
Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
SORE itu lengang. Angin hanya berbisik pelan di tanah lapang tempatku berdiri sendiri, menatap layar ponsel yang sudah lusuh oleh waktu dan kebiasaan.
Seperti biasa, jari-jariku menggulir halaman demi halaman Facebook tanpa tujuan. Tapi sore itu, semesta sepertinya sedang ingin bermain peran dalam hidupku.
Di antara ribuan nama yang lewat di linimasa, satu nama tiba-tiba berhenti. Tepat di dadaku. “Bakit”.
Ah, nama itu…, wajah itu…, yang pernah menghuni kompleks kecil di Maripi, Manokwari. Kami tak lebih dari dua pejalan yang saling menyapa di jalanan. Tapi entah kenapa, sapanya selalu tinggal lebih lama di dalam ingatan.
‘Bakit’ adalah istilah dalam bahasa Maybrat untuk menyebut perempuan atau wanita muda. Terlebih perempuan muda yang belum kawin atau lajang.
Tanpa berpikir panjang, aku mengirim permintaan pertemanan. Lalu, seperti semesta menjawab doaku, dia menerimanya. Percakapan pun mengalir seperti sungai yang menemukan jalurnya sendiri. Hangat, perlahan, menyembuhkan.
Saya bertanya pelan, “Baru om Masmur?” Sebuah pertanyaan yang terdengar biasa, basa-basi, tapi sesungguhnya ingin tahu: masih adakah ruang di hatinya untuk seseorang yang datang lagi?
Dia menjawab sedang makan nasi kuning di Sanggeng, di seberang pasar yang tak pernah tidur itu. Tanpa aba-aba, aku langsung melangkah ke sana. Namun saat kuhubungi, dia sudah pulang.
Tapi saya tak berhenti. Aku menyusulnya ke Maripi, ke rumahnya yang dulu pernah hanya kulewati tanpa arti. Kini saya datang bukan sebagai orang asing, tapi sebagai seseorang yang mencoba menyapa takdir.
Dia menyambutku dengan senyum yang tak hanya menyapa wajahku, tapi juga menyembuhkan luka yang sudah lama menetap di dada. Kami bicara perlahan, dalam nada yang hanya dimengerti dua jiwa yang pernah patah.
“Saya pejabat,” kataku. “Kalo kitong duduk di tempat umum, orang bisa salah paham. Nama baik itu seperti kaca, sekali retak, sulit disatukan.”
Ia mengangguk, memahami tanpa perlu banyak kata. Lalu kami memilih tempat yang tak ramai, Swiss-Belhotel. Bukan untuk mencari gemerlap, tapi keheningan. Di sanalah, dua jiwa bicara dengan jujur, tanpa naskah.
Malam itu, kami saling membuka diri, saling menyimpan rahasia. Tak ada janji manis, tak ada sumpah sakral. Hanya dua manusia yang menemukan kembali hangatnya hidup, dalam pelukan yang sederhana.
Pagi pun datang. Ia kembali ke tugasnya, aku ke jalanku. Tapi sejak itu, rindu tak pernah benar-benar beristirahat. Suatu malam, pesannya kembali menyala di layar ponselku, dan seluruh rindu yang kupendam, meluap seperti bendungan yang jebol.
Kami bertemu lagi. Kali ini di rumah kecil di Maripi. Tak ada kemewahan di sana, tapi hatiku merasa teduh. Kami menyebut tempat itu “Hotel Cinta” karena di sanalah, dua hati yang pernah tersesat, menemukan rumahnya.
Di tengah badai rumah tanggaku yang nyaris karam, Bakit datang seperti pelampung dari surga. Dia tak bersayap. Tapi pelukannya mampu mengangkatku dari dasar kesedihan. Ia tak memakai jubah malaikat, tapi kasihnya menyembuhkan seluruh luka batinku.
Bagiku, Bakit adalah jawaban dari doa yang kupanjatkan saat langit tak lagi mau mendengar.
Di malam-malam sunyi, aku selalu berdoa:
“Tuhan… kalo dia adalah cinta yang Kau titipkan dari langit, jangan biarkan dunia memisahkan kami. Satukanlah kami hingga uban tumbuh dan napas tak lagi kembali.”
