Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
Duka membayang jelas sore itu.
Langit mendung berawan dan tiupan angin berhembus lirih. Seorang wanita setengah baya terlihat berdiri mematung menatap liang lahat tempat satu-satunya anak gadisnya terbujur kaku dalam diam panjang.
Tak ada air mata di pipinya. Namun rahangnya terlihat mengeras dan tangan terkepal kuat menekuri tanah tempat kakinya berpijak. Penyesalan terbayang membuatnya begitu terpukul. Batinnya terus menuduhnya tak berperasaan.
“Akh…., seharusnya aku yang pergi mendahuluimu saying. Kau masih terlalu muda dan belum mengenal pahit manisnya kehidupan. Aku akan memperbaiki kasalahanku sayang. Seandainya laju waktu bisa kuputar kembali aku ingin memohon pada-Nya untuk memberiku sehari saja untuk mengucap maaf, memelukmu dan mengatakan padamu bahwa aku akan selalu ada. Dan kau bisa berbagi keluh kesahmu padaku. Takkan kubiarkan siapapun menyakitimu atau membuatmu menangis.”
Tak ada jawab. Hanya kesunyian menjawab rintihan hatinya yang telah hancur luluh oleh penyesalan.
“Aku sangat mengagumi dan bangga karena kau selalu kuat dan tabah menghadapi kehidupan keras yang kuciptakan untukmu. Maafkan mama, anakku sayang. Aku takkan lama menikmati kemenanganku menyakitimu, sayang. Tak lama lagi kita bertemu dan aku akan diberi kesempatan untuk memohon ampun dan maafmu..!”
Ultimatum bahwa aku hanya mendapat restu hanya menikahi Beny, lelaki yang selama ini ku pacari, memang membuatku merasa mual dan ingin muntah. Sebab aku tak bisa menolak bahkan menghindari hal ini.
Aku masih ingat saat kata ‘hanya’ yang mendapat penekanan berulang-ulang terucap dari bibir mama, wanita yang melahirkanku. Aku hanya kecewa karena meskipun aku telah menjelaskan berulang-ulang didepan semua keluarga besarku bahwa aku telah memutuskan untuk berpisah dengan Beny.
Namun keputusanku hanya dianggap angin lalu oleh wanita yang seharusnya paling mengerti apa yang kurasakan.
Beny memang telah lama mencuri hati perempuan yang membuatku ada dan melihat indahnya kehidupan. Kalau hanya karena rasa malu dan nama baik yang rusak bila tak ada pernikahan, pastinya akulah yang paling terkena dampak, tapi mama memakai alasan itu untuk memojokkanku.
Aku hanya tak mengerti, yang sebenarnya berpacaran dan merasakan pahit getirnya hubungan kami hanya aku. Tapi mama membeberkan semua alasan itu sebagai apa yang ia rasakan dan hadapi.
Capek memang berdebat dengan wanita satu ini dan pertengkaran kami selalu berakhir dengan kemenangan dipihak mama. Sedangkan aku hanya bisa duduk diam karena tak mampu membantah kata-katanya.
Mama tahu bahwa setiap pertengkaran kecil yang disulutnya selalu berakhir dengan kesimpulan bahwa ia akan memenangkannya. Aku tahu bahwa ia pasti sudah mengetahui ini sejak awal sebelum ia menyusun rencana kecil-kecilan untuk menyerangku dengan kata-kata yang mungkin telah disusunnya dengan sangat cermat.
Aku selalu kalah dan kalah.
Terkadang aku merasa penasaran, sebenarnya apa yang dilakukan mama dengan semua kemenangan kecilnya setelah bertengkar denganku. Semua yang kulakukan selalu tampak salah di matanya.
Aku memang sering mendengar cerita teman-temanku bahwa mama selalu memujiku di depan teman-temannya. Tapi aku heran karena kata-kata pujian itu takkan pernah sekalipun kudengar dari bibir tipisnya itu.
Aku selalu merasa bahwa ia memusuhiku.
Satu-satunya hal yang membuatnya tersenyum senang adalah saat ia mendengar bahwa aku sedang menjalin hubungan dengan seorang pemuda yang ia kenal baik dan menurut perkiraannya memiliki masa depan cerah.
Oh ternyata untuk menyenangkannya aku hanya perlu mencari seorang pria ‘baik-baik’ sesuai seleranya. Tapi bagaimana dengan seleraku sendiri atau pilihan hatiku? Tidakkah hal itu penting dalam menjalin sebuah hubungan asmara?
Bagaimana jika hati yang kata orang buta itu memilih seseorang tanpa berkonsultasi dulu dengan aku sendiri atau bahkan sekedar memberikan peringatan dini bahwa ia akan menjatuhkan pilihan pada orang yang sama sekali tak pernah kupikirkan sebelumnya.
