
Pemandangan Teluk Yotefa saat sore menjelang (doc : Yongri Pic/Papuan Photo)
DI bawah langit Papua yang biru membentang luas seperti kain tenun leluhur. Angin laut membawa bisikan rahasia dari Samudra Pasifik, terletak sebuah kampung kecil di tepian Teluk Youtefa, Kota Jayapura, tanah Papua, bernama Abe Pantai.
Dengan aksen khas Papua, kami biasanya menyebut Abe Pantai dengan Abepante, sebuah kampung kelahiran yang permai dan tempat masa kecilku.
Kampung ini punya panorama alam yang memukau mata. Pantai Teluk Yotefa yang dipagari kawasan hutan bakau, perbukitan hijau dan lembah yang subur.
Konon Abepante adalah sebuah nama yang diserap atau berasal dari akar bahasa Jepang, warisan kelam dari masa penjajahan yang masih bergema di pasir pantainya.
Lahir di tempat yang menyimpan cerita dan artefak peninggalan sejarah Perang Dunia II, saya hanyalah seorang anak kampung biasa.
Tumbuh mengikuti langkah pelan kedua orang tuaku yang berasal dari Buton, Sulawesi Tenggara, sambil menyelami ritme hidup, budaya orang Papua beserta keindahan alamnya. Saya seperti daun muda yang bergantung pada pohon sagu tua di tengah hutan tropis yang lembab.
Orang tuaku, petani kecil yang sederhana. Hidup dari tanah pinjaman, bukan milik sendiri, melainkan “dipinjam” dengan meminta izin kepada pemilik asli, orang-orang Papua di tempat ini yang kala itu masih menjaga alam beserta adat leluhur dengan ketat.
Mereka adalah komunitas adat suku Nafri dan Enggros Tobati. Orang tuaku beserta sanak keluarga lain di kampung ini hidup dari hasil mengolah lahan sempit itu dengan alat-alat sederhana: cangkul besi berkarat dan parang.
Mereka menanam ubi kayu, pisang, dan sayur-sayuran untuk bertahan hidup dalam pertanian subsisten yang rapuh, di mana hasil panen sering kali hanya cukup untuk menyokong kebutuhan makan sehari-hari.
Kadang mereka pergi melaut atau mencari ikan di kawasan pesisir Teluk Yotefa yang kala itu seumpama deretan wanita cantik yang masih perawan. Sungai, pantai, laut dan kawasan pemukiman belum dicemari sampah hingga limbah beracun.
Pohon-pohon bakau, dusun sagu dan hutan sekitar yang menghampar hijau, belum tergerus oleh parang, kapak, gergaji dan chainsaw dari para tangan-tangan jahil.
Dalam bayangan masa kecil saya, Abepante, yang terletak di Distrik Abepura, Kota Jayapura, adalah permata ekologis yang tersembunyi, namun kini tercekik di tengah hiruk-pikuk urbanisasi Kota Jayapura yang menjadi barometer pembangunan tanah Papua.
Kampung ini seperti sebuah kuali raksasa: pemukiman padat di tengahnya, dikelilingi lautan biru di depan yang kaya biota, ikan-ikan berwarna-warni, udang, dan kerang yang melimpah di perairan Teluk Youtefa yang menyatu dengannya.
Teluk ini, salah satu kawasan mangrove terpenting di Papua. Mencakup ekosistem bakau yang luas. Rumah bagi lebih dari 20 spesies pohon mangrove seperti Rhizophora dan Avicennia, yang mendukung keanekaragaman hayati dengan menyediakan tempat berkembang biak bagi ribuan spesies ikan, udang, kerang, dan burung migran, termasuk 150 spesies ikan yang menjadi sumber protein utama masyarakat lokal.
Di sisi kiri, kanan, dan belakang, gunung-gunung hijau menjulang, menawarkan tanah subur vulkanik yang kaya mineral. Ideal untuk pertanian organik yang mendukung 70% kebutuhan pangan Jayapura.
