
Mama-mama Pedagang Papua saat berjualan di pinggir jalan, depan emperan pertokoan Sanggeng di Jalan Yos Sudarso. Mereka menanti Pasar Sanggeng yang baru (doc: wenebuletin).
Manokwari, Papua Barat – Di tengah hiruk pikuk Manokwari, Ibu Kota Provinsi Papua Barat yang mulai berbenah, sebuah kisah panjang tentang perjuangan, mimpi, dan modernisasi sedang ditulis ulang.
Kisah itu berpusat pada sebidang tanah yang selama puluhan tahun menjadi jantung ekonomi warga Kota Manokwari: Pasar Sanggeng. Tidak terlalu jelas, sejak kapan pasar ini mulai berdiri. Namun dari sejumlah sumber lisan, Pasar Sanggeng sudah ada sejak 1960an ketika Indonesia mencaplok tanah Papua.
Awalnya berupa bangunan pondok-pondok jualan sederhana yang bergerombol di sepanjang muara Kali Konto Sanggeng, di tepian Teluk Doreri. Wajah pasar ini dulunya menjadi tempat para pedagang tradisional Papua dan migran Indonesia yang datang, menjajakan dagangan mereka.
Perkembanganya, pasar ini bukan sekadar tempat transaksi jual beli antara pedagang dan pembeli, melainkan monumen peradaban yang didirikan dengan tekad kuat. Kini pasar bersejarah ini telah bertransformasi, dirombak total untuk menjawab tuntutan masa depan.
Sejarah Pasar Sanggeng tak bisa dilepaskan dari warisan kepemimpinan sebelumnya yang visioner. Sekitar tahun 1989, di tengah keterbatasan anggaran dan sebelum era Otonomi Khusus, almarhum Bupati Manokwari Drs. Esau Sesa mendirikan Pasar Sanggeng beserta sejumlah bangunan monumental lainnya.
Sebuat saja Pasar Wosi, Stadion Sanggeng, Gedung Olahraga (GOR) Sanggeng, pembangunan jalan dan jembatan di sejumlah tempat hingga sejumlah karya non fisik lainnya. “Waktu itu bapa bangun pasar Sanggeng dan sejumlah bangunan lain saat belum ada Otsus dan uang banyak seperti sekarang,” kenang Marthen Sesa, anak kandung dari mendiang bupati Esau Sesa.
Setelah selesai dibangun, Pasar Sanggeng yang juga memiliki los bertingkat (disebut Pasar Tingkat) telah menjadi simbol kebanggaan warga Kota Manokwari dan pusat perekonomian termegah di Tanah Papua. Ikon ini pun menjadi salah satu saksi kejayaan Manokwari di akhir 1980an hingga awal 2000an.
Namun, kejayaan itu harus berhadapan dengan pusaran waktu dan kenyataan pahit. Selama 36 tahun berdiri, Pasar Sanggeng berkali-kali dilanda musibah kebakaran, termasuk telah dua kali mengalami kebakaran hebat.
kebakaran itu membuat bangunannya tak lagi layak, menjadi kumuh, dan jauh dari kata representatif. Kenangan akan pasar yang megah pun berubah menjadi tumpukan puing dan ketidakpastian bagi para pedagang.
Bagi keluarga besar Esau Sesa, pembongkaran pasar lama pada 8 Maret 2023 guna revitalisasi, telah menjadi momen mengharukan. Sekaligus bagi para pedagang dan warga Kota Manokwari yang telah memiliki kenangan bersama bangunan lama pasar ini.
Selama 2 minggu pasar dibongkar, para pedagang sudah direlokasi ke dua titik berbeda: area Taman Besi yang dekat dengan pasar lama (belakang Bank Mandiri, BRI dan Bank Papua) di jalan Yos Sudarso) dan Jalan Percetakan Sanggeng.
Namun belakangan, sebagian pedagang, terutama mama-mama pedagang Papua yang direlokasi ke Jalan Percetakan maupun di area dalam Pasar Sementara Taman Besi, memilih berjualan di area terbuka, di emperan pertokoan Sanggeng dan pinggiran jalan utama Yos Sudarso.
Pasar Berwajah Baru, Tantangan dan Harapan
Proyek revitalisasi pembangunan Pasar Sanggeng terjadi di bawah pemerintahan Bupati Hermus Indou. Ia menegaskan bahwa proyek ini adalah perwujudan janji politik untuk masyarakat. “Semua janji itu mengandung semua kepercayaan,” ujarnya.
Komitmen ini diwujudkan melalui proyek revitalisasi skala besar yang didanai APBN melalui Kementerian PUPR. Dengan total anggaran mencapai Rp162,8 miliar, Pasar Sanggeng direncanakan berdiri sebagai pusat perdagangan rakyat yang aman, nyaman, bersih, tertata, dan lebih estetis.
Pekerjaan konstruksi utama dimulai dengan peletakan batu pertama pada 25 Oktober 2023. Pasar baru ini dirancang memiliki tiga lantai di atas lahan seluas 27.809 m² sehingga jauh lebih luas dan modern dari sebelumnya.
