
Gambar ilustrasi seorang Mama Papua dan kedua anaknya saat berjualan pinang dan sayur di tepi jalan (Chat GPT/wenebuletin)
ANGIN dingin sore itu keras menerpa tubuh ringkihnya. Namun dengan langkah pasti perempuan tua itu berjalan menyusuri jalan menuju gubuk kayu yang selama ini ditempatinya di daerah Pos 7, Sentani, Jayapura, bersama kedua anaknya yang sedang beranjak dewasa.
Banyak hal yang sedang berkecamuk dalam benaknya tentang kedua anaknya. Anak laki-lakinya, Anis, sedang kuliah di FKIP Uncen jurusan Bahasa Inggris. Lalu anak gadisnya, Liana, kini sedang belajar sebagai mahasiswa tahun terakhir yang juga calon perawat di Poltekes Padang Bulan, Abepura, Kota Jayapura.
Kedua buah hatinya itu masih sangat kecil saat suaminya meninggalkannya. Laki-laki ini memilih hidup dengan seorang perempuan yang merupakan teman kuliahnya di Sekolah Tinggi Pemerintahan Silas Papare.
Saat suaminya memilih pergi dari kehidupannya mereka, Liana, putrinya berusia 8 tahun, sedangkan anak keduanya, Anis berusia 6 tahun. Tanpa mengucap sepatah kata pun, sang suami berlalu dari kehidupannya. Meninggalkannya dalam kekalutan dan tanggung jawab mengurus anak hasil pernikahan mereka.
Bagai angin berlalu tanpa meninggalkan jejak. Sang suami telah menyelesaikan pendidikan sarjana dengan bantuan dan hasil keringat sang istri yang selama ini membanting tulang dengan berjualan dari pagi hingga sore.
Istrinya telah mengumpulkan helai demi helai lembaran rupiah untuk menyokong pendidikannya. Namun suaminya berlalu begitu saja, memulai kehidupan barunya dengan gelar sarjana bersama perempuan lain.
Bukan dirinya. Semenjak kepergian suaminya, Mama Rika tak berkubang lama menangisi nasibnya dan anak-anaknya karena kesadaran baru menyentaknya bahwa ia masih memiliki harapan untuk berbahagia di masa mendatang. Kebahagiaan melalui kedua buah hatinya ini.
Sambil menguatkan hatinya, Mama Rika, mulai meneruskan rutinitasnya berjualan untuk menghidupi kedua anaknya dan membiayai keduanya meneruskan pendidikan semampunya.
Luka dan keperihan hatinya ditepisnya sejauh mungkin agar kedua anaknya tak melihatnya dalam keadaan rapuh. Keperihan hatinya terobati saat melihat kedua anaknya tumbuh besar seiring berjalannya waktu, dan selalu berprestasi di sekolah.
Canda tawa, dan keriangan serta kepolosan mereka sebagai anak kecil selalu menghiburnya, bahwa setidaknya masih ada hal yang membuat dunianya tidak sesuram yang ia bayangkan. Dengan kasih sayang, ia mendidik dan membesarkan kedua anaknya, Liana dan Anis.
Mama Rika, tak membiarkan duka dan air mata memburamkan matanya untuk terus menatap ke depan, mengais rejeki demi menghidupi kedua buah hatinya.
Rutinitas hariannya dilakoni dengan bangun sepagi mungkin. Menyiapkan sarapan kedua anaknya lalu harus berjalan kaki saat terang mentari belum merekah untuk membeli sayuran segar yang dibawa para petani dari Depapre atau sekitarnya. Sayuran ini kemudian dibaginya dalam ikatan-ikatan kecil dan dijualnya kembali di Pasar Umum Sentani.
Selain itu, ia sudah lama menjual sayuran segar yang dikirim adiknya Lena setiap dua hari sekali melalui pesawat pagi dari Wamena. Sebagai gantinya, Mama Rika mengirimkan pinang dan sagu untuk dijual adiknya di Wamena.
Keduanya sudah melakukan hal tersebut sejak lama.
Dari hasil berdagang itulah, kedua perempuan ini, Lena dan Mama Rika, mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga saat ini. Tak ada bantuan modal dari siapa pun. Tapi melalui setiap rupiah yang mereka kumpulkan kemudian dijadikan modal usaha untuk terus berdagang. Hanya itu pilihan satu satunya karena pendidikan mereka yang minim.
Kehidupan terus berjalan di sela-sela waktu yang berlari cepat tak terkejar.
