
Hasil tangkapan layar proses pembakaran Mahkota Burung Cenderawasih (doc: Wene Buletin)
SEBUAH video berdurasi 2:26 menit sempat menghebohkan jagat dunia maya sejak 20-22 Oktober 2025 lantaran isinya bermuatan pelecehan budaya Papua: pembakaran sejumlah aksesori Mahkota Burung Cenderawasih, Mahkota Bulu Kasuari dan sejenisnya.
Tidak terlalu jelas, mengenai nama dan lokasi kantor dimana aksi pembakaran dalam video itu terjadi. Namun video ini menampilkan para pelaku adalah sekelompok orang berpakaian dinas yang tampaknya bukan orang asli Papua.
Mereka berdiri di depan sebuah kantor yang dindingnya berwarna hijau muda dan putih, lalu dengan sikap aba-aba membakar banyak Mahkota Burung Cenderawasih.
Tidak ada penjelasan, apakah atribut budaya Papua yang khas ini merupakan hasil sitaan instansi yang berkaitan dengan edaran Pemda Papua mengenai pelarangan penggunaan Mahkota Burung Cenderawasih sebagai upaya konservasi, atau merupakan koleksi dari sejumlah instansi?
Yang jelas, dalam video ini ada petugas yang mengenakan seragam dinas TNI, Polri, PNS dan seragam lain. Video yang menunjukan aksi simbolik yang terkesan “konyol” ini dimulai ketika seorang polisi yang rambutnya sudah mulai memutih, memegang sebuah mahkota Burung Cenderawasih.
Polisi ini lalu mengawali membakar mahkota itu dengan cara dilempar ke dalam tungku pembakaran berupa drum yang sedang menyala oleh api, kemudian diikuti petugas yang lain.
Baik polisi maupun beberapa petugas yang ikut dalam aksi ini, mereka berdiri sambil masing-masing memegang mahkota berkepala burung Cenderawasih, dengan badan dan bulunya masih utuh sehingga tampak masih sangat indah.
Dalam video itu, seorang anggota TNI sempat mengenakan Mahkota Burung Cenderawasih di kepalanya yang kemudian dilepas, lalu mereka secara serentak membuang mahkota-mahkota itu ke dalam dua drum tungku pembakaran yang sedang menyala.
Oknum polisi itu sempat memberi aba-aba dengan menghitung satu dua tiga, kemudian dia lebih dulu secara simbolis membakar mahkota burung Cenderawasih yang dipegang.
Para petugas ini kemudian mempersilahkan perwakilan wartawan yang mengabadikan moment ini untuk secara bersama-sama ikut membakar mahkota Cenderawasih yang belum dibakar atau masih tersimpan di dalam bungkusan kardus (karton).
Kemudian petugas yang lain ikut menuangkan minyak tanah di dalam drum pembakaran agar mempercepat nyala api pembakaran dan membawa mahkota Cenderawasih yang masih tersisa di dalam kardus untuk dibakar habis.
Aksi kontroversi dalam video ini tentu saja menuai ribuan respon negatif berupa hujatan, cemoohan dan makian pedas dari netizen di dunia maya. Di beberapa media, para intelektual, aktivis dan politisi Papua pun ramai-ramai mengecam tindakan tak berbudaya dan tolol ini. Ada yang membuat surat terbuka berisi kecaman.
Bahkan di sejumlah media sosial seperti whatsapp dan facebook, para netizen menghujat aksi pembakaran atribut budaya Papua itu dengan komentar tidak senonoh. Di sebuah grup WhatsApp yang tidak ingin saya sebutkan namanya, seorang anggota grup bahkan dengan emosi memberi komentar:
“Para Babi-Anjing yang membakar simbol kehormatan budaya Papua ini benar-benar terkutuk!”. Ditimpali komentar lain, yang mengusulkan agar para petugas ini harus diproses hukum dan meminta maaf kepada publik Papua.
Para netizen yang lain pun mengomentari para petugas pembakar mahkota burung endemic ini sebagai tindakan yang benar-benar konyol, tidak terpuji, bodoh, dungu dan tolol. Sebab selain melecehkan budaya Papua, juga telah membakar satwa endemic Papua yang dilindungi.
Tak sedikit dari netizen yang juga meminta agar Pemerintah Daerah Papua melaui MRP harus segera meminta pertanggung jawaban para petugas yang telah secara gegabah membakar atribut budaya yang menjadi kebanggaan Papua itu.
Netizen lain memberi komentar yang mempersoalkan aksi pembakaran mahkota Cenderawasih karena idealnya ada cara lain yang bisa ditempuh. Misalnya, dengan mengumpulkan mahkota-mahkota itu, lalu menyerahkannya ke museum budaya, sanggar tari dan budaya.
Selain itu, tak sedikit dari netizen yang mengomentari aksi konyol ini sebagai bagian dari konter narasi atau pengalihan isu konflik bersenjata berdarah-darah di tanah Papua, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan berkedok Proyek Strategis Nasional (PSN) dan lain-lain.