Terkadang membayangkan itu, aku jadi merinding dan membuat permohonan dalam hatiku agar tidak terjadi dalam hidupku.
Ya, hati memang sedalam dan sekelam samudera, tak ada yang mampu memahaminya.
~~~~~~~
12 tahun lalu, hatikulah yang memilih Beny.
Orang mengatakan aku jatuh hati pada Beny dan Beny jatuh hati padaku. Tapi hati siapa yang mulai menyulut percik-percik api asmara waktu itu, tak ada yang tahu. Hanya hatiku dan hatinya yang menyimpan rahasia kehidupan miliknya ini.
Saat itu memang tak penting bagiku untuk mencari tahu bahkan menghabiskan waktu-waktu ku menyelidiki latar belakang pilihan hatiku ini karena setiap aku bertemu dengannya, gemuruh hatiku tak terbendung. Detaknya semakin cepat dan ada rasa dingin yang menelusup hatiku membuatku tak tahan untuk jauh darinya walau semenit.
Aku memang tak memungkiri bahwa Beny adalah seorang pria yang sangat romantic untuk ukuran budayaku yang laki-lakinya tidak terlalu romantic.
Ia memang seorang sosok pria idaman.
Banyak teman sebayaku yang tergila-gila padanya namun hatinya memilihku saat itu. Hubungan kami sangat manis dan penuh cerita indah yang pantas untuk kukenang. Aku selalu berharap saat-saat bahagia itu terulang lagi, namun cerita kehidupan ternyata sudah memilih alur lainnya untukku.
Kehidupan terus berjalan seperti biasa.
Beny masih tetap seromantis dulu. Namun waktu yang berubah juga ikut mengubah Benyku yang dulunya kukenal.
Perubahan itu justru membuat mama senang. Bagaimana tidak? Ramalan mama ternyata menjadi kenyataan, Beny mulai mendapat promosi jabatan bahkan menjadi salah satu orang yang berkuasa di Pemerintahan.
Memiliki kekuasaan artinya mendapat segala macam fasilitas dan kemudahan.
Uang menjadi raja.
Beny yang dulunya setia dan romantic mulai berubah.
Aku tahu semua perubahan itu, dan aku selalu mengikuti cerita tentang perkembangannya. Kami masih tetap sepasang kekasih seperti dulu, Tapi getar-getar halus atau detak jantung yang bergemuruh tak lagi terasa.
Aku hanya merasa aku harus segera menjauh darinya.
Mungkin aku alergi pada perubahan. Karena dengan pendidikan setinggi inipun aku masih tetap berfikir sederhana. Aku hanya senang berfikir praktis, namun tetap memegang prinsip, apapun yang terjadi.
Itulah yang Beny sukai dari diriku, katanya beberapa tahun yang lalu.
Namun justru hal berbau sederhana inilah yang tak disukai oleh mamaku tercinta.
Menjadi sukses didunia ini bukan karena banyaknya harta yang kita miliki, tetapi prestasi yang kita ukir dengan kemampuan yang kita miliki.
Dan jangan pernah menilai orang dari penampilan mereka karena terkadang penampilan bisa menipumu. Itulah nasehat dari ayahku yang selalu ia katakan padaku saat menemaniku belajar atau saat menasehatiku dan saudara-saudaraku.
Hal yang paling kuingat darinya adalah kesederhanaannya.
Ya, menurut orang, ayahku adalah seorang yang hebat, dan berkharisma namun sangat sederhana. Ayah adalah panutan dalam hidupku.
Ia selalu sabar dan tak pernah sekalipun memarahiku dan saudara-saudaraku dengan kasar. Namun menyelesaikan semua pertengkaran kami dengan mengajak kami mendiskusikan masalah tersebut dengan pikiran lebih terbuka.
Menurut beberapa sahabatku dan semua orang yang kukenal, aku lebih mewarisi semua sifat baik ayahku dibanding saudara-saudaraku yang lain. Mungkin sifat ayah yang tak senang berkonfrontasi juga diwariskannya padaku makanya aku selalu mengalah dan kalah jika beradu pendapat dengan mama karena dulupun Papa selalu melakukan hal yang sama dalam menghadapi argumentasi mama.
Setelah menghindar dan mengalah dari mama, papa sering mengajakku berjalan-jalan dan mengatakan padaku bahwa menghadapi orang yang mudah marah kau harus diam atau mendengarkan saja. Menurut beliau orang yang sedang marah terkadang tak bisa mengontrol apa saja yang dilakukannya atau dikatakannya.
