
Komunitas dat Suku Momuna di pedalaman Yahukimo dengan rumah pohon mereka (doc : Demi Wasage/TrekPapua)
DI jantung Papua Pegunungan, kabut pagi menyelimuti pepohonan raksasa dari hutan hujan tropis purba. Ini laksana selimut mistis yang ditenun dari benang kabut dan daun hijau.
Disinilah terdapat sebuah dunia yang seolah terpisah dari hiruk-pikuk modernitas. Sebuah kerajaan alam di mana pohon-pohon tinggi menjadi pilar kehidupan, dan angin pegunungan membawa bisik rahasia leluhur.
Hutan hujan tropis Yahukimo telah menjadi rumah bagi Suku Momuna, salah satu dari 12 suku asli di Kabupaten Yahukimo, sebuah komunitas adat yang hidup harmonis dengan alam.
Disini pohon-pohon bukan sekadar penopang kehidupan, melainkan simbol ketahanan budaya, ekologi, dan spiritualitas yang tak tergoyahkan.
Bayangkan mendaki lereng curam yang licin oleh embun. Melewati sungai jernih yang mengalir deras dari kaki pegunungan Jayawijaya. Rentang gunung yang menjulang hingga 4.884 meter di Puncak Jaya, hingga tiba di sebuah struktur kayu yang menjulang 10-15 meter di atas tanah: rumah pohon Suku Momuna.
Bagi Suku Momuna di pedalaman Yahukimo, rumah pohon bukan sekadar tempat tinggal. Ini adalah benteng warisan nenek moyang, sebuah arsitektur hidup yang mencerminkan kearifan lokal dalam menghadapi banjir musiman dan ancaman alam.
Warisan budaya leluhur itu kini menjadi pintu gerbang eco-wisata berbasis masyarakat yang menggabungkan pelestarian budaya, keberlanjutan lingkungan, dan pemberdayaan lokal untuk generasi mendatang.
Suku Momuna, yang berjumlah sekitar 5.000 jiwa lebih dan mendiami wilayah dataran rendah Yahukimo seperti Kampung Massi di Distrik Dekai, adalah salah satu dari 12 suku asli kabupaten ini, bersama suku Yali, Hubla, Kimyal, Una-Ukam, Mek, Ngalik, Korowai, Kopkaka, Bese, Yali Anggruk, dan Ngalikhubla.
Mereka termasuk dalam kelompok etnis Ok, yang berbicara bahasa Momuna (bagian dari rumpun Trans-New Guinea dengan sekitar 200 bahasa serupa di Papua), dan hidup dalam isolasi relatif hingga 1980-an, ketika akses jalan mulai terbuka melalui program transmigrasi dan pembangunan nasional.
Seperti saudara mereka Suku Korowai di selatan, Momuna dikenal dengan rumah pohonnya yang ikonik. Sebuah adaptasi cerdas terhadap lingkungan hutan belantara yang penuh ancaman: banjir musiman dari Sungai Brazza yang bisa naik hingga 5 meter.
Selain juga melindungi mereka dari hewan liar seperti babi hutan (Sus scrofa papuensis), kasuari (Casuarius casuarius), buaya air tawar, dan serangan suku lain di masa pra-kolonial.
Rumah ini dibangun dari kayu boa, sejenis kayu besi lokal yang kuat, tahan rayap dan hama, dengan umur mencapai 100 tahun. Konstruksinya dilakukan dengan cara diikat tali rotan tanpa paku atau semen modern, dan beratap anyaman daun rumbia atau sagu sehingga mencerminkan kearifan lokal yang selaras dengan siklus alam.
Pembangunan rumah tradisional diatas pohon semacam ini mencerminkan sebuah arsitektur yang mirip dengan rumah panggung Papua lainnya. Tapi unik karena ketinggiannya yang melindungi dari banjir dan predator, serta desainnya yang memungkinkan ventilasi alami di iklim lembab pegunungan.
Pembangunan rumah ini adalah ritual komunal: pria dewasa memotong pohon dengan kapak batu, wanita menyiapkan anyaman, dan seluruh warga kampung berpartisipasi. Ritme ini memperkuat ikatan sosial seperti dalam tradisi gotong royong yang menjadi pondasi budaya masyarakat adat Papua.
Hutan Yahukimo, Manusia Momuna dan Ancaman
Ekologi Yahukimo adalah fondasi eksistensi Suku Momuna, sebuah hutan primer seluas 1,5 juta hektare yang merupakan bagian dari Pegunungan Tengah Papua.
Kawasan ini merupakan salah satu hotspot biodiversitas dunia dengan lebih dari 1.000 spesies burung (termasuk cenderawasih Paradisaea raggiana yang menjadi simbol nasional), 700 spesies anggrek endemik, dan mamalia unik seperti pohon kanguru (Dendrolagus matschiei) serta bandicoot raksasa.
