
Karikatur yang mengilustrasikan situasi Papua: Bintang Fajar dan Pasal Makar. (doc: ChatGPT/Wenebuletin.com)
DI TENGAH dunia yang semakin kompleks, dengan arus informasi yang begitu deras dan bias kekuasaan yang kian nyata, memperjuangkan kebenaran menjadi tindakan revolusioner. Tidak jarang, individu maupun komunitas yang memperjuangkan kebenaran justru menjadi sasaran intimidasi, fitnah, bahkan kekerasan. Namun justru karena itu, kebenaran menjadi hal paling berharga dalam menjaga keadilan.
Memahami makna kebenaran dan ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat membutuhkan landasan pemikiran dari beberapa filsuf. Aristoteles, filsuf Yunani, mendefinisikan kebenaran sebagai kesesuaian antara pernyataan dan realita. Ia mengatakan, “To say of what is that it is not, or of what is it, is false; while to say of what is that it is, and of what is not, is true.”
Kebenaran adalah pengakuan atas realitas sebagaimana adanya. Sementara itu, menurut Michel Foucault, kebenaran tidak pernah netral; ia selalu berkaitan dengan relasi kuasa. Foucault menyebut bahwa dalam masyarakat, “truth is not outside power or lacking in power… truth is produced only by virtue of multiple forms of constraint.” Artinya, kebenaran sering dibentuk, dikontrol, bahkan ditekan oleh kekuasaan.
John Rawls, filsuf keadilan modern, menyatakan bahwa ketidakadilan adalah bentuk penyimpangan terhadap prinsip keadilan yang seharusnya melindungi kebebasan dan kesetaraan semua individu. Dalam bukunya A Theory of Justice, ia menekankan bahwa keadilan hanya dapat terwujud jika institusi sosial didasarkan pada prinsip kebenaran dan kejujuran.
Martin Luther King Jr. menyatakan bahwa kebenaran adalah fondasi utama dalam perjuangan keadilan, dan ketidakadilan tidak bisa diterima, terutama jika berakar pada diskriminasi rasial. Ia menentang ketidakadilan secara damai, menggunakan metode non-kekerasan untuk meyakinkan lawannya tentang kebenaran yang ia perjuangkan bersama rakyatnya. Ia dengan tegas menolak praktik diskriminasi rasial dan memperjuangkan kesetaraan serta hak-hak sipil bagi semua orang tanpa memandang ras atau etnis.
Dari berbagai pandangan ini dapat disimpulkan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara keyakinan atau pernyataan dengan kenyataan objektif. Dalam konteks sosial dan politik, kebenaran berperan untuk membongkar kebohongan, membela fakta, dan menolak manipulasi. Ia menjadi fondasi kepercayaan publik. Tanpa kebenaran, tidak ada transparansi; tanpa transparansi, keadilan akan lumpuh.
Sebaliknya, ketidakadilan adalah kondisi di mana hak, keadilan, dan kebenaran dilanggar atau diabaikan. Ketidakadilan terjadi ketika hukum berat sebelah, kekuasaan menindas yang lemah, atau suara rakyat dimanipulasi dan dibungkam.
Ketidakadilan tidak selalu muncul dalam bentuk kekerasan fisik; ia juga hadir dalam kebijakan diskriminatif dan akses yang tidak setara. Contohnya adalah peraturan yang membedakan kelompok berdasarkan agama, mewajibkan pakaian tertentu, atau membatasi aktivitas ibadah.
Praktik Nyata Ketidakadilan dalam Kehidupan Masyarakat
Sejarah mencatat banyak contoh di mana kebenaran menjadi alat melawan ketidakadilan. Di Indonesia, kita mengenal Munir Said Thalib, aktivis HAM yang dengan gigih membela korban pelanggaran HAM. Meski akhirnya dibungkam secara tragis, warisan perjuangannya tetap hidup.
Malala Yousafzai memperjuangkan hak pendidikan bagi perempuan di tengah tekanan kelompok ekstremis. Mereka menunjukkan bahwa kebenaran tidak bisa dipadamkan, bahkan oleh kekerasan.
Contoh lain datang dari kriminalisasi aktivis HAM seperti Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Keduanya diseret ke pengadilan karena menyuarakan dugaan keterlibatan pejabat militer dalam bisnis tambang di Papua.
Bukannya penyelidikan terhadap substansi dugaan tersebut, justru mereka didakwa mencemarkan nama baik. Ini mencerminkan sistem hukum yang berpihak pada kekuasaan, bukan pada kebenaran. Ketika hukum digunakan untuk membungkam kritik, maka hukum kehilangan fungsinya sebagai alat keadilan.