Namun, keindahan ini negitu rapuh. Luas mangrove Teluk Youtefa telah menyusut dari 1.200 hektare pada 1980-an menjadi kurang dari 800 hektare saat ini. Terancam oleh urbanisasi, pencemaran limbah domestik dari kawasan padat penduduk sekitar, serta konversi lahan yang mengurangi luasnya hingga 30% sejak 2000.
Kondisi terkini tentu menjadi sebuah ancaman bagi keseimbangan ekosistem yang menjadi tumpuan tradisi lokal seperti tonotwiyat suku Enggros-Tobati, yang melestarikan hutan mangrove sebagai “hutan perempuan” yang sakral.
Abepante dan Jejak MacArthur
Di sini, orang tuaku tinggal, berkebun dan menuai hasil bumi yang menjadi sandang pangan bagi keluarga dan warga Kota Jayapura. Kota ini bergantung pada 70 % ketahanan pangan lokal untuk kebutuhannya, meski kini terancam oleh degradasi lingkungan dan ekspansi pembangunan.
Abepante sebenarnya bukan hanya surga alam yang memukau. Ini adalah monumen hidup dari luka Perang Dunia II yang tak pernah sembuh sepenuhnya.
Pada 1940-an, kampung ini menjadi saksi bisu pertempuran sengit di region Pasifik dan pulau New Guinea. Di mana Pasukan Sekutu di bawah komando Jenderal Douglas MacArthur mendarat untuk mengusir Jepang dari Pasifik.
MacArthur, seorang jenderal hebat, pernah memimpin Operasi Cartwheel yang merebut Hollandia (sekarang Jayapura) pada April 1944. Menjadikannya markas utama Sekutu di Pasifik dan memicu invasi Jepang yang brutal sejak 1942.
Jejak perang ini masih bertebaran seperti hantu bergentayangan yang tak tenang. Bom-bom raksasa yang tak meledak, tank M4 Sherman berkarat, peluru senapan, pistol Colt, dan puing kapal perang yang terdampar di pantai.
Di Abepante, yang dulunya markas Jepang selama Operasi Mo (invasi Port Moresby, 1942), sisa-sisa itu bisa ditemukan. Kini Papua New Guinea (termasuk wilayah perbatasan) masih bergulat dengan banyaknya korban luka atau tewas akibat amunisi tak meledak sejak 1945.
Menurut The HALO Trust, upaya pembersihan sisa=sisa bom dan amunisi peninggalan perang itu telah melibatkan pasukan Jepang untuk defuse bom di Miyakojima dan sekitarnya.
Di Abepante, kuburan seorang petinggi tentara Jepang masih berdiri tegak di pinggir kampung beserta tulang belulang tentara Jepang, lengkap dengan topi khas mereka yang motifnya terurai panjang di bahu, sehingga pantai ini dinamai Pantai Jepang,
Peninggalan ini mengingatkan pada kekalahan Jepang di Battle of Biak (1944) yang menewaskan hingga 53.000 prajurit Jepang di Papua, dengan sisa-sisa yang kini dipulihkan di Bomana Japanese War Cemetery di Port Moresby.
Latar sejarah inilah dan cerita angker dibaliknya telah menjadi memori kolektif yang diceritakan dari generasi ke generasi oleh penduduk lokal di Abepante. Inilah alasan dibalik orang tua biasanya melarang kami bermain di luar rumah saat maghrib atau malam hari.
Sebab kampung ini angker, penuh cerita hantu prajurit Jepang yang bergentayangan. Meninggalkan bekas mengerikan dari pertempuran yang menewaskan ribuan orang, seperti di Battle of Madang (1944) di mana pasukan Australia mengejar Jepang hingga ke pantai utara Papua Barat.
Volkswagen, Curi Anjing, dan Gereja Toleransi
Di balik bayang perang yang angker, Abepante adalah kampung yang hidup. Penuh warna sosial yang komplit dan mencerminkan harmoni budaya Papua bersama alamnya yang indah.
Selain hantu masa lalu, saya ingat mobil Volkswagen (VW) buatan Jerman. Mobil peninggalan pasca-perang yang disulap menjadi kendaraan pengangkut hasil pertanian. Setiap pagi, mobil ini berkeliling dengan klakson “telolet” yang khas, memecah kesunyian, membawa sayuran, ubi dan pisang ke pasar terdekat.