Data spesifikasi menjanjikan total 1.410 unit dagang, terdiri dari 394 kios dan 1.016 los pedagang, yang dilengkapi fasilitas modern. Misalnya, akses vertikal tidak hanya menggunakan tangga, tetapi juga eskalator.
Bangunan pasar juga dilengkapi fasilitas penunjang seperti Mushola, Ruang Kesehatan (Medis), Toilet yang layak di setiap lantai, gudang penyimpanan, pos keamanan, hingga area kuliner (warung dan café). Bagian dalam lantai pasar dibalut dengan tehel dan bagian luarnya juga dilengkapi ruang terbuka berupa taman dan area parkir.
Pasar Sanggeng yang baru ini diposisikan strategis, dekat pelabuhan dan pusat pelelangan ikan yang berada di Teluk Doreri. Menurut Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU), Diana Kusumastuti, tujuannya adalah menjamin distribusi bahan pokok, menggerakkan sektor riil dan UMKM, sekaligus menjadikannya sumber utama pendapatan daerah.
Meskipun dari aspek desain, lokasi dan tampilan fisik menunjukan bangunan Pasar Sanggeng tampak modern dan dilengkapi berbagai fasilitas, namun tidak terlepas dari sejumlah kritikan.
“Dari sisi rancangan tempat jualan seperti meja, saya lihat masih belum memadai karena mejanya terlalu kecil,” ujar Markus Yenu, seorang aktivis Papua dan warga Sanggeng yang juga saksi hidup perubahan Pasar Sanggeng dari waktu ke waktu.
Menurutnya, niat Pemerintah untuk menghadirkan Pasar Sanggeng yang modern perlu diapresiasi. Namun dalam aspek desain, pembangunan dan pengelolaan perlu mengakomodir kebutuhan objektif dan kebiasaan berjualan pedagang Papua, terutama mama-mama Papua.
Yenu menjelaskan, pedagang Papua jika dikategorikan, umumnya terdiri dari dua tipe: pedagang musiman atau tidak tetap dan pedagang tetap. Mereka yang termasuk dalam kategori pedagang musiman dilihat dari kehadiran di pasar yang ditentukan oleh ketersediaan komoditas jualan dan hasil kebun.
“Yang masuk kategori pedagang tetap, adalah mereka yang tiap hari menjual komoditas tertentu di pasar, selalu berada di pasar dan sudah mampu mengelola keuangannya dengan baik,” jelas Markus.
Dia juga mengkritik ukuran meja jualan yang dibuat dan disediakan untuk para pedagang di area los jualan bahan basah seperti sayuran, umbi-umbian, buah-buahan dan lainnya. Sebab meja yang dibuat tergolong kecil dan pendek: rata-rata memiliki panjang 220 cm dan lebar 190 cm.
Dikuatirkan, jika fasilitas meja jualan di dalam area los pasar tidak memungkinkan karena pendek, sempit dan kurang nyaman, mama-mama pedagang Papua akan memilih berjualan di luar los pasar dan di atas tanah terbuka dengan beralas karung. “Ini seperti pengalaman pasar mama-mama Papua yang sempat dibangun Pemda di area terminal lama Pasar Sanggeng”.
Dari 394 kios yang disediakan, Markus Yenu juga menanyakan berapa banyak pedagang Papua yang dapat memanfaatkan fasilitas ini untuk berjualan secara tetap, jika memang Pasar Sanggeng yang modern hadir untuk memberdayakan orang asli Papua?
Karena itu, dia mengingatkan Pemda Kabupaten Manokwari agar perlu mengaturnya dengan baik. Misalnya, dalam hal ketersediaan fasilitas, pendaftaran pedagang, dipindahkan untuk menempati los dan soal pengelolaan.
Dari aspek budaya Melanesia, mama-mama pedagang Papua dalam berdagang, umumnya lebih memilih berjualan dengan beralas karung, di ruang terbuka dan bertemu langsung dengan pembeli. Jadi penyediaan pasar dengan meja jualan berbahan semen di dalamnya akan menjadi tantangan, apakah mereka akan tetap bertahan atau tidak?
Namun sejumlah pengamat sosial dan budaya menekankan bahwa mama-mama pedagang sudah saatnya perlu dibina agar mampu bertransisi dari perilaku berdagang dengan cara-cara tradisional (subsisten). Ini termasuk dalam penyediaan tempat jualan yang lebih representatif, modern, hingga perlunya pembinaan yang memungkingkan adaptasi dengan pola berdagang yang baru.
Sejumlah aktivis lingkungan di Manokwari juga menyoroti pembangunan Pasar Sanggeng yang baru dari aspek dampak lingkungan dan tantangan pengelolaan sampah. Sebab pasar ini berlokasi di tepian Teluk Doreri dan muara Kali Konto yang sebelumnya sudah sering dipenuhi berbagai sampah yang terbawa banjir ke laut saat musim hujan.
“Jika sampah dan limbah cair dari Pasar Sanggeng tidak dikelola dan ditata dengan baik, akan menimbulkan masalah lingkungan yang lebih parah,” ujar Alexander Sitanala atau biasa dipanggil Ichon, aktivis lingkungan dan koordinator Ketapang Dive Community (KDC) Kwawi.