Bagi netizen yang radikal, mereka justru mengajak agar aksi pembakaran mahkota Cenderawasih ini dijadikan momentum untuk menggerakkan rakyat Papua melakukan demonstrasi damai besar-besaran memprotes tindakan konyol ini.
Hegemoni Kolonial di Kepala Orang Papua
Bagi sebagian orang, tindakan itu tampak heroik, seolah sebuah langkah berani demi melindungi burung surga Cenderawasih. Namun bagi orang Papua, itu bukanlah aksi pahlawanisme tapi penistaan, bentuk baru dari kolonialisme kultural yang terus menyala di kepala mereka.
Mahkota Cenderawasih bukan sekadar perhiasan adat. Ini adalah roh yang menjelma dalam benda. Dalam setiap helai bulu cenderawasih yang berkilauan, tersimpan kisah asal-usul, doa, dan nilai kosmologis yang menautkan manusia, alam, dan Ilahi.
Burung surga Cenderawasih, dalam banyak bahasa lokal Papua, dipandang sebagai utusan dari dunia atas, pembawa pesan damai dan kesuburan. Karena itu, mahkota Cenderawasih adalah medium komunikasi spiritual; sebuah “kitab hidup” yang dikenakan di kepala manusia Papua sebagai tanda penghormatan terhadap ciptaan Tuhan.
Ritual pembuatan mahkota itu pun adalah pelajaran ekologi yang luhur. Bulu-bulu diambil dari burung yang telah mati alami atau rontok, meskipun di masa sekarang dari banyak hasil perburuan.
Dimana setiap langkahnya adalah doa. Setiap helai yang disusun adalah pengakuan bahwa manusia hanyalah bagian dari lingkaran kehidupan, bukan penguasa atasnya. Namun dalam logika kekuasaan kolonial modern, nilai-nilai ini tidak terbaca. Yang tampak hanyalah benda, atribut, suvenir, simbol, sesuatu yang bisa disita, dibakar dan dimusnahkan.
Ketika aparat membakar mahkota Cenderawasih, mereka tidak hanya membakar benda adat, tetapi juga menyalakan kembali bara lama kolonialisme. Ini adalah bentuk violence of representation, kekerasan yang tidak selalu fisik, tetapi simbolik, sebagaimana dijelaskan oleh Pierre Bourdieu.
Dimana kekerasan yang bersifat simbolik bekerja melalui penyingkiran makna, perendahan simbol, dan penghapusan memori kolektif suatu bangsa, terutama sebagai bangsa terjajah seperti Papua.
Dalam pembakaran itu, negara Indonesia, aparatnya dan perangkat hukumnya seolah telah menegaskan siapa yang berhak menentukan “makna sah” dari budaya, dan siapa yang harus tunduk pada tafsir kekuasaan.
Mahkota adat yang seharusnya menjadi simbol kedaulatan spiritual justru diperlakukan sebagai barang ‘subversive’ (pembangkangan, separatisme), sesuatu yang berpotensi mengancam persatuan nasional dan eksistensi Indonesia (wacana NKRI harga mati) di tanah Papua
Di sinilah kekuasaan kolonial bekerja secara halus namun begitu mematikan! Dengan memutarbalikkan makna budaya menjadi ancaman politik. Michel Foucault menyebutnya regime of truth, rezim kebenaran yang diciptakan oleh kekuasaan.
Dalam rezim itu, segala sesuatu yang tidak sesuai dengan narasi negara kolonial dianggap sesat, salah, atau berbahaya. Mahkota Cenderawasih dibakar bukan karena ia salah, tetapi karena ia merepresentasikan dan melambangkan dunia pengetahuan yang tidak tunduk pada logika negara Indonesia, bangsa kolonial.
Mentalitas Kolonial yang Tak Pernah Pergi
Pembakaran mahkota Cenderawasih yang menjadi simbol keluhuran budaya Papua ini justru menimbulkan ironi. Sebab dalam waktu yang sama, pemerintah dan perusahaan pariwisata menggunakan simbol yang sama untuk menjual eksotisme Papua ke mana-mana.
Tarian adat dan tipikal body painting suku-suku di Papua yang menjadi kesatuan dengan aksesori mahkota Cenderawasih sering digunakan dalam festival, pameran budaya, dan promosi wisata. Tubuh-tubuh Papua difetiskan, aksesori dan budayanya dijadikan tontonan unik untuk kamera, bukan perayaan kehidupan.
Pemikir Antonio Gramsci menyebut dominasi semacam ini sebagai hegemoni budaya bentuk penaklukan yang tidak lagi menggunakan kekerasan fisik, melainkan persetujuan yang dibangun melalui citra dan wacana. Orang Papua “ditampilkan” sebagai bagian dari “keindahan Indonesia,” tetapi hanya sebatas ornamen, bukan subjek sejarah.
Fenomena apriori terhadap atribut budaya Papua pun lahir dari pandangan hegemonik ini. Pakaian adat, lukisan tubuh (body painting), noken, dan mahkota sering kali dilihat dengan kecurigaan, seolah mereka adalah tanda separatisme.