Kampung Abepante saat itu boleh dibilang telah menjadi “lumbung” pertanian Kota Jayapura karena menyumbang 40% sayuran segar ke pasar lokal pada 1980-an. Menjadikannya sumber ketahanan pangan utama di tengah isolasi geografis Papua, di mana masyarakat adat seperti suku Nafri, Tobati dan Sentani masih terikat pada tradisi gotong royong sebagai penopang hidup.
Sepulang sekolah, kebun, laut, dan hutan menjadi taman bermain. Bersama kawan-kawan, kami kadang memasang perangkap dadeso untuk tikus tanah dan burung. Mencari ikan dengan menyelam (molo-molo) di air jernih mangrove Teluk Youtefa, kawasan yang kaya dengan 150 spesies ikan.
Kami juga senang bermain ombak dengan perahu sederhana dari kayu ulin. Lautan Abepante, yang menyatu dengan Teluk Yotefa, adalah panorama indah. Di kala sore, matahari terbenam dengan cahaya keemasan, memantul di air, dikelilingi bakau yang melindungi dari erosi pantai.
Sayangnya, kawasan ini kini terancam oleh konversi lahan untuk permukiman, sehingga mengurangi luasnya hingga 30% sejak tahun 2000 dan memengaruhi biodiversitas fauna seperti burung hingga mamalia laut.
Saat kecil, saya mahir memancing ikan dengan batang bambu dan umpan cacing. Menangkap ikan untuk santapan keluarga. Kebun, hutan, dan laut begitu menyatu dalam kisah hidup masa kecilku. Ini mengajarkan harmoni dengan alam yang kini terancam deforestasi, pembangunan yang ‘takaruang adat’ dan perubahan iklim.
Tapi Abepante juga punya sisi gelap yang manusiawi. Mencerminkan dinamika sosial Papua di mana tradisi adat bercampur dengan pengaruh modern.
Satu lagi yang saya ingat, saya pernah mencuri anjing milik tokoh kampung, sebuah aib besar karena anjing menjadi bagian dari kehidupan warga Papua. Dimana hewan peliharaan sering menjadi bagian dari identitas sosial. Saya menjual anjing curian itu untuk membayar hutang judi karena kalah berulang kali.
Kampung Abepante begitu komplit. Pasca-panen biasanya dirayakan dengan pesta joget kadayo, merayakan hasil bumi dengan tarian adat yang riuh, di mana suku-suku Papua dan pendatang di kampung ini berbaur dalam gotong royong.
Sebuah tradisi yang memperkuat ikatan komunal seperti dalam mitologi Papua yang menekankan kesatuan sebagai kekuatan.
Jelang Hari Raya Idul Fitri (Lebaran) atau bulan Puasa, judi menjadi “cara suci” menyambut hari besar, sebuah tradisi sosial yang mencerminkan sejarah judi di Papua sebagai bentuk hiburan komunal. Meski kini dikaitkan dengan masalah ekonomi dan perubahan sosial di mana 20% kaum miskin sering terlibat dalam aktivitas informal seperti ini untuk mengatasi kemiskinan
Sejak kecil, saya ikut bermain dengan orang tua dan orang dewasa, juga belajar pelajaran pahit tentang godaan yang merusak harmoni sosial. Kendati begitu, Abepante terkesan religius dan toleran, mencerminkan identitas budaya Papua yang harmonis di mana agama menjadi jembatan persatuan.
Setiap sore, saya biasanya ikut mengaji di masjid, dan sering mewakili kampung di lomba adzan atau ngaji antar-kampung hingga menjadi juara. Disini suara saya seolah bergema bagai doa angin laut dari Abepante.
Toleransi beragama saat itu begitu kuat. Lebaran dan Natal melebur jadi satu menyatukan warga dalam harmoni. Anak-anak dari kampung sebelah biasanya menyeberang, mengunjungi hanya untuk nonton film Yesus di gereja. Disini kami duduk di ubin polos tanpa keramik, antusias menyaksikan pemutaran film Kristiani hingga usai.