Hanya asa dan keinginan untuk bertahan hidup yang memberi kekuatan meneruskan langkah dan merajut impian dalam diam.
_________
2
Ada tanya dalam benak Mama Rika saat anaknya, Liana, pulang dengan wajah lesu. Sebab namanya tak ada dalam daftar nama mahasiswa baru Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih (Uncen).
Padahal ia merasa mampu menyelesaikan semua tes masuk dengan mudah. Apalagi ia juga mendapat rekomendasi dari sekolah tempatnya belajar karena ia termasuk dalam daftar siswa berprestasi. Mungkin status dan pekerjaan orang tuanya sebagai petani membuatnya tersingkir dari bursa calon mahasiswa karena biaya sekolah di fakultas kedokteran memang terkenal mahal.
Ah, tak ada yang tahu misteri tersebut. Hanya mereka di dalam sana yang tahu kriteria standar menerima mahasiswa baru. Akhirnya, Liana memilih melanjutkan studi di Akademi Keperawatan demi mengejar cita-citanya melindungi kehidupan.
Dua tahun kemudian, tiba giliran putra bungsunya, Anis, memasuki bangku kuliah yang memilih menjadi guru Bahasa Inggris, pelajaran favoritnya. Lengkap sudah kebahagiaan Mama Rika, meskipun kegelisahan merambat pelan dalam benaknya. Dari manakah ia akan mendapatkan dana membiayai kedua anaknya tersebut?
Mama Rika tak percaya bahwa pemerintahnya akan memberi bantuan bagi pendidikan anaknya. Karena dana pembangunan khususnya pendidikan berjumlah besar yang sering ia dengar, ternyata tak pernah jelas rimbanya.
Yang terlihat justru banyak kendaraan dinas berkaca hitam legam berseliweran kesana-kemari. Ditumpangi anak-anak bangsanya yang terkadang dengan tak malu-malu mengendarainya di luar jam dinas untuk keperluan keluarga, bersantai di mall-mall yang mulai tumbuh di kota ini seperti jamur.
Mungkin kepenatan mengurus kepentingan rakyat banyak membuat mereka lelah dan harus menghibur diri dengan berpesta pora sekali-kali untuk melepaskan penat. Ataukah melarikan diri dari kegelisahan mereka karena tak mampu menghentikan para perampok dan penjarah menggerogoti dana yang seharusnya menjadi bagian masyarakat mereka?
Atau satu-satunya cara mereka untuk menangisi ketidakmampuan mereka berdiri tegak dan lantang menantang kekuatan bernama birokrasi. Demi memberi remah-remah rupiah yang seharusnya menjadi milik rakyat mereka.
Hanya mereka yang tahu. Apa makna kegelisahan yang membuat mereka lari dan mengubur, serta menghibur diri dengan berseliweran memamerkan kehidupan megah tersebut?
______
Pernah suatu ketika Mama Rika meminta Liana membantunya membuat proposal untuk dibawa ke Dinas Pendidikan guna meminta bantuan beasiswa bagi putrinya di Fakultas Kedokteran.
Ini dilakukan setelah didorong tetangganya yang bekerja di kantor Pemerintah Provinsi Papua. Tetangganya ini berasal dari Maluku dan telah menetap puluhan tahun di tempat itu.
Jantungnya berdegup kencang saat ia berjalan memasuki gedung berlantai tegel berwarna putih, licin mengkilap. Hatinya menciut saat melihat langkah-langkah tegap para pegawai pemerintah yang berjalan cepat dan terlihat sibuk.
Langkah-langkah sepatu yang bertalu-talu di lorong-lorong kantor pun seakan mengingatkannya bahwa mereka sedang berjalan tergesa menuliskan laporan tentang permasalahan rakyat, memikirkannya dan memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh.
Tak ingin mengganggu kesibukan para pelayan masyarakat tersebut, mama Rika yang diantar tetangganya itu langsung menuju ruangan tempat ia seharusnya memasukan proposal. Setelah itu mendapat jawaban bahwa ia harus mengecek dua minggu kemudian,
Jadi mama tua ini berjalan pulang dengan satu harapan bahwa suatu saat anaknya bisa dibantu biaya studinya sehingga beban berat yang selama ini ditanggungnya sedikit berkurang.
Harapannya sangat besar karena ia telah mendengar bahwa dana Otonomi Khusus yang dialokasikan Pemerintah untuk pendidikan sangat besar. Apalagi ia tahu bahwa prestasi anaknya yang gemilang akan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa khusus bagi putra-putri asli Papua.