Namun ketika atribut yang sama dikenakan oleh orang non-Papua dalam acara seremonial, ia berubah menjadi simbol “persaudaraan” atau “keragaman.” Padahal ini adalah bentuk pelecehan budaya: apropriasi tanpa pemahaman, pengakuan tanpa penghormatan.
Kolonialisme selalu beroperasi lewat logika ganda, merampas makna sambil menampilkan kepedulian palsu. Apa yang dibakar di Papua hari ini bukan sekadar mahkota, melainkan pengetahuan lokal yang ditulis di atas tubuh, bulu, dan simbol-simbol leluhur.
Tindakan membakar mahkota juga memperlihatkan wajah mental kolonial yang masih melekat dalam struktur negara paska kolonial Indonesia. Edward Said dalam Orientalism menyebut ini sebagai cara kekuasaan mendefinisikan “yang lain” dalam hal ini, Papua sebagai eksotik, primitif, dan perlu ditertibkan.
Bagi kekuasaan yang lahir dari warisan kolonial, segala yang tidak sesuai dengan norma Jawa-sentris atau nasionalisme arus utama dianggap anomali. Itulah sebabnya, dalam kesadaran kolonial, mahkota adat bisa tampak sebagai tanda bahaya, bukan kehormatan.
Disini, kedunguan, kebodohan, ketololan, salah tafsir dan ketidaktahuan dijadikan dasar untuk penindasan, dan “kepedulian” menjadi topeng bagi kontrol.
Tindakan membakar mahkota dengan dalih melindungi burungnya adalah paradoks sempurna dari kolonialisme moral. Disisi lain, ia menampilkan diri sebagai penyelamat palsu sambil menghancurkan makna hakiki yang hendak diselamatkan!
Apa yang sesungguhnya dibakar hari itu bukan hanya bulu cenderawasih, tetapi juga eksistensi dan harga diri manusia-bangsa Papua beserta alamnya yang eksotis. Luka simbolik ini menembus lebih dalam daripada sekadar kehilangan benda. Ini jelas-jelas telah mengguncang fondasi eksistensial dan keyakinan bahwa dunia mereka diakui dan dihormati.
Bagi generasi muda Papua hari ini, kalian perlu ingat. Peristiwa pembakaran mahkota Cenderawasih yang menjadi simbol eksistensi budaya Papua semacam ini adalah pesan yang jelas-jelas berbahaya: bahwa menjadi diri sendiri bisa dianggap ancaman!
Bahwa mengenakan simbol adat bisa membawa risiko. Akibatnya, rasa malu budaya (cultural shame) mulai tumbuh, sebuah penyakit kolonial yang membuat generasi muda bangsa terjajah Papua akan kehilangan kebanggaan atas warisan leluhurnya.
Dalam jangka panjang, ini bukan hanya soal identitas, tapi juga soal kuasa atas pengetahuan. Jika simbol-simbol adat terus dilarang, disita, atau disalahpahami, maka yang musnah bukan sekadar benda, melainkan epistemology, cara orang Papua memahami dan menjelaskan dunia.
Papua tidak butuh pahlawan tolol, dungu, bodoh dan kampret yang membakar mahkota Cenderawasih, simbol jati diri dan keluhuran budaya Papua. Yang dibutuhkan bukan aparat yang memegang korek, tetapi manusia yang mampu menyalakan kembali nyala kesadaran bahwa budaya, alam, manusia dan burung surga, adalah satu kesatuan kosmos yang tak terpisahkan!
Peristiwa pembakaran mahkota harus menjadi titik balik untuk merebut kembali makna yang telah dicuri dan dihancurkan!
Pemerintah Indonesia perlu berhenti memperlakukan kebudayaan Papua sebagai aksesori, dan mulai mengakuinya sebagai pengetahuan hidup yang harus dihormati. Aparat perlu belajar, bukan mencurigai. Negara perlu mendengar, bukan membakar.
Tapi itu tidak mungkin terjadi dalam narasi, wacana dan hegemoni kolonial atas bangsa jajahan. Papua tidak butuh belas kasihan, tetapi keadilan! Tidak butuh festival keberagaman, tetapi penghormatan sejati terhadap martabat budaya sebagai bangsa!
Sebab yang seharusnya dibakar hari ini bukanlah mahkota Cenderawasih, melainkan mental kolonial yang masih bercokol di balik seragam, kebijakan seperti perusakan hutan berwajah Proyek Strategis Nasional (PSN) maupun sejenisnya, dan cara pandang kita terhadap mereka yang berbeda.
Api itu pernah membakar mahkota. Kini saatnya api itu membakar keserakahan, ketidaktahuan, kebodohan, ketiadaan empati dan arogansi kekuasaan. Agar dari abunya, lahir kembali burung surga yang terbang bebas di langit Papua, membawa pesan: bahwa penghormatan pada budaya adalah bentuk tertinggi dari kemanusiaan.
(*) Julian Haganah Howay adalah penulis artikel ini. Penulis adalah pemimpin redaksi Wene Buletin.