
Herman Katmo di suatu kesempatan saat di Jakarta (doc: Garda-P)
PADA suatu pagi yang cerah dan tampak biasa di akhir Mei 2023. Herman Katmo atau juga dipanggil Kahar, dosen Fakultas Teknik Elektro Universitas Cenderawasih Jayapura sekaligus aktivis Papua yang telah malang melintang dalam gerakan pembebasan Papua, keluar rumah untuk sekedar jalan pagi di sekitaran Waena, Kota Jayapura.
Rutinitas jalan pagi sudah dilakukan sejak kembali dari tanah Jawa bersama keluarganya. Herman sempat tinggal di Depok, Jawa Barat, selama kurang lebih 2 tahun untuk menempuh studi paska sarjana jurusan teknik elektro di Universitas Gunadarma. Sementara istrinya beserta beberapa anaknya dititipkan tinggal di Semarang bersama mertua dan iparnya.
Tapi saat tinggal di Depok untuk menjalani studi pada 2021, ia jatuh sakit. Herman pun memilih pulang sebentar ke Semarang menemui istri dan anak-anaknya untuk pemulihan kesehatan. Ia mengajukan cuti dan bertekad akan kembali menyelesaikan kuliah selepas pulih.
Pada April 2022, sewaktu pulang dari Amerika dan tinggal di Depok, bersama Marthen Goo, rekan sesama aktivis Papua, kami menyempatkan waktu mengunjungi Herman dan keluarganya di Kota Semarang.
Di ibu kota Jawa Tengah yang penuh nostalgia itu, Herman tampak sehat dan bahagia berkumpul bersama keluarganya. Wajahnya sumringah dan senang saat bersama istrinya menyambut kehadiran kami di rumah mertuanya. Ia seperti merasakan ada energi baru.
Kami tinggal 4 hari di Semarang, di sebuah penginapan murah yang dekat dengan rumah mertua Herman. Disini ada beberapa gang, dulu tempat mahasiswa Papua tinggal sambil melakukan aktivitas politik.
Sebelum balik ke Jakarta, kami dipandu Herman menjelajah kota ini dan sejumlah spot menarik. Ia seperti berfantasi dan tentu saja kembali bernostalgia menceritakan lika-liku kisah perjuangan mereka saat memjadi mahasiswa di tanah Jawa pada 1990an.
Saat itu di kawasan Simpang Lima, Kota Semarang, Herman Katmo memimpin sejumlah aktivis mahasiswa Papua menerbangkan bendera Bintang Fajar (disebut juga bendera Bintang Kejora), simbol perjuangan bangsa Papua, yang diikat bersama beberapa balon. Peristiwa ini menyebabkan Herman bersama beberapa aktivis mahasiswa Papua ditahan.
Sewaktu di Semarang, Herman belum sempat kembali untuk menyelesaikan studi paska sarjana di UG Depok yang tertunda. Ia kemudian memilih kembali ke Jayapura bersama keluarganya pada awal 2023. Ia memutuskan untuk balik sementara waktu ke kampus Uncen, tempatnya mengajar, sembari menyelesaikan tugas menulis jurnal untuk studi akhir paska sarjana.
Pagi itu di rumahnya di kawasan Perumnas II Waena, seperti biasa, Herman bangun lalu memberitahu istrinya, seorang perempuan Semarang yang dinikahinya saat studi di Semarang, kalau ia hendak jalan pagi mengitari kompleks. Ia biasanya bangun jam 5 pagi.
Herman kemudian keluar rumah. Berjalan kaki sendirian di tengah pagi yang masih sepi. Mengikuti lorong-lorong belakang kompleks Perumnas II yang menghubungkan jalan setapak di sekitar kali Camp Walker ke arah bukit Bumi Perkemahan (Buper) Waena. Rute ini biasanya dilalui ketika jalan pagi.
Saat keluar rumah, Herman tidak membawa telepon genggam maupun sepeda motornya. Hanya dirinya dan semangat pagi yang sudah menjadi kebiasaan. Namun hari itu bukanlah hari biasa. Setelah menanti sejak pagi hingga siang di rumah kontrakan yang berada di kawasan Perumnas II Waena, istrinya pun cemas.
Di rumah itu Herman tinggal bersama istri dan beberapa anaknya. Istrinya berupaya menelepon Herman, tapi handphonenya tertinggal di rumah. Beberapa anaknya juga sudah keluar untuk mencari ayah mereka, tetapi tidak menemukan Herman.
Karena kuatir, istrinya lalu menelepon beberapa kerabat keluarga dan rekan aktivis Papua yang ia kenal perihal Herman belum pulang saat keluar sejak pagi. Selepas itu, beberapa kawan aktivis pun mengirim pesan darurat di sejumlah grup whatsapp bahwa Herman Katmo, seorang aktivis Papua, saat keluar pada Senin pagi, 29 Mei 2023 untuk berjalan pagi, belum kembali ke rumah.
Ditemukan Meninggal Secara Misterius
Saat keluar rumah, Herman mengenakan celana pendek, baju kaos bercorak dan memakai sandal jepit. Ternyata, ia tidak pernah kembali lagi ke rumah hari itu. Jenazahnya ditemukan keesokan harinya, terbaring kaku di pinggir jalan Kampung Asei Kecil, Sentani, Kabupaten Jayapura.