Biasanya mereka menyesali semua yang telah terjadi saat kemarahan menguasai mereka. Namun terkadang kerusakan dan luka yang telah mereka timbulkan tak bisa lagi mereka perbaiki.
Waktu itu aku berjanji pada diriku bahwa aku tak mau seperti itu.
Mendengar kata-kata papa waktu itu, aku hanya tertawa-tawa saja karena aku tak mengerti sebahagian besar hal yang ia katakan. Tapi aku ingat semua hal tersebut. Kebahagiaanku dalam dunia kecilku bersama ayahku tak berlangsung cukup lama.
Ayahku pada akhirnya meninggalkan dunia fana tak lama setelah pengumuman kelulusanku meraih gelar sarjana dari sebuah Perguruan Tinggi di kotaku.
Genap sudah penderitaanku, karena aku sudah tak lagi memiliki ayah sekaligus sahabat yang selama ini membuatku kuat menghadapi kehidupan. Akh kenapa pikiranku mengembara ke masa lalu yang selalu berusaha ku lupakan?
Mungkin hanya itu satu-satunya caraku lari dari kenyataan hidup yang menghimpitku dan mengasoh sebentar dari kenyataan bahwa aku harus segera membuat pilihan yang harus ku jalani sepanjang sisa hidupku.
Ultimatum untuk menerima lamaran Beny dan segera menikah. Tak ada yang salah dengan Beny. Ia pria hebat namun aku mungkin tak menyukai perubahan pola hidupnya kini. Mungkin dulu aku menyukainya karena kesederhanaannya.
Entahlah. Banyak yang berubah pada dirinya.
Banyak kali aku mendengar selentingan tentang hubungannya dengan banyak perempuan, bahkan ada yang datang menemuiku dan membeberkan semua perjalanan cinta mereka padaku.
Saat itu aku mencoba bersabar dan mempercayai semua ceritanya, namun lama kelamaan aku tak tahan lagi.
Aku sering memintanya untuk berterus terang, namun jawaban yang kuperoleh adalah bahwa hanya aku saja wanita dalam hatinya.
Sesaat kata-katanya menenangkanku.
Aku mencoba untuk bertahan walau waktu yang terus berlari mulai menghapus rasaku padanya perlahan-lahan. Mungkin aku hanya ingin menyenangkan hati mama dan tak ingin mengecewakannya yang sudah berharap terlalu banyak pada Beny bahwa suatu saat aku akan menikahi laki-laki ini.
Entahlah….,
Kini di tengah-tengah prahara hatiku yang terus tercabik dengan semua cerita tentangnya dan saat tekadku sudah bulat untuk meninggalkan laki-laki yang sekian lama ku pacari, mama kembali membuat ultimatum mautnya.
Itu artinya aku telah sangat mengecewakan Ibuku.
Selepas memberi ultimatum supaya membuat pilihan itu, mama mulai menjauh dari padaku. Aku seakan-akan menjadi orang asing sama sekali baginya. Kami sering duduk bersama di ruang tamu dan menonton TV, namun tak pernah satu kata sapaan atau tanya tentang bagimana keadaanku sekarang.
Hatiku terasa kosong dan hampa sekaligus sakit.
Beny memang sudah jelas-jelas mengatakan padaku saat aku memberitahukan keputusanku untuk berpisah dengannya bahwa ia tidak ingin itu terjadi karena ia ingin menikah denganku secepatnya.
Kupikir aku bisa tenang. Namun tanpa sebab apapun suatu siang mama memanggilku hanya untuk memberiku ultimatum. Setelah terlebih dahulu merincikan semua perasaan hatinya yang bila di satukan dalam satu kalimat, ia malu karena semua orang tahu hubungan anak gadisnya sekian lama bersama dengan Beny.
Malu??????
~~~~~~~
Akh….. mama sayang, sebegitukah artiku kebahagiaanku bagimu?
Hanya karena perasaan malu, kau ingin mengorbankan hidup anakmu? Bagaimana dengan kebahagiaanku?
Mama sayang, kau tak tahu siapa Beny sekarang ini. Dia bukan orang yang membuat putrimu jatuh hati beberapa tahun lalu yang membuatmu begitu terharu setelah kau melihat binar mata penuh rasa cinta dan sinar kehidupan yang terpancar kuat di mataku.
Beberapa minggu ini kuhabiskan waktuku menyiangi rumput ditempat pemakaman papa dan menyampaikan keluh kesahku padanya.
Aku tahu ia sudah takkan bisa mendengarku lagi namun aku merasakan damai bersamanya.
~~~~~~~
Mama memberiku waktu dua bulan dan aku harus memberi jawaban padanya.