Menurut penyelam yang selama ini terlibat dalam proyek penyelaman riset kelautan, konservasi dan fokus mengkampanyekan pengembangan taman bawah laut Teluk Doreri, pencemaran sampah berbentuk microplastics dan sejumlah material lainnya, sudah sejak lama mencemari perairan dan biota laut di Teluk Doreri.
“Jadi sekarang tergantung Pemda saja. Apakah mereka bisa atau tidak untuk mengelola sampah dan limbah yang terbuang dari Pasar Sanggeng sehingga tidak menambah pencemaran di Teluk Doreri,” cetusnya.
Apalagi sebelumnya, dari temuan para peneliti Universitas Negeri Papua (Unipa), Pasar Sanggeng menjadi salah satu penyumbang terbesar pencemaran sampah dan limbah di perairanTeluk Doreri. Selain dari pemukiman warga sekitar, sungai yang membawa berbagai sampah, dermaga hingga kapal yang berlabuh.
Denyut Harapan di Tengah Tahap Akhir Pembangunan
Meskipun konstruksi fisik pasar telah rampung pada akhir tahun 2024, pekerjaan belum sepenuhnya usai. Saat ini, pembangunan memasuki Tahap II yang berfokus pada penyempurnaan elemen pendukung operasional seperti jaringan listrik, air bersih, sanitasi, dan penataan akses.
Tahapan itu menjadi fase yang sering menentukan apakah sebuah pasar akan benar-benar hidup, memadai dan ramah lingkungan, atau hanya menjadi sekadar gedung megah.
Dengan dukungan Pemprov Papua Barat, Tahap II ini ditargetkan rampung cepat, dengan harapan Pasar Sanggeng yang modern dapat diresmikan dan mulai beroperasi penuh menjelang HUT Kabupaten Manokwari pada 8 November 2025.
Dalam penantian ini, Pj. Gubernur Papua Barat, Paulus Waterpauw, sebelumnya telah menekankan pentingnya menjaga ketertiban dan memastikan prioritas bagi mama-mama pedagang Papua untuk menempati area di dalam pasar.
Pesan ini krusial, mengingat Pasar Sanggeng harus berfungsi sebagai simbol kesejahteraan yang melayani tidak hanya Manokwari, tetapi juga lima kabupaten di sekitarnya.
Pasar Sanggeng yang baru adalah janji infrastruktur. Ini harus membawa harapan agar para pedagang, khususnya mama-mama yang selama ini berjuang di pinggiran, dapat menikmati ruang dagang yang layak dan aman, menjadikannya kembali sebuah ikon peradaban yang membanggakan di mata warga Manokwari.
Di balik optimisme yang ada, pembangunan Pasar Sanggeng juga tidak luput dari kendala soal bagaimana para pedagang didata agar nanti dapat menempati pasar. Selain itu, tantangan lain adalah memastikan pasar baru nanti benar-benar memberdayakan pedagang asli Papua.
Selama ini, banyak mama-mama pedagang yang menjual hasil kebun mereka sendiri, tapi tidak sedikit pula yang menjadi pengepul. Mama-mama pedagang Papua yang selama ini sudah berjualan di Pasar Sanggeng dan sementara menunggu proses pembangunan, tersebar di area Pertokoan Sanggeng, Pasar Sementara Taman Besi, berjualan di pondok pinggir jalan, di depan Masjid Amban, di depan jalan jalan Pasar Borobudur hingga Borarsi.
Karena itu sistem yang dibangun saat pemanfaatan Pasar Sanggeng yang baru harus memastikan agar mama-mama Papua tetap menjadi pemilik sah ruang ekonomi di pasar tersebut.
Di balik tumpukan sayuran, ubi, dan noken yang mereka jajakan, tersimpan harapan besar dari para mama-mama Papua. Mereka tidak menuntut banyak, hanya tempat yang layak untuk berjualan.
“Kami butuh lampu, butuh toilet yang bersih, dan butuh keamanan,” kata Mama Susana Pigai yang berjualan noken di pinggir jalan Yos Susarso. “Kalau ada lampu, kami bisa jualan sampai malam, tidak takut. Kalau ada toilet yang layak, kami tidak perlu bayar mahal lagi.”
Mama-mama pedagang Papua adalah potret ketangguhan dan semangat juang. Mereka adalah tiang ekonomi, dapur keluarga dan penjaga budaya lokal. Perjuangan mereka bukan sekadar tentang meja dan lapak jualan, tapi tentang memulihkan ruang hidup, martabat, dan hak mereka sebagai pemilik sah tanah Papua.
Menjelang peresmian pasar baru, harapan itu kian menguat. Mama-mama Papua menanti sebuah tempat yang tidak hanya sekadar gedung modern, tapi juga simbol pengakuan dan keberpihakan terhadap perjuangan mereka.
Sebuah tempat di mana senyum mereka bisa lebih merekah, tanpa harus dibayangi debu, panas, hujan, ketidakpastian dan ketidakadilan. (Julian Haganah Howay)