Hutan ini mencakup 70% tutupan hijau kabupaten dan termasuk dalam Kawasan Konservasi Budaya Lembah Baliem yang lebih luas. Menyediakan segala kebutuhan: sagu sebagai makanan pokok (dari pohon Metroxylon sagu yang tumbuh melimpah di rawa-rawa, menyumbang 80% kalori harian dan diekstrak melalui proses manual yang melibatkan 10-15 orang per pohon).
Tidak hanya itu, hutan, sungai dan rawa-rawa juga menjadi rumah bagi berbagai jenis ikan seperti mujair dan nila liar, serta hasil buruan seperti babi hutan, kasuari, buaya air tawar (Crocodylus novaeguineae), dan kura-kura.
Masyarakat Momuna hidup sebagai pemburu-pengumpul semi-nomaden, dengan etos kerja yang kuat untuk menjaga keseimbangan seperti tradisi “meramu” yang menghindari eksploitasi berlebih terhadap alam. Sebab mereka hanya memanen apa yang dibutuhkan dan meninggalkan benih untuk regenerasi.
Sebagaimana dicatat antropolog Prof. Dr. Subur Budi Santoso dalam studi etnografi 2015, di mana adaptasi manusia terhadap alam mencegah degradasi lingkungan dan mendukung siklus karbon hutan yang menyerap 20 juta ton CO2 per tahun.
Namun, ancaman modern seperti deforestasi untuk tambang emas ilegal (yang merusak 5.000 hektare hutan per tahun di Yahukimo), perubahan iklim yang meningkatkan frekuensi banjir, dan ekspansi perkebunan sawit juga akan menguji ketahanan ini.
Ancaman itu kini menyebabkan tutupan hutan Yahukimo menyusut 15% sejak 2010. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kondisi deforestasi ini telah mengancam 40% spesies endemik dan mata pencaharian 80% masyarakat adat.
Budaya Momuna adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan, di mana rumah pohon bukan hanya struktur, tapi simbol identitas dan spiritualitas yang mendalam. Dibangun secara komunal oleh pria dewasa dalam ritual yang bisa memakan waktu 2-3 minggu dan bisa menampung 20-30 orang.
Rumah ini punya dua pintu depan-belakang, tapi tanpa jendela untuk keamanan dari serangan hewan atau musuh adat sehingga mencerminkan filosofi “koyoono”. Kalung taring anjing sebagai harta tertinggi untuk denda adat, pernikahan, atau penyelesaian konflik.
Sebuah tradisi yang menekankan perdamaian sebagai inti kehidupan. Tradisi tato kukulidima, dibuat dengan bambu panas dan tinta dari arang kayu, melambangkan kedewasaan dan perlindungan spiritual.
Pembuatan tato seperti ini adalah sebuah praktik Austronesia yang unik di pegunungan Papua, berbeda dari motif rumit suku pesisir seperti Waropen atau Sentani, dan kini menjadi bagian dari upaya pelestarian UNESCO untuk tato adat Pasifik.
Konsep kepercayaan (religi) orang Momuna berpusat pada pemahaman mereka pada Tuhan (kekuatan alam dan adikodrati), seperti dalam mitos penciptaan yang mirip agama Abrahamik. Di mana dewa menciptakan dunia dari tanah liat dan sungai, membuat mereka dekat dengan alam.
Melalui sistem kepercayaan yang demikian, aktivitas berburu mereka selalu dibekali sagu sebagai doa untuk hasil baik. Menggunakan perhiasan dari biji rumput, taring hewan, atau bulu cenderawasih, yang melambangkan hubungan dengan fauna hutan.
Inilah sebuah kosmologi yang menjadikan alam sebagai ibu yang harus dihormati, sebagaimana diceritakan dalam legenda oral yang diturunkan secara lisan oleh tetua suku.
Potensi Eco-Turisme
Dengan alam Yahukimo, budaya dan tradisi suku Momuna yang unik, menyimpan potensi eco-turisme yang bernilai. Sebuah upaya untuk memperkenalkan eksotisme alam dan tradisi suku Momuna sebagai warisan kebudayaan Papua untuk dikenal dunia.
Salah satu perjalanan (trek) ke Suku Momuna, yang ditawarkan operator seperti Trek Papua sejak 2012, adalah perjalanan transformasional yang menggabungkan petualangan fisik dengan pendidikan budaya dan refleksi diri.
Dengan durasi 5-7 hari, dimulai dari penerbangan domestik Jayapura-Yahukimo via Bandara Nop Goliat Dekai, dengan penerbangan harian Wings Air, lalu dilanjutkan dengan perjalanan 4WD 2-3 jam ke Kampung Massi.
Ini menjadi sebuah rute yang melewati hutan lebat, jembatan gantung, dan sungai deras, menawarkan pemandangan pegunungan yang dramatis dan kesempatan melihat satwa liar seperti burung surga di pagi hari.