Selama masa itu, aku terus mengais jawaban dengan rasa putus asa yang menggunung. Apa jawaban yang akan kuberikan pada mama? Aku yakin aku hanya akan menyiksa diriku sepanjang hidupku karena aku tahu bahwa hatiku sudah tak memiliki kehangatan dan rasa cinta pada Beny tapi dilain sisi aku ingin membuatmu bahagia dan senang sekali saja.
Mama sayang, harga yang akan kubayar untuk membuatmu senang sangat mahal, hidupku dan kebahagiaanku. Aku terus merenung dan menimbang dan aku tahu jawaban apa yang akan kuberikan padamu.
Aku tahu pasti bahwa kau juga tahu jawaban apa yang akan kuberikan padamu kelak. Aku hanya menyesal karena saat-saat aku sedang membuat pilihan itu, kau justru menjauh dari padaku dan menganggapku tak ada.
Padahal justru saat-saat itu aku sangat butuh dukungan dan kasih sayangmu. Aku ingin bercengkerama denganmu dan berbagi kesedihan dan cerita hidupku denganmu sekali saja sebelum keputusan besar yang akan kubuat dalam hidupku.
Tapi mama, kau tak ada disana. Kau selalu sibuk dengan segudang urusanmu. Mungkin mama benar-benar sibuk, tapi bagiku mama sengaja mencari kesibukan karena mama ingin menghindar diriku. Benar khan?
Dulu kita pernah menonton kisah Siti Nurbaya di TVRI bersama. Mama justru sangat membenci Datuk Maringgi dan mendukung Siti Nurbaya untuk memilih Samsul Bakri. Namun kini mama justru membuat aku, anakmu sendiri,, menjadi Siti Nurbaya.
~~~~~~
Selama ini tidurku sangat tidak tenang dan selalu dihantui mimpi buruk. Aku tak pernah tidur nyenyak. Makanpun aku sudah tak memiliki selera karena semua makanan sudah tak berasa lagi bagiku.
Berat badanku turun. Sakit kepala berkepanjangan mulai rajin menemaniku. Semua orang mengatakan bahwa berat badanku turun drastic, tapi aku beralasan bahwa aku sedang melakukan diet.
Suatu saat aku bertemu dengan sahabatmu dan ia bertanya padaku ‘kapan akan menikah? Aku hanya menjawab aku tak tahu tapi sahabat mama mengatakan padaku bahwa mama sudah memberitahunya bahwa tak lama lagi aku akan menikah dalam waktu dekat.
Ternyata mama sudah memutuskannya untukku jauh sebelum aku memberitahukan pilihanku padamu. Seperti biasa, kau memberikan pilihan yang sebenarnya sudah kau putuskan sebelumnya.
Lalu buat apa malam-malam panjang kuhabiskan untuk menimbang dan berfikir apa yang akan ku putuskan? Padahal kau sudah tahu jawaban apa yang akan dan harus kuberikan padamu.
TIga hari lagi aku akan memberitahukan keputusanku padamu dan pada seluruh keluarga besar kita, dan juga di hadapan Beny yang memang tahu pasti apa yang akan kukatakan. Aku tahu Beny sering menemuimu dan mengatur semua rencana tentang pernikahanku dengannya tanpa setahuku.
Saat semua kenyataan ini membayang jelas dalam benakku yang telah lama kusut masa dan lelah, keringat membasahi tubuhku tak hentinya. Beban jiwa ini sungguhlah berat. Penyakit sulit tidurku mulai naik peringkat menjadi insomnia.
Pagi ini aku bangun dengan lingkaran hitam membayang jelas di bawah pelupuk mataku, Namun tak sekalipun waktu kau sisihkan untuk sekedar menanyakan perubahan diwajahku. Kau berlalu-lalang di dalam rumah seakan-akan aku hanya sebuah bayangan yang tak perlu kau gubris.
Perih sekali mama!!
Akhirnya, malam ini kuputuskan berdoa. Sebuah doa yang tak biasa namun itulah satu-satunya doa yang akhir-akhir ini ingin kupajatkan pada Dia yang telah menitipkanku ke rahimmu. Karena besok adalah hari bagiku untuk menjawab semua ultimatummu.
Malam ini kuputuskan memakai pakaian terbaikku, sebuah gaun yang saat itu kau belikan saat perjalananmu ke seberang lautan dan dibalik gunung-gunung yang mengelilingi kota ini. Gaun indah berenda berwarna hijau lumut, warna kesukaanku.
Mama sayang inilah jawabanku. Terimalah….!
Salam anakmu yang selalu menyayangi dan berusaha sepanjang hidup menyenangkanmu. Semoga jawabanku ini memuaskanmu.
Aku juga ingin bahagia. Tapi bukan bahagia seperti dalam bayanganmu.
(Q’braqe)