Ini mencerminkan budaya Papua yang harmonis, di mana 70% masyarakat Jayapura hidup berdampingan antar-agama tanpa konflik. Dengan komunitas gereja dan masjid saling membantu dalam kegiatan sosial dan pembangunan.
Disebut Anak Durhaka Hingga Merantau
Selepas SMP, hidup saya berubah drastis. Setiap hari kami bermain judi. Ingatan akan kondisi kehidupan orang tua yang sederhana, miskin dan kutukan “cepat mati” karena mencuri anjing, menghantui.
Saya sering bertengkar: dari makian kasar, melempar batu ke rumah sendiri karena kesal dengan orang tua, hingga curi barang di rumah atau kampung. Suatu hari, saat melempar rumah karena emosi, tetangga menyebut saya “anak durhaka”.
Kata ini menusuk seperti pisau dan membekas. Mencerminkan konflik generasi di masyarakat Papua di mana kemiskinan struktural telah mendorong kenakalan dini sebagai pelarian.
Saya memang nakal, tapi ada sisi lain yang positif. Saya suka menemani Mama ke kebun, mengangkat barangnya, dan menjadi tukang panggul beras saat menemaninya pergi melakukan barter hasil panen dengan beras atau pakaian bekas di rumah orang kaya.
Dengan Bapak, yang matanya sudah rabun, saya biasa menuntun tangannya ke masjid untuk sholat, meski saya tak ikut dan hanya berdiri di bawah pohon mangga, menunggu ia keluar.
Itu setitik kebaikan di lautan kenakalan saya yang dicap “anak durhaka”. Ini menggambarkan dinamika keluarga di kampung miskin di mana nilai adat seperti hormat kepada orang tua sering bertabrakan dengan tekanan ekonomi.
Abepante sering dikunjungi perantau, yang datang sebentar lalu pergi. Namun cerita-cerita petualangan mereka seperti benih yang tertanam di pikiranku. Mencerminkan pola migrasi di Papua di mana para pemuda kadang meninggalkan kampung untuk mencari peluang di kota lain atau luar negeri.
Suatu hari, saat orang tua saya ke kebun, rumah kami yang berdinding sagu sepi. Saya lalu masuk, membongkar kamar dan mengetahui rahasia simpanan uang Mama di kasur yang dijahit ulang. Juga uang Bapak yang disembunyikan di tungku dapur.
Saya kemudian merobek kasur, mengambil sejumlah uang untuk bekal, lalu membungkus baju dan ijazah dalam plastik kresek. Saya tidak ingat persis tanggal berapa, tapi saat itu saya pun memutuskan keluar rumah dengan celana SD untuk merantau jauh.
Dari rumah di Abepanye, saya naik mobil menuju pelabuhan Jayapura, lalu menumpang kapal menyeberang lautan lepas. Sendirian dengan tekad tak pulang.
Kini menjelang 50 tahun usiaku, kisahku sebagai bocah kampung yang bandel dan kemudian menjadi perantau mengelilingi Indonesia hingga Amerika, ingin kutulis dalam otobiografi. Ini tentu tak lepas dari mimpi berulang di Abepante: terbang tinggi seperti Superman dengan kain di leher.
Mama pernah bilang, itu pertanda jadi perantau. Benar, ternyata setelah tamat SMP, saya telah “terbang” merantau ke mana-mana: ke Ambon, Timor Leste, Jakarta, hingga ke negeri MacArthur di Amerika.
Menapaki lika-liku hidup yang diiringi keajaiban-keajaiban. Dari tanah kelahiranku yang penuh kenangan, Abepante, Kota Jayapura, tanah Papua, saya telah menyeberang ke dunia luas.
(*) Lamadi de Lamato adalah penulis kisah ini. Dia adalah mantan aktivis 98, mantan staf anggota DPR Anggelina Sondakh, direktur Lakeda Institute Papua, penulis beberapa buku dinamika politik Papua, termasuk menulis buku biografi dan mantan juru bicara Gubernur Papua, Lukas Enembe.