
Tradisi membakar kebun orang Maybrat (doc: Mantah/Petarung)
SIANG itu, matahari bersinar cerah, merayakan perjalanan kami. Di atas kepala, awan putih terhampar bak kanopi agung yang menemani langkah menuju kebun Tumases di Kampung Susumuk, Distrik Aifat, Maybrat, Papua Barat Daya.
Kiri dan kanan jalan, hamparan anggrek tanah (Spathoglottis plicata) tumbuh liar, sebagian mekar penuh warna, sebagian layu menjadi penanda waktu yang terus berputar. Sebagian lagi masih menunggu janji untuk berbunga.
Bunga-bunga hutan itu, dalam diamnya, seolah menjadi penjaga keabadian yang mengawasi warisan leluhur.
Jalan aspal yang membentang mulus di atas hamparan tanah karst terasa bagai pernyataan cinta yang tulus terhadap negeri tercinta, Susumuk. Di atas cadas yang keras itu, kehidupan justru menemukan jalannya, tumbuh subur, menampilkan warna-warni memukau, laksana surga bunga yang diturunkan ke bumi.
Kami pun berbelok, menapaki jalan setapak yang menembus rimbunnya hutan Merie, Mutet, Dan Ramboh. Kanopi hutan menjadi atap pelindung, meredam bising dunia luar.
Nekah Kah: Sebuah Ritual Pembaharuan
Setibanya di Tain (bahasa Maybrat, bekas kebun), perjalanan berlanjut hingga akhirnya kami tiba di kebun milik Mama, panggilan hormat kami. Suara Mama yang membalas panggilan kami menjadi penanda hangat bahwa dia telah menunggu.
“Kamu dua bantu mama bakar kebun dulu,” ujar Mama sambil tersenyum, wajahnya memancarkan kearifan yang lahir dari tanah dan alam.
Kami menyanggupi. Proses membakar kebun, yang dalam bahasa Maybrat disebut nekah kah, bukanlah sekadar membersihkan lahan, melainkan ritual pelepasan dan penyambutan.
Saya dan Om Yohanis Atanay sigap mengumpulkan kayu-kayu kering (tan), sementara Mama menyalakan api menggunakan kulit kayu, sebuah warisan teknologi purba yang disebut ahari.
Api mulai menari dan menjalar. Kami mencabut rumput, memotong dahan-dahan kecil, dan membuangnya ke tengah bara agar menjadi arang. Bara yang telah murni itu kemudian diletakkan di tempat yang telah dibersihkan.
Di sanalah, sebentar lagi, awiah (keladi), pisang, sayur, dan berbagai tanaman pangan akan ditanam. Inilah tradisi turun-temurun, sebuah kearifan ekologis yang diwariskan nenek moyang Maybrat. Mengajarkan bahwa tanah harus diolah dengan penghormatan, bukan kerakusan.
Saat kami beristirahat, Mama mengangkat keladi yang telah dipanggang dalam arang, mas awiah ro mewau sah. Keladi itu hangat di tangan, sarat gizi dan cerita.
Sementara itu, dari puncak gunung bebatuan kapur (karst)Turmata dan Tuker, burung-burung hutan yang dinamai dalam bahasa Maybrat, kontaif, runau, kerok, iek, dan wimbas, berkicau riang. Kicauan mereka seolah menjadi penegasan dari alam, menyambut generasi muda yang melanjutkan budaya ini.
Mama mengangkat keladi panggang dengan tuka (tongkat kayu/gata-gata), dan terlihat jelas betapa awiah (keladi) berdiri tegak dalam ora (kebun). Masyarakat Maybrat tidak pernah menanam satu jenis tanaman saja.
Ladang mereka selalu menerapkan polikultur (pertanian campuran), sebuah sistem yang oleh ilmuwan modern disebut sebagai pertanian berkelanjutan (sustainable farming).
Pola pertanian ini, meskipun tradisional, justru menjadi jantung dari konservasi alam lokal. Tanpa pupuk kimia, tanpa pestisida, semuanya alami. Keanekaragaman tanaman dalam satu lahan mencegah hama menyebar luas dan secara alami menyuburkan tanah. Ini adalah praktik konservasi yang berbasis pada tradisi.
Ketika Mama menanam maso awiah, jarak tanamnya hanya diperkirakan dengan naluri, sama seperti saat seseorang menimbang langkah pertama dalam menembak cinta. Dari jauh, tampak Ibu Sona Yumte melakukan pekerjaan membersihkan rumput dan dedaunan yang disebut kemur kah (membakar sampah kebun).
Kami pun menunggu bara itu menjadi arang, membuangnya ke tempat yang telah disiapkan, dan menanti hingga tiga hari sebelum lahan siap ditanami. Proses menanti ini, bagi masyarakat Maybrat, mengajarkan kesabaran dan penghormatan pada siklus alam.
Kebun Sebagai Identitas dan Falsafah Hidup
Dari kejauhan, Mama terlihat memanen sawi putih, sementara Ibu Sosana Yumte menyiapkan arang. Semua kegiatan ini mengajarkan sebuah falsafah: berkebun bukan sekadar mencari makan, tetapi menjaga warisan budaya, kebersamaan dan keseimbangan alam.
Ini adalah praksis nyata dari prinsip konservasi berbasis adat yang membuat tanah karst Maybrat, Papua tetap produktif dan lestari.
Kami akhirnya harus pulang. Namun, pengalaman di kebun hari itu menjadi pengingat yang melekat kuat. Bagi masyarakat Maybrat, kebun bukan sekadar tempat bercocok tanam, tetapi sebuah identitas sosial dan moral.
Mereka selalu berkata, “Kalau tidak punya kebun, berarti orang malas.”
Kalimat ini lebih dari sekadar nasihat kerja keras; ini adalah penegasan bahwa identitas Maybrat terikat pada kemampuan mereka mengolah tanah dan merawat kehidupan. Meskipun orang sering meremehkan petani sebagai “orang kampung”, justru dari kerja keras mereka dari ritual nekah kah hingga pemanenan awiah, kita dapat menikmati gizi dan kehidupan di atas meja makan.
Tradisi berkebun Maybrat adalah jembatan antara masa lalu, konservasi alam, dan jaminan pangan masa depan. Ini adalah warisan yang wajib kita jaga!
(*) Imanuel Tahrin adalah penulis kisah ini. Dia adalah aktivis lingkungan, pemerhati budaya dan pendiri komunitas Peduli Tata Ruang (Petarung) Papua yang berbasis di Kampung Susumuk, Aifat, Maybrat, PBD.