Dua minggu kemudian, Mama Rika berjalan santai menyusuri kantor yang lenggang pada pukul 11 pagi guna mengecek proposal yang telah dimasukan. Betapa kecewanya ia ketika seorang pegawai yang berjaga di tempat itu memberitahunya bahwa tak ada dana beasiswa lagi. Sebab dana telah habis terpakai untuk alokasi anggaran tahun berjalan.
Bahasa-bahasa tinggi yang dipakai pria berbaju khaki itu tak di dengarnya dengan jelas. Sebab kekecewaan dan bayangan tentang beban berat yang masih harus dipikulnya untuk menyekolahkan kedua buah hatinya langsung terngiang.
Sebagian besar penjelasan dengan istilah-istilah asing khas orang-orang berpendidikan sudah tidak bisa ia cerna dengan jelas. Akhirnya, dengan langkah gontai ia berlalu dari tempat itu dan bersumpah bahwa ia takkan lagi mengemis kepada Pemerintah atau pun sekedar menggantungkan harapan bahwa mereka akan memperhatikan pendidikan anak-anaknya kelak.
Ia harus dan akan bekerja keras, menentang kerasnya kehidupan demi masa depan kedua anaknya tercinta.
‘Selama ini mereka tidak pernah bantu saya modal. Tapi saya masih bisa berdiri di kaki sendiri. Bertahan hidup mengumpulkan kepingan-kepingan rupiah, dan telah terbiasa dengan kehidupan seperti itu. Buat apa saya mengemis untuk hal yang tidak mungkin didapatkan?” kata batinnya dengan tekad bulat.
Mama Rika hanya menyimpan sejumlah tanya dalam benaknya siang itu. Disana ada anak-anaknya yang berpakaian khaki, namun mengapa tak ada satupun yang menemaninya mempertanyakan haknya?
Mereka justru sibuk duduk bergerombol di depan sebuah ruangan yang bertuliskan Bank Papua, sambil membahas gaji maupun tunjangan apa yang akan didapatkan.
Bahkan sebagian dengan tidak malu-malu melewatinya sambil memikul beras jatahnya dengan senyum lebar. Karena jatah kerja sebagai pelayan masyarakat telah mereka dapatkan. Tapi siapa yang mereka layani?
Inikah artinya hari gajian, kantor lenggang karena semua orang pulang menghitung berapa potongan gaji mereka, menyisihkan uang untuk pendidikan anak-anak mereka dan biaya belanja bulanan mereka?
Siapa yang akan mengurus dan sekedar peduli? Apakah ia dan orang-orang sepertinya akan bertahan hidup di hari esok saat berjuang untuk bertahan hidup di tengah kehidupan yang keras dan kejam ini? Di tengah orang-orang yang membagi remah-remah yang mereka nikmati dengan rakus setiap bulannya, dengan menjilat segala benda yang mampu mereka jilat dan isap?
Jika aparat pemerintah yang merupakan anak-anak bangsanya tak mampu menantang kekuatan bernama kekuasaan, lantas apa gunanya keberadaan mereka di sana? Hanya menjilat remah-remah makanan sisa dari para pencuri dan penjarah yang menjarah tanah dan negeri mereka sambil meninabobokan mereka. Lalu menjauhkan mereka dari realitas masyarakat mereka dengan segala macam tunjangan untuk menjinakan mereka?
Menutup mata dan pura-pura buta melihat pemimpin mereka mencuri dan menjarah semua hal yang menjadi hak masyarakat mereka. Karena ketakutan bahwa ketika mereka membuka mulut dan berbicara, maka pangkat mereka takkan naik dan kue kekuasaan takkan mereka nikmati di kemudian hari.
Lantas dimana orang kecil sepertinya lari mengadu sekedar untuk meminta pertolongan?
Tenggat waktu pembayaran kuliah kedua anaknya mendekat. Sementara jualan Mama Rikat tak laku karena banyaknya saingan yang menjual jenis barang yang sama dengannya.
Hatinya semakin teriris dengan kepedihan. Namun, ia terus berusaha bertahan untuk berjualan hingga petang menjelang, bahkan membeli pinang untuk dijual di dekat mata jalan di depan rumahnya.
Mama Rika heran karena sebelumnya ia mendengar bahwa biaya pendidikan bagi anak-anak Asli Papua akan dibebaskan dari segala macam biaya pendidikan. Namun kenyataannya ia masih harus membanting tulang untuk membayar biaya tunggakan semester anaknya yang jumlahnya sangat besar.
