
Penyerahan uang kompensasi pembayaran tanah adat seluas 1 ha di Kampung Luaekama Husewa, Wamena, yang akan dijadikan lokasi TPA oleh Pemkab Jayawijaya (doc: Ambrosius Mulait)
Jayawijaya, Papua Pegunungan – Dalam suasana sore yang tenang di Kampung Luaekama Husewa, Wamena, suara burung dari lereng-lereng gunung bercampur dengan percakapan pelan para tetua adat menggunakan bahasa daerah.
Mereka membicarakan tanah yang sejak lama menjadi ruang hidup keluarga. Tanah yang diwariskan dari leluhur, tempat berkebun, berladang, hingga tempat kelak mereka dikuburkan.
Namun, ketenangan itu terusik oleh kabar yang datang pada 18 September 2025: pemerintah Kabupaten Jayawijaya meninjau lokasi pembangunan tempat pembuangan dan pengelolaan sampah di Husewa, bahkan dengan rencana pelepasan tanah ulayat seluas 1 hektar.
Kabar itu menyebar cepat. Video berdurasi dua menit beredar luas, memperlihatkan uang Rp1,7 miliar di atas meja, yang disebut sebagai kompensasi pelepasan tanah. Bupati Jayawijaya, Atenius Murip, menyerahkan dana tersebut melalui perwakilan keluarga di hadapan warga dan pejabat.
Bagi sebagian orang, angka itu besar. Namun bagi Ambrosius Mulait, cucu dari almarhum Hagaluke Hisage, pemilik hak ulayat tanah di Luaekama, uang sebesar itu tidak ada artinya sama sekali bila ditukar dengan masa depan.
“Tanah ini bukan semata aset ekonomi. Ia adalah ruang hidup, identitas, dan sumber kehidupan masyarakat adat,” tegas Ambrosius yang juga pegiat HAM dan lingkungan pada Yayasan PUSAKA Jakarta, dalam sebuah surat terbuka yang kini beredar luas.
Dalam surat itu, ia secara tegas menolak tanah warisan leluhur mereka dijadikan lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) oleh Pemda Kabupaten Jayawijaya. Sebab menurutnya, lokasi itu telah menjadi tempat bersemayam roh leluhur, ruang hidup, dan basis kehidupan generasi Luaekama Husewa di masa depan.
Masyarakat Husewa yang terdiri dari marga Mulait, Hisage, Himan, Wamu, dan Walilo, sejak lama hidup dari lahan sempit di lembah dan gunung. Lahan itu tidak luas, namun cukup untuk bertani, menanam ubi, sayur, dan kopi yang menjadi sumber pangan utama.
Pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan pengolahan sampah (IPLT) di atas tanah leluhur mereka dipandang sebagai penodaan dan ancaman langsung terhadap ruang hidup.
Narasi “tanah kosong” sering kali dipakai negara maupun investor dalam proyek pembangunan di Papua. Padahal, seperti dikatakan akademisi Tania Li (2007), tanah adat tidak pernah benar-benar kosong.
Tanah-tanah adat itu penuh dengan sejarah, identitas, punya ruang kosmologi dan praktik kehidupan sehari-hari. Bagi masyarakat adat Husewa, setiap jengkal tanah mengandung memori kolektif terkait leluhur dan tanggung jawab bagi generasi yang akan datang.
Persoalan Sampah dan Tata Kota Wamena
Wamena, sebagai ibukota Kabupaten Jayawijaya dan kini menjadi pusat pemerintahan Papua Pegunungan, belakangan menghadapi persoalan serius terkait sampah.
Data dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Jayawijaya (2023) mencatat timbulan sampah mencapai rata-rata 150 ton per hari, dengan mayoritas berasal dari rumah tangga dan pasar. Tanpa sistem pengelolaan yang memadai, sampah kerap dibuang sembarangan, menimbulkan bau busuk, mencemari air tanah, dan mengganggu kesehatan.