Kini, di era serba digital, cinta bisa lahir dari satu notifikasi. Ia tak lagi hadir lewat tatapan langsung, tapi lewat satu “like”, satu komentar, satu pesan singkat yang mengguncang perasaan.
Namun tidak semua cinta hadir dengan niat suci. Ada yang datang seperti racun yang dibungkus madu, menyusup lewat kata-kata manis yang meracuni kesetiaan. Perempuan pun bisa goyah bukan karena ia lemah. Tapi karena ia haus kehadiran yang nyata.
Media sosial telah menjadi cermin ilusi. Di sana, emoji bisa menjadi tanda rindu, dan kalimat bisa berubah jadi pelukan. Tapi cinta yang sejati tak hanya hidup dalam kata. Ia hidup dalam kehadiran di saat perempuan menangis, saat ia lelah, saat ia nyaris menyerah.
Perempuan tak butuh gombal. Ia butuh ketulusan.
Cinta boleh lahir dari dunia maya, tapi hanya bisa tumbuh jika disirami kejujuran, dan dipelihara oleh kesetiaan.
**********
Wibawa Finya Bobot. Finya atau Fenia adalah istilah bahasa Maybrat untuk menyebut perempuan atau wanita.
Bobot artinya berwibawa atau hebat, berguna dan sangat berarti dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan kepemimpinan. Jadi Finya Bobot artinya perempuan berwibawa.
Di tanah ini, perempuan bukan hanya ibu. Mereka adalah akar kehidupan. Mereka melahirkan bukan hanya anak, tapi pemimpin.
Dari rahim mereka lahir nama-nama besar di kalangan masyarakat Maybrat untuk pembangunan tanah Papua: J.P. Solossa, John Piet Wanane, Elisa Kambu, Lambertus Jitmau, Karel Murafer, Bernad Sagrim, Decky Asmuruf, Jimmy Idie, Agustinus Saa, Fery Taa, dan banyak lagi yang tak sempat kusebut.
Bukan hanya pemimpin, juga fisikawan muda peraih hadiah The First Step to Nobel Prize seperti Septinus George Saa, dan atlit legendaris Papua seperti Boaz Solossa.
Kita tak bisa memilih rahim mana yang melahirkan kita, tapi kita bisa bersyukur.
Karena lahir dari rahim perempuan Maybrat atau perempuan Papua berarti lahir dari keteguhan, dari keberanian, dari cinta yang tak mudah patah.
Namun belakangan ini, media sosial justru menjadi tempat yang merendahkan martabat mereka. Muncul istilah menyakitkan seperti Geli Bakit atau “Gelbak”, yang bukan hanya mencederai satu nama, tapi seluruh wibawa perempuan Maybrat.
Kata-kata itu menghina, menampar harkat mereka.
Padahal menurut Mama Anggenata Iek, “Zaman dulu, kalau perempuan saling memaki, harus bayar denda. Sekarang, harga diri ‘Finya Bobot’ justru dihina begitu saja, tanpa rasa malu.”
Maybrat News, sebuah grup di platform media sosial Facebook yang awalnya dibuat untuk informasi dan diskusi pembangunan masyarakat Maybrat, hari ini bukan lagi ruang informasi. Tapi ruang hinaan, ruang perpecahan. Ruang baku maki.
Martabat manusia diinjak-injak hanya demi sensasi dan tawa kosong. Kepada para pejabat, intelektual Maybrat, pemimpin adat, dan aparat keamanan, kami meminta:
Jangan diam. Jangan biarkan perempuan berdiri sendiri. Hari ini perempuan Maybrat dihina, besok mungkin giliran kalian.
Wibawa Finya Bobot sedang dipermainkan. Padahal tanpa perempuan berwibawa, tak akan ada kalian.
Tanpa rahim perempuan, tak ada satu pun pemimpin yang bisa berdiri gagah di atas podium.
Mari kita jaga mulut kita, jari kita, dan cara bermedia sosial kita. Karena sesungguhnya, yang paling mahal dalam hidup manusia adalah harga diri.
(Susumuk, Maybrat, Juli 2025)
Kusme Aya Marak