
Suasana wilayah Distrik Gome, Kabupaten Puncak, Papua Tengah (dok: ist)
DI TENGAH desingan peluru dan bayang-bayang trauma, ada cahaya yang masih menyala di tanah yang terluka.
Namanya Jenggernok, sebuah kampung kecil di Distrik Gome yang kini menjadi rumah sementara bagi para pengungsi, terutama mama-mama yang terus berjuang menjalani hidup di tengah konflik bersenjata antara aparat TNI-Polri dan TPNPB.
Konflik yang terus berulang telah memaksa banyak keluarga meninggalkan kampung halaman mereka. Rumah, ladang, dan tempat-tempat yang dahulu menjadi sumber penghidupan kini kosong, ditinggalkan demi keselamatan.
Namun, kehidupan tak pernah benar-benar berhenti, bahkan dalam keterbatasan dan ancaman, mama-mama pengungsi berupaya bertahan dengan cara mereka sendiri.
Di ruas jalan tanah merah yang tak memiliki fasilitas memadai, para mama membuka lapak sederhana. Berjualan seadanya untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Tak ada tenda, tak ada atap pelindung, hanya semangat dan doa yang menjadi penguat.
Salah satu mama di Jenggernok berkata lirih, namun penuh keteguhan:
“Kami mau makan, minum, dan penuhi kebutuhan keluarga. Siapa yang mau jamin itu, sedangkan rumah dan tempat cari makan, sudah kami tinggalkan karena konflik aparat TNI-Polri dan TPNPB?”
Ucapannya adalah jerit sunyi yang selama ini jarang terdengar, namun menggambarkan realitas hidup para perempuan Papua yang berada di garda terdepan dalam mempertahankan kehidupan keluarga mereka.
Jenggernok bukan sekadar kampung kecil di lembah Gome yang berselimut kabut. Ini adalah nadi dari sebuah tanah yang agung.
Batu-batu tua yang terhampar di sekitarnya menjadi saksi bisu kisah nenek moyang yang tak pernah mati. Di tengah bayang-bayang konflik, semangat hidup tetap tumbuh dari akar yang paling dalam.
Di jalan tanah merah, anak-anak berlari,
Dengan tawa murni dan mimpi yang tinggi.
Pohon kopi dan noken di pundak ibu,
Adalah nyanyian hidup yang selalu merdu.
Di sana, di antara suara burung dan denting bambu yang ditimpa angin gunung, kehidupan tetap bernyanyi. Bukan karena damai telah hadir, tetapi karena harapan tak pernah benar-benar pergi.
Meski awan kelabu kadang menggantung,
Hati rakyat tetap teduh, tak pernah murung.
Dengan doa di honai dan lagu di api,
Mereka menunggu fajar yang pasti kembali.
Dari Jenggernok, gema doa tak berhenti dipanjatkan. Mereka tidak menuntut istana emas. Mereka tidak menanti janji politik. Mereka hanya ingin satu hal: damai dan keadilan yang nyata.
“Di tanah Jenggernok, ku tunduk berseru,
Tuhan, lihat kami, anak-anakMu.
Kami tidak meminta istana emas,
Cukup damai dan keadilan yang jelas.”
Kidung doa itu lahir dari honai kecil, tempat ratapan dan harapan menyatu. Dari sana, terdengar cerita tentang bapak yang hilang, tentang mama yang diam-diam menangis karena suara senjata lebih nyaring dari salam.
“Gome, engkau luka yang belum sembuh,
Di balik hutan, hati kami rapuh.
Namun kami tak lari, kami tetap di sini,
Berdoa dalam gelap, menanti pagi.”
Dalam gelap, mereka masih berdoa. Untuk anak-anak yang sedang tumbuh agar tak dibesarkan dalam sunyi. Untuk pemimpin yang datang bukan sekadar membawa janji, tetapi juga kepedulian.
“Kami orang kecil, suara tak terdengar,
Namun darah kami merah, bukan debu yang mengalir hambar.
Biar dunia tahu dan bangsa mengerti,
Papua juga manusia, layak dihargai.”
Di Jenggernok, mama-mama bukan hanya penyintas, mereka adalah cahaya yang tak padam di tengah gelap. Mereka membawa beban, namun tak menyerah. Mereka kehilangan, namun tetap memberi. Dari tanah yang suci dan tubuh yang lelah, mereka terus menyuarakan hidup.
Dunia boleh berpaling. Negara boleh lupa. Tapi Jenggernok akan tetap berdiri seperti batu tua yang menyimpan kisah nenek moyang teguh, terpaut, dan tak pernah mati.
(*) Yones Madai adalah penulis artikel ini. Dia aktivis Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP).