin betapa hukum dan keadilan dapat dimanipulasi untuk membungkam suara-suara kritis.
Panggilan Kemanusiaan
Perjuangan di Blok Wabu dan Sorong adalah dua sisi mata uang yang sama. Di Paniai, rakyat diancam untuk melepaskan tanahnya demi kekayaan mineral; di Sorong, mereka dihukum karena menyuarakan solusi damai.
Keduanya menunjukkan sebuah pola intimidasi sistematis terhadap Hak Asasi Manusia, Hak Adat, dan kebebasan berekspresi.
Mendesak dunia melalui PBB dan menyerukan Mahkamah Agung untuk membatalkan fatwa pemindahan para Tapol, para pejuang di Papua menolak untuk bertekuk lutut. Mereka menuntut penghentian semua intimidasi, pencabutan tuntutan makar, dan pembebasan tanpa syarat bagi empat Tapol Sorong.
Melalui jeritan perlawanan dan gugusan harapan yang tak terpadamkan, pesan dari Tanah Papua menggema: keadilan tidak dapat diasingkan, dan hak-hak rakyat tidak akan pernah bisa ditukar dengan emas atau dibungkam oleh sel penjara.
“Kami akan terus melakukan perlawanan atas segala bentuk kesewenang-wenangan di atas tanah ini dan seluruh dunia. Terima kasih dan salam demokrasi. Hidup rakyat yang melawan!” tutup SRPPDSR, sebuah janji perlawanan yang tak akan surut. (Julian Haganah Howay)