Mama Rika semakin heran saat anaknya, Anis, jatuh sakit. Jadi ia sempat mengantar anaknya berobat di sebuah Rumah Sakit Umum. Namun biaya yang harus ia keluarkan untuk menebus resep dokter sangat besar.
Padahal, beberapa minggu sebelumnya ia mendengar penjelasan tetangganya bahwa ada potongan biaya berobat bagi orang seperti dirinya di rumah Sakit Umum Daerah. Di manapun di Papua, apabila ia menggunakan KPS atau Kartu Papua Sehat.
Selentingan yang ia dengar adalah bahwa Otsus atau Otonomi Khusus berfokus pada dua hal penting; pendidikan dan kesehatan. Sebagian besar dana Otonomi Khusus dipakai untuk dua bidang tersebut, dan ketersediaan Kartu Papua Sehat adalah salah satu wujudnya.
Namun ternyata ia tak bisa mendapatkan kemudahan saat anaknya berobat karena sakit. Itu hanya cerita khayalan belaka menurutnya. Kenyataannya ia harus membayar mahal untuk pengobatan anaknya.
Di kemudian hari saat Mama Rika mengunjungi anak tetangganya, seorang PNS, ia baru tahu bahwa biaya yang mereka keluarkan tak sebesar dirinya. Sebab ada Asuransi Kesehatan bagi para Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan fasilitas pelayanan yang dengan mudah mereka akses, tanpa mengeluarkan banyak biaya.
Hal itu membuat Mama Rika berfikir “ah.., mungkin subsidi biaya kesehatan bagi masyarakat yang sering ia dengar itu sebenarnya bukan diperuntukan bagi mereka, masyarakat kecil. Tetapi bagi para Abdi Masyarakat.”
“Berarti semua program yang dibuat atas nama rakyat agar dana kucuran menjadi lebih besar, sebenarnya bukan diperuntukan bagi mereka, masyarakat kecil. Tetapi bagi kelompok yang menamakan diri Abdi Masyarakat saja.”
Kenyataan pahit itu meyakinkannya bahwa ia harus lebih kuat bekerja dan bertahan hidup. Namun itu bukan hal baru untuknya. Ia sudah terbiasa dan kuat berdiri tegar menantang badai kehidupan.
Ada dan tidaknya bantuan Pemerintah, takkan merubah kehidupannya. Ia sadar kini bahwa ia sendirilah yang menentukan seberapa bahagianya dirinya kelak.
Waktu pun berlalu, namun tak sekalipun tekadnya kendor.
Hari ini, untuk kedua kalinya ia berdiri dalam gedung megah menghadiri acara bernama Wisuda. Untuk pertama kalinya ia memasuki gedung bernama Auditorium Uncen yang biasanya ia lihat dari luar setiap kali memakai taksi ke Abepura.
Mulai esok ia tak perlu bangun pagi dan bisa melegakan diri dari rutinitasnya karena Liana sudah menjadi perawat dan besok anaknya, Anis, akan menjadi seorang Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris.
Untuk kedua kalinya, tangisan haru mengalir di pipinya saat nama anaknya di panggil di depan ribuan orang berpakaian rapih untuk menghadap rektor atau pimpinan sekolah tinggi. Toga anaknya dimiringkan sebagai simbol keberhasilannya menamatkan pendidikan di perguruan tinggi.
Anak perempuannya, Liliana, diwisuda dua tahun lalu. Kali ini putranya, Anis, melangkah tegap menuju podium dengan rasa percaya diri yang biasa dilihatnya pada orang-orang berpendidikan. Sambil menyeka air matanya, Mama Rika menatap tak berkedip mengikuti momen terpenting anaknya.
Setelah bersalaman dengan rektor dan para petinggi kampusnya di atas podium, Anis berbalik menatap ribuan pasang mata. Ia mencari wajah Mama Rika dan menatap langsung ke mata ibunya ini dengan mata berkaca-kaca. Ia menundukan kepala memberi penghormatan di depan semua orang.
Penghormatan berupa penghargaan hanya untuk mamanya tercinta.
Anis, berjalan pelan menuruni podium. Suatu keberhasilan menantang badai kehidupan dan berdiri tegar saat segalanya serasa menjadi tidak mungkin!!
Keberhasilan merajut impian di tengah kesusahan dan jerih payah yang tak pernah lelah. (Q’braqe)