Lokasi dimana tubuh Herman ditemukan dalam keadaan sudah kaku, menghubungkan jalan alternatif ke arah kawasan Buper, lalu menuju jembatan kali Camp Walker Waena hingga menanjak ke arah Skyland dan Entrop. Namun, ada keanehan karena jarak lokasi dimana jenazahnya ditemukan sangat jauh: sekitar 18-20 kilometer dari rumahnya di Perumnas II Waena.
“Jadi bagaimana mungkin Herman bisa jalan sejauh itu lalu meninggal dan jenazahnya ditemukan dekat Kampung Asei Kecil, Sentani? Ini kan aneh. Mungkin ada sesuatu terjadi pada dia saat jalan pagi,” ungkap Samuel Awom, koordinator KontraS Papua, saat mendengar kabar Herman ditemukan sudah tak bernyawa.
Saksi mata yang pertama kali melihat tubuh Herman terbujur kaku dan tergeletak di tepi jalan di Kampung Asei Kecil, Sentani, lalu menghubungi polisi. Aparat keamanan pun datang mengevakuasi jenazah Herman menuju Rumah Sakit Bhayangkara Polda Papua, di Furia Kotaraja, Kota Jayapura.
Kabar kematian mendadak Herman Katmo mengejutkan banyak pihak, terutama kawan-kawan seperjuangannya di Gerakan Rakyat Demokratik Papua (Garda-P). Pada 30 Mei 2023, jenazahnya telah berada di ruang jenazah, Rumah Sakit Bhayangkara. Namun hingga dua tahun berlalu sejak kematiannya, misteri seputar penyebab wafatnya masih menyisakan tanda tanya.
Keluarga dan rekan-rekannya tidak puas dengan kesimpulan medis yang menyebutkan bahwa Herman wafat akibat serangan jantung. Mereka menilai ada banyak kejanggalan dari lokasi penemuan mayat yang jauh dari jalur rutinnya berjalan kaki tiap pagi, hingga otopsi yang dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan keluarga.
Secara fisik, di wajah Herman juga tampak ada tanda memar dan lebam. Wajahnya pucat. “Seperti ada tanda-tanda penganiayaan fisik,” ungkap Bapsir, seorang aktivis Papua saat itu. Ia mengaku sempat melihat jenazah Herman saat masih berada di rumah sakit Bhayangkara Polda Papua.
Sewaktu saya mendapat kabar bahwa jenazah Herman sudah terbungkus rapih di dalam peti jenazah dan sedang disemayamkan di rumahnya di Perumnas II Waena, malam itu di awal Juni 2023, saya duduk termenung dalam kesedihan yang mendalam di sebuah rumah di Bogor.
Mengingat kenangan saat pertama mengenal Herman atau Kahar sewaktu di Jayapura beberapa tahun silam. Saya bertemu Herman terakhir di Jayapura pada awal 2023.
Ternyata itu petemuan terakhir dengan Herman sebelum saya kembali lagi ke Jakarta hingga mendengar kabar kepergiannya yang tak disangka.
Jenazah Herman Katmo kemudian dibawa ke Nabire, tempat asal ibunya yang bermarga Rumadas. Ayah Herman yang merupakan seorang mantan politisi senior Papua, berasal dari suku Muyu di Selatan Papua, yang sekarang masuk dalam Kabupaten Boven Digul. Ia memiliki beberapa saudara kandung.
Jenazah Herman kemudian dikebumikan dengan tenang di tempat leluhur ibunya dan sanak keluarga dari pihak ibunya di Nabire. Riwayat hidupnya telah dibacakan sebelum prosesi ibadah pemakaman dilangsungkan. Sayangnya, riwayat hidupnya secara lengkap tidak saya dapatkan agar bisa menjadi catatan pelengkap tulisan ini.
Sewaktu disemayamkan di rumah keluarga di Nabire hingga proses pemakaman, sejumlah aktivis Papua di Nabire juga ikut melayat dan memberi penghormatan terakhir. Herman Katmo dikenang sebagai sosok guru gerakan kiri di Papua.
Saat baru menempati rumah kontrakan di Perumnas II Waena, Herman Katmo sempat memberitahu saya bahwa aktivitasnya saat keluar rumah, dirasa seperti ada yang membuntuti. Sewaktu di rumah ini pun dia kerap kali membaca ada gerak-gerik sekelompok orang yang terus memantaunya.
Rumah itu dikontrak adik laki-lakinya yang bekerja di perusahaan tambang Freeport di Timika. Adiknya juga membeli motor untuk membantu mobilitas Herman bersama keluarga, terutama ke kampus Uncen Waena, tempatnya mengajar atau mengantar jemput anak-anaknya bersekolah.
Karena merasa berada dalam pemantauan, ia telah meminta para aktivis Papua agar tidak berkunjung ke rumah kontrakan itu. Ia juga memilih untuk sementara tidak terlibat dalam aktivitas politik Papua yang mencurigakan. Alasannya, agar dia bisa lebih fokus mengurus kepentingannya di Uncen tempatnya mengajar dan kembali menyelesaikan studi di Depok.
Apalah daya, kita manusia hanya bisa merencanakan cita-cita dan harapan akan masa depan. Tapi jalan hidup kita tak selalu sejalan dengan apa yang direncanakan dan dicita-citakan!
Herman Katmo di mata para kerabat keluarga, aktivis Papua dan rekan kerja di Uncen, adalah sosok yang sangat sederhana. Pendiam, tidak banyak bicara, cerdas, pemikir kritis, anti kemapanan dan teguh menjalani hidup apa adanya, meski dalam kondisi berkekurangan. Selamat jalan comrade Kahar. Rest in Power! (Julian Haganah Howay)
Bersambung……, (Bagian II)