
Gambar ilustrasi (doc : wenebuletin)
FAJAR telah lama pamit. Membawa serta sisa-sisa mimpi yang belum usai. Mentari pagi yang menyelinap, hanya sempat mencium lembut wajah kusam, sepasang mata yang menahan kantuk, dan senyuman yang hanyalah tabir tipis di atas penat yang menumpuk di punggung.
Kini, malam yang pekat telah menjelang, bintang-bintang mulai berkedip malu-malu di langit Jayapura. Jarum jam menunjuk pukul 20:57 waktu Papua. Di sanalah, di ambang pergantian waktu, kehidupan baru akan menari di antara kerapuhan dan harapan.
Dalam diam, sebuah doa terbisik, mengalir dari dasar hati, melambung tinggi mencari Bapa di Surga. Perlindungan Illahi kupohon, untuk diriku yang rapuh. Untuk keluarga kecilku yang kutinggalkan sejenak dalam damai mimpi mereka.
Untuk rekan-rekan seperjuangan yang senasib sepenanggungan. Dan yang utama: untuk jiwa-jiwa yang terbaring lemah di balik tirai kamar, menanti sentuhan penyembuh.
Langkah kakiku mengayun, membelah senyap jalan setapak menuju rumah tempat orang-orang sakit mencari penawar, tempat air mata seringkali bercampur dengan doa. Di ambang gerbang, dua pasang kaki lain pun menyusul, langkah kami menyatu dalam harmoni takdir yang sama.
Malam ini, kami adalah penjaga mercusuar, mata yang tak lelap, tangan yang tak gentar.
Kami bergegas, menembus koridor yang sunyi, aroma obat-obatan dan harapan bercampur baur di udara, menuju Ruangan Tulip.
Di sana, Suster Maria, sang penanggung jawab sif sore, telah menanti, seumpama obor yang tak pernah padam di kegelapan. Sapaan hangat bertukar, senyum tulus merekah, memecah kesunyian yang ada.
Kemudian, ritual serah terima tugas dimulai, berpindah dari kamar ke kamar, dari satu kisah hidup ke kisah lain. Pada setiap ranjang, kami menyuguhkan sapaan lembut dan senyuman tulus; sepercik cahaya yang kami harap mampu menghangatkan hati pasien dan keluarga, yang dinginnya malam terasa begitu menusuk tulang.
Namun, alunan langkah itu mendadak terhenti, seperti ombak yang tiba-tiba menemukan karang. Di balik salah satu pintu, sepasang mata dan hatiku terpaku. Ada daya tarik tak kasat mata, seperti panggilan dari hutan belantara yang memikat, memaksa laju langkah terhenti.
Aku segera mendekat, hati berbisik cemas. Di sana, seorang Mama, dengan raut wajah penuh kasih dan lelah, ditemani sepasang anak gadis remaja dan seorang putra kecil, sedang menemani Suami dan Ayah mereka.
Bapak itu, kini berjuang melawan senyap penyakit yang menggerogoti tubuhnya, berbaring lemah seperti perahu kecil yang oleng dihantam badai.
Sambil menyapa dengan kelembutan yang terukur, “Mama, bagaimana kabarnya Bapak?” mataku menyelami kondisi pasien. Sentuhan pada kaki yang terasa panas adalah isyarat pertama, sebuah tanda bahaya.
Bergegas aku mengambil termometer; angka yang tertera di sana mengkhianati normal, melampaui batas wajar. Segera, obat penurun panas kumasukkan, diikuti dengan pengukuran tekanan darah dan pemantauan kadar oksigen yang harus terus diwaspadai, seperti menjaga nyala lilin agar tak padam ditiup angin.
Tepat pukul 21.00, waktunya. Makanan cair yang disiapkan Ahli Gizi harus masuk melalui selang nasogastrik. Aku membantu keluarga, sambil berbisik lembut, “Mama, kuatkan hati. Berdoa terus, dan bantu Suster dengan kompres hangat ini, ya.”
Jawaban sang Mama, lirih dan penuh kepasrahan, “Terima kasih, Suster, sudah membantu.” “Sama-sama, Mama,” sahutku, mengikat janji untuk terus mendampingi, dalam setiap embusan napas perjuangan.
Namun, hasil pemantauan menunjukkan anomali yang kian mengkhawatirkan. Tekanan darah Bapak itu mulai menolak diajak kompromi, menurun drastis, seperti air pasang yang tiba-tiba surut tanpa aba-aba.
Laporan segera kusempurnakan kepada dokter. Instruksi pun turun, cepat dan tepat: “Guyur cairan, pasang peralatan pendukung, dan masukkan obat untuk menaikkan tekanan darah!”
Kami menjalankan setiap perintah dengan kecepatan dan ketepatan, seperti penari perang yang bergerak harmonis. Kami mengerahkan segala daya dan ilmu yang kami miliki. Kami berusaha, sungguh-sungguh berusaha, dengan seluruh jiwa raga kami.
Namun, semesta punya lakonnya sendiri. Takdir, pada akhirnya, memilih untuk berbisik lain, lebih hening, lebih pasti.
Di hadapan istri yang setia, yang tangannya tak henti mengelus dahi, dua anak yang menyayangi dengan tatapan pilu, dokter yang menghela napas berat, dan para perawat yang berjuang hingga titik terakhir, Sang Bapak menghembuskan napas terakhirnya.
Napas kehidupan itu ditarik kembali ke sumbernya, kembali kepada Tuhan Yesus, Sang Pemberi Hidup. Kesedihan menjalar, menusuk hingga ke ulu hati, seperti anak panah yang melesat tepat sasaran.
Melihat air mata yang tumpah, menyaksikan bahu yang terguncang kehilangan seorang suami, sang pilar keluarga, dan seorang ayah yang sangat dicintai. Hati ini pilu, seolah ikut terkoyak, namun aku harus tetap berdiri tegak, menjadi sandaran bagi mereka yang kehilangan.
Kami, insan medis, hanyalah perantara dan pembantu, jembatan kecil antara hidup dan mati. Pada akhirnya, Tuhan Yesus, Sang Pemberi napas kehidupan yang sesungguhnya, telah memilih untuk memeluk Bapak itu dalam kasih yang lebih abadi.
Kami membantu, kami berjuang, tetapi Tuhanlah yang menenun dan menentukan arah dari setiap helai napas. “Siooo Sayang Ah,” bisikku pelan, mataku menatap ke luar jendela, di mana bintang-bintang masih berkedip, seolah menjadi saksi bisu.
Kehidupan dan kematian, cinta dan kehilangan, semua berputar dalam senandung malam di bawah cahaya bulan bintang kejora. Di batas jaga yang sunyi ini.
Suz. Eliz