Namun, membangun tempat pengolahan sampah di tengah permukiman masyarakat adat bukan solusi. Kajian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menekankan pentingnya prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) serta partisipasi masyarakat dalam perencanaan.
Pemilihan lokasi harus memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan budaya sesuai dengan amanat UU Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sayangnya, masyarakat Husewa di Wamena mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan. Tidak ada sosialisasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Padahal aturan jelas mewajibkannya.
Inilah yang menjadi alasan Ambrosius Mulait menolak secara tegas pelepasan tanah ulayat dengan sejumlah alasan: Pertama, tanah leluhur adalah identitas dan ikatan dengan alam sekitar, bukan komoditas yang bisa ditukar dengan uang.
Kedua, potensi ancaman pencemaran. Pembangunan tempat pembuangan akhir (TPA) untuk berbagai jenis sampah akan merusak tanah, air, dan udara, bahkan membahayakan kesehatan anak-anak dan generasi masa depan.
Ketiga, konflik budaya dan spiritualitas. Proyek itu memutus hubungan sakral masyarakat dengan tanah warisan leluhur, kenangan masa lalu dan tanah sebagai ruang hidup di masa depan.
Ketiga, ketiadaan keadilan antar-generasi. Generasi muda dari marga Hisage dan lainnya tidak memiliki lahan luas sehingga dikuatirkan dengan adanya pembangunan TPA akan mempersempit ruang hidup mereka.
Kelima, dominasi elit politik lokal. Ada kekecewaan terhadap elit yang memanfaatkan proyek untuk kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan rakyat.
“Keputusan ini hanya memikirkan kepentingan jangka pendek, namun mengorbankan keberlanjutan hidup masyarakat adat dan generasi masa depan,” kata Ambrosius.
Pembangunan dan Kolonialisme Tanah
Apa yang terjadi di Husewa tidak bisa dilepaskan dari pola kolonialisme internal di Papua. Seperti dikatakan David Harvey (2003) dalam teori “accumulation by dispossession”, pembangunan seringkali menjadi dalih untuk merampas tanah demi kepentingan modal atau infrastruktur.
Dalam konteks ini, negara dan pemerintah hadir bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai fasilitator perampasan.
Fenomena ini juga berkaitan dengan kritik Frantz Fanon (1961) tentang kolonialisme: tanah bukan hanya ruang fisik, tetapi simbol eksistensi. Ketika tanah diambil, yang dirampas bukan sekadar aset, melainkan martabat dan keberlanjutan sebuah bangsa.
Karena itu, sebagai langkah alternatif, warga Husewa perlu mendesak pemerintah mencari lokasi alternatif untuk pengolahan sampah, jauh dari pemukiman.
Solusi lain bisa mengacu pada model desentralisasi pengelolaan sampah, di mana setiap distrik mengelola sampah secara mandiri dengan teknologi sederhana, ramah lingkungan, dan partisipatif.
Di beberapa kota kecil di Indonesia, program bank sampah atau pengolahan berbasis komunitas terbukti mengurangi volume sampah hingga 30%.
Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang diakui dalam Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP 2007) harus menjadi standar utama: tidak ada pembangunan di tanah adat tanpa persetujuan penuh masyarakat pemilik hak ulayat.
Menjual dan menyerahkan tanah adat warisan leluhur dengan kompensasi sejumlah uang, bukanlah solusi untuk mendukung pembangunan. Sebab uang bisa habis dalam semalam. Tapi tanah akan terus memberi kehidupan sepanjang masa.
Penolakan warga Husewa bukan sekadar soal sampah, melainkan tentang martabat, hak atas tanah, dan keberlangsungan hidup mereka beserta generasi mendatang.
Di tengah derasnya arus pembangunan beserta proyek investasi yang menguras sumber daya alam (SDA) di tanah Papua, masyarakat adat kembali mengingatkan bahwa tanah bukanlah ruang kosong. Tanah adat penuh dengan kehidupan yang tak ternilai. (Julian Haganah Howay)