Hal serupa terjadi dalam tragedi Paniai 2014, ketika empat pemuda ditembak oleh aparat TNI saat unjuk rasa. Komnas HAM menyatakan peristiwa itu sebagai pelanggaran HAM berat. Namun hingga kini, proses hukum belum tuntas dan vonis yang dijatuhkan tidak mencerminkan keadilan substantif. Kebenaran tentang siapa yang bertanggung jawab tertutup oleh tembok kekuasaan.
Di bidang politik, ketidakadilan terjadi melalui manipulasi dan polarisasi dalam pemilu, serta represi terhadap aspirasi rakyat Papua. Setiap kali masyarakat Papua menyuarakan aspirasi politik, baik otonomi maupun kemerdekaan, mereka sering distigmatisasi sebagai “separatis” atau “pengacau keamanan”.
Demonstrasi damai pun dibubarkan secara represif. Dalam konteks ini, kebenaran tentang kehendak rakyat Papua disalahtafsirkan sebagai ancaman, bukan sebagai ekspresi politik yang sah. Ketika negara menolak mendengar dan memaksa rakyat tunduk, ketidakadilan pun semakin menguat.
Di bidang sosial, ketimpangan akses dan diskriminasi struktural semakin mencolok. Papua yang kaya sumber daya alam, tetapi masyarakatnya hidup dalam keterbatasan: pendidikan, layanan kesehatan, dan kesempatan kerja masih tertinggal jauh dari wilayah lain di Indonesia.
Ketidakadilan sosial semakin parah ketika kebenaran tentang kondisi nyata masyarakat Papua diabaikan dalam kebijakan nasional. Jika suara orang Papua tidak didengar dalam proses pengambilan keputusan, maka pembangunan hanya menjadi alat dominasi, bukan upaya pemberdayaan.
Strategi Melawan Ketidakadilan
Mengapa masyarakat harus melawan ketidakadilan? Karena ketidakadilan yang dibiarkan akan menjadi norma. Untuk itu, berikut tujuh strategi utama melawan ketidakadilan:
Pertama, Edukasi dan Peningkatan Kesadaran. Melalui penyuluhan tentang hak-hak dasar hukum, sosial, dan ekonomi, pelatihan advokasi untuk kelompok rentan, serta kampanye publik melalui media sosial, seminar, dan diskusi.
Kedua, Pemberdayaan Masyarakat. Meliputi pelatihan ekonomi, bantuan modal, koperasi, dan partisipasi warga dalam musyawarah desa atau forum warga. Ketiga, Advokasi Hukum dan Perlindungan. Mengawal regulasi dan kebijakan publik yang adil, bekerja sama dengan lembaga seperti Komnas HAM dan Ombudsman.
Keempat, Bantuan Hukum Gratis. Memberikan dukungan hukum kepada korban ketidakadilan, serta menyediakan rumah aman bagi korban kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Kelima, Kolaborasi dan Aliansi. Keenam, Menjalin kerja sama lintas sektor (NGO, komunitas, akademisi, tokoh agama), serta membentuk koalisi masyarakat sipil untuk memperkuat suara kolektif.
Ketujuh, Dokumentasi dan Pelaporan. Merekam kasus-kasus ketidakadilan sebagai dasar kampanye, dan membuat laporan berkala baik di tingkat nasional maupun internasional. Delapan, Aksi Damai dan Solidaritas. Menggelar aksi damai untuk mengangkat isu ketidakadilan serta menggunakan seni dan budaya, teater rakyat, puisi, dan film pendek, sebagai media ekspresi.
Di tingkat global, banyak jurnalis, aktivis, dan warga biasa memilih bersuara di tengah represi. Mereka sadar bahwa kebenaran bukan hanya fakta, tetapi tanggung jawab moral. Perjuangan mereka tidak bisa dianggap sepele; ia harus diperjuangkan bersama-sama.
Hari ini, ketika hoaks dan manipulasi menjadi alat kekuasaan baru, justru kebenaran menjadi kebutuhan mendesak. Kebenaran adalah tanggung jawab bersama, di ruang kelas, media sosial, ruang redaksi, ruang sidang, atau di mana pun tempat kita berpijak.
Kasus-kasus di Papua memperlihatkan bahwa kebenaran kerap disembunyikan demi menjaga citra kekuasaan. Kekuasaan menolak mengakui realitas yang dihadapi rakyat Papua. Maka, memperjuangkan kebenaran di Papua adalah langkah penting dalam menegakkan keadilan bagi semua bangsa.
“Dunia yang adil hanya bisa dibangun jika kita berani berdiri, bersuara, dan berpihak pada yang benar, sekalipun tidak populer.”
(*) Dusun Nikodemus Kambu adalah penulis artikel ini. Penulis adalah pensiunan guru, pemerhati lingkungan dan pegiat pemberdayaan masyarakat yang berdomisili di Amban, Manokwari.