
Photo ilustrasi (doc: southchinamorningpost.com)
SERANGAN kelompok militan Hamas (Palestina) terhadap Israel yang dimulai pada 7 Oktober 2023 menewaskan sekitar 1.200 orang di Israel bagian selatan dan menyebabkan sekitar 250 orang ditahan sebagai tawanan.
Hamas adalah organisasi politik dan militer yang didirikan pada tahun 1987 oleh Syekh Ahmad Yasin. Sebagai tanggapan, Israel meluncurkan operasi militer besar-besaran yang mencakup serangan udara ke wilayah Gaza dan pengepungan total melalui pemutusan aliran listrik, air, serta makanan.
Perang yang kini telah berlangsung selama 17 bulan atau sekitar satu tahun tujuh bulan telah memberikan dampak multidimensional, termasuk aspek psikologis, sosial, dan ekonomi, baik bagi Israel maupun masyarakat global.
Setelah serangan pada 7 Oktober 2023, Israel mengalokasikan dana awal sebesar $246 juta (sekitar 1 miliar shekel) untuk operasi militer. Seluruh kekuatan militer IDF, termasuk 300.000 tentara aktif dan cadangan, dikerahkan untuk mempertahankan wilayah Israel.
Biaya sebesar itu diperkirakan digunakan setiap hari selama masa konflik intensif (sumber: Haaretz, Reuters). Pada tahun 2024, meskipun perang terus berlanjut, pertumbuhan ekonomi Israel hanya sekitar 2%.
Pemerintah Israel pun melakukan revisi besar-besaran terhadap anggaran negara, termasuk pemotongan sektor sipil dan peningkatan pajak, guna mendanai operasi militer yang terus berlangsung.
Penurunan Aktivitas Ekonomi dan PDB
Perang memaksa banyak bisnis dan industri untuk menutup atau memperlambat kegiatan operasional akibat mobilisasi militer dan kekhawatiran keamanan. Sektor pariwisata, yang merupakan bagian penting dari ekonomi Israel, mengalami penurunan drastis.
Hotel-hotel sepi pengunjung. Penerbangan dibatalkan. Wisatawan asing menghindari wilayah konflik ini. Investasi asing langsung (FDI) juga menurun karena ketidakpastian politik dan keamanan.
Bank Sentral Israel melaporkan bahwa pada kuartal IV tahun 2023 (Oktober-Desember), Produk Domestik Bruto (PDB) Israel mengalami kontraksi sebesar 19,4% secara tahunan. Ini menjadi salah satu penurunan terburuk dalam sejarah ekonomi Israel.
Sektor teknologi tinggi (hi-tech), yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi negara, turut terdampak karena banyak pekerjanya dipanggil menjadi tentara cadangan. Namun, yang mencengangkan, hingga 13 Mei 2025, pertumbuhan ekonomi riil Israel kembali meningkat mencapai 3,25% (sumber: Statistika).
Nilai tukar shekel, mata uang Israel, sempat melemah sekitar 3% dan diperdagangkan pada level 3,69 per dolar AS karena ketidakpastian ekonomi. Bank Sentral Israel mengambil langkah intervensi pasar dengan menjual cadangan devisa untuk menstabilkan nilai tukar dan mengendalikan inflasi domestik, terutama pada barang impor dan kebutuhan pokok.
Pengangguran, Ketimpangan dan Dampak Jangka Panjang
Ribuan pekerja Palestina yang biasa bekerja di sektor konstruksi dan pertanian Israel tidak diizinkan masuk selama perang, menyebabkan gangguan besar pada dua sektor padat karya tersebut.
Perusahaan kecil dan menengah mengalami kesulitan menjaga operasional, mengakibatkan peningkatan angka pengangguran. Ketimpangan sosial-ekonomi juga meningkat, terutama di kalangan komunitas Arab Israel yang mengalami diskriminasi selama konflik. Selain itu, masyarakat menghadapi kerugian finansial akibat fluktuasi suku bunga, pelemahan mata