Aktivitas utama mencakup mendaki ke rumah pohon (dibangun pemerintah Yahukimo sebagai ikon wisata sejak 2018, dengan 20 unit replika yang aman untuk turis), belajar pengolahan sagu, proses tradisional memotong batang pohon sagu (diameter hingga 50 cm), meremas pati dengan kayu dan air sungai, lalu memasaknya menjadi papeda atau kue sagu. Sebab sagu menyumbang 80% kalori harian bagi orang Momuna.
Tidak hanya itu, peserta trek juga dapat berpartisipasi dalam berburu dengan panah bambu (etis, tanpa senjata api), memancing ikan di sungai dengan tombak, dan mengumpul makanan liar seperti buah merah dan jamur hutan.
Turis bisa ikut memasak tradisional di atas api unggun dari kayu kering, sambil mendengar cerita rakyat tentang roh hutan atau mitos penciptaan, diakhiri dengan pertunjukan tarian adat yang riuh.
Dengan melihat potensi eco-tourisme ini bagi upaya edukasi, konservasi alam dan budaya, tentu perjalanan ini biasanya memerlukan restu adat dari Dewan Masyarakat Adat Momuna dan persiapan fisik (sepatu trekking, obat anti-malaria).
Namun keperluan itu dapat diatur operator lokal berpengalaman seperti Trek Papua untuk keamanan dan kenyamanan. Dengan biaya sekitar Rp 15-25 juta per orang, termasuk panduan lokal (local guide) dan kontribusi 20% untuk dana kampung.
Potensi turisme ini tak hanya petualangan, tapi juga penguatan budaya dan pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan. Sejak 2012, Suku Momuna menjadi destinasi internasional, dengan pengunjung naik 30% pasca-pandemi.
Itu terjadi berkat promosi Festival Budaya 12 Suku Yahukimo (2024), yang menampilkan tarian, ritual tato, parade adat, dan workshop sagu, yang menarik 5.000 wisatawan domestik dan 1.000 internasional.
Eco-wisata berbasis masyarakat (community-based tourism/CBT) adalah kunci. Ini dapat dilakukan dengan membangun 50-100 rumah pohon replika sebagai sekolah adat dan homestay, melibatkan warga dalam pelatihan anyaman tradisional (misalnya dari serat genemo untuk noken, yang kini diekspor ke Eropa dengan nilai Rp 50 juta/tahun).
Pelatihan pembuatan makanan sagu organik (potensi pasar global US$ 1 miliar untuk sagu berkelanjutan), pertunjukan tarian atau drama/teater cerita rakyat, dan aktivitas berburu-memancing berkelanjutan dengan aturan adat (hanya 10% hasil untuk turis).
Konsep demikian dapat memberdayakan perempuan Momuna, yang mendominasi pengolahan sagu dan anyaman (80% pekerja CBT), dan pemuda, dengan pendapatan CBT bisa meningkat tiap tahun. Di mana 80% keuntungan kembali ke komunitas untuk pendidikan dan kesehatan. Inilah sebuah model yang direkomendasikan UNESCO untuk pelestarian adat di Pasifik.
Dewan Masyarakat Adat Momuna, sebagai payung persatuan yang dibentuk 2015, melindungi wilayah adat seluas 100.000 hektare, termasuk hutan sagu dan sungai. Mereka dapat bermitra dengan pemerintah untuk pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism).
Seperti inisiatif Kemenparekraf untuk CBT di Yahukimo, melatih 200 warga pada 2024 dalam manajemen homestay dan pemasaran digital dan melalui program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang membayar kompensasi Rp 100 juta/hektare untuk pelestarian hutan.
Bagi wisatawan, ini adalah peluang belajar: mendaki ke rumah pohon untuk pemandangan hutan tak berujung dan matahari terbit di atas Jayawijaya, ikut ritual berburu dengan panah bambu sambil belajar etika adat atau merasakan sagu segar di tengah cerita tetua tentang roh alam, sambil mendukung pelestarian.
Di tahun 2025, dengan target 1 juta wisatawan ke Papua Pegunungan melalui program “Pesona Papua” Kemenparekraf, Suku Momuna menawarkan bukan hanya trek fisik, tapi jembatan ke masa lalu yang hidup. Dimana budaya, ekologi, dan pemberdayaan masyarakat bersatu untuk masa depan yang hijau dan inklusif.
Kunjungi Yahukimo, dan rasakan denyut hutan Momuna. Sebuah perjalanan yang tak hanya menyentuh jiwa dengan keajaiban rumah pohon, tapi juga menjaga warisan nenek moyang untuk generasi mendatang.
Di sini, di atas awan, Suku Momuna mengajarkan bahwa kehidupan sejati adalah harmoni yang selaras antara manusia dan alam yang saling menjaga maupun memberi.
(*) Demianus Wasage adalah penulis artikel ini. Dia pegiat eco-turisme, pemerhati budaya Papua dan pengelola Trek-Papua Tour & Travel,Ltd (www.trek-papua.com).