
Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
NAMAKU Eldel, petualang dari Tanah Papua yang sempat terdampar di negeri orang, Amerika Serikat. Waktu itu, situasi Kota Atlanta, Georgia, tidak pernah benar-benar bersahabat untukku, tapi aku bersumpah takkan kembali ke Indonesia dan Papua.
Di negeri itu, saya bukan siapa-siapa. Tidak punya apa-apa. Tidak punya saudara dan hanya bermodalkan persaudaraan perantau di AS dari Papua. Kami adalah pekerja atau buruh Papua.
Karir habis di Jayapura setelah dipecat, pekerjaan tak ada, dan luka pemecatan itu masih menganga lebar. “Tanah air sudah selesai,” kataku waktu itu kepada kawan-kawan yang sama-sama terusir oleh sistem.
“Eldel, ko pikir ini jalan paling benar ka?” tanya John, teman seperjuangan dari Jayapura. Kami tinggal serumah dan kerja shift malam bersama di sebuah warehouse raksasa milik sebuah perusahaan pembuat produk sanitasi terbesar di dunia, Colgate.
“Sa pu hidup tra mungkin balik lagi ke Indonesia dan Papua. Di sana, tra ada harapan. Di sini, setidaknya kitong bisa urus suaka politik, bikin dokumen legal. Cari modal kerja dan berjuang.”
Kami sepakat. Jadi buruh di perusahaan logistik, ngumpul uang buat sewa pengacara imigrasi. Pekerjaan berat. Dingin. Lelah. Mesin berdengung tiada henti. Saya hampir menyerah. Tapi di situlah saya bertemu wanita Mexico itu.
Namanya Josephina Escobar.
Dia masuk ruang pengarahan pagi itu pakai jersey Barcelona. Rambutnya dikuncir rapi, sorotan matanya tajam tapi lembut menggoda.
Ia duduk tepat di depanku saat manajer memberi briefing sebelum shift malam dimulai. Saat mata kami bersirobok, hatiku bergetar seperti remaja 17 tahun jatuh cinta pertama kali. Tatapan mata itu, Tuhan…, seperti sihir.
“Ipar…, ko mata menyala sampe, lihat dia,” bisik Jean, kawanku dari Manokwari, menahan tawa. Saya hanya tersenyum malu, lalu buang muka cepat-cepat.
Josephina bukan pekerja sembarangan. Dia mengendarai forklift besar, sementara saya hanya bawa forklift kecil. Tiap saat kami papasan di gudang, dia selalu melempar senyum.
Senyum yang menyihir. Bikin saya sering tidak konsentrasi bekerja. Salah angkat barang, atau lupa jalan keluar.
Bahasa menjadi sekat. Saya tak bisa bahasa Spanyol, dia tak bisa banyak berbahasa Inggris. Tapi senyum itu jadi bahasa yang cukup bagi kami. Tatapan mata, anggukan kecil, dan sesekali ia bersiul pelan ketika melintasi lorong gudang yang remang-remang dan berdebu.
Walau begitu, aku tahu batas. Jauh di Papua sana, aku punya istri dan anak yang menungguku, dan perjuangan hidup yang belum selesai. Juga impian membantu perjuangan pembebasan Papua, seperti bersama kawan-kawan Timor Leste di Jakarta dulu.
Tapi hati ini bukan batu. Kadang saat pulang kerja, saya melihat Josephina keluar dari parkiran dengan mobil sport merahnya. Jaket kulitnya berkilat, kacamata hitamnya memantul cahaya lampu gudang.
Mobil itu meraung pergi, tapi selalu berhenti sejenak, memberi klakson kecil padaku, yang sedang memesan Uber sendirian atau bersama kawan-kawan Papua. Maklum, saat itu kami belum punya kendaraan sendiri.
“Mace Josephine juga kerja dengan kitong ka?” tanya Rinto, seorang kawan Papua yang lain suatu malam, heran.
“Dia bukan sembarang buruh. Tapi dia tetap hormat. Dia tetap klakson untuk sa,” jawabku pelan.
Hari-hari berlalu. Enam bulan kemudian, aku ribut dengan manajer bernama Steven karena diskriminasi jam kerja. Aku dipecat. Josephina tak sempat tahu. Aku keluar dari Atlanta, pergi menyeberang ke negara bagian lain.
Hati ini kubungkus rapat. Pesona wanita Mexico itu kucoba kubur dalam-dalam, seperti banyak luka lain yang sudah lebih dulu kukubur.
Di New York, kehidupan baru yang lebih keras menyapaku. Kali ini, aku bertemu wanita lain, juga Amerika Latin. Kami biasanya menyebut gadis-gadis Amerika Latin berparas cantik dengan istilah “Mamacita”.
Kali ini beda. Namanya Soraya, lulusan Columbia University. Cantik, elegan, dan berjilbab.
“Saya masuk Islam karena ingin cari kedamaian,” katanya saat kami bertemu di masjid komunitas imigran. “Aku juga cari pasangan yang bisa sama-sama jalan di atas nilai.”
Ia bukan seperti Josephina, tapi punya pesona sendiri. Ia tahu tentang Papua.
“Kamu dari West Papua? I read about your struggle… The occupation, the military, the people demanding freedom,” katanya suatu malam di perpustakaan Queens.
Saya kaget. “Ko tahu tentang itu?”
“Aku belajar. Karena perjuanganmu adalah perjuangan semua orang tertindas.”
Di situlah aku sadar: Amerika bukan cuma tentang kerja keras dan bertahan hidup. Tapi tentang belajar mengenali siapa dirimu, dan siapa yang tetap ada di sisimu, meski kau kehilangan segalanya.
Josephina? Mungkin sekarang dia masih bekerja di perusahaan itu, perusahaan yang membuat kami para buruh nyaris identik dengan mesin. Atau mungkin dia sudah jadi bos? Entahlah.
Yang pasti, saya ingin tetap melangkah. Sebab perjuangan belum selesai.
Dan hati ini, meski sempat tergoda oleh senyum wanita Mexico, tetap tahu jalan pulang. Seraya ingin melihat mentari kebebasan terbit menyinari tanah yang kupanggil Papua.
Ciputat, 17 Juli 2025
Eldel
(Diambil dari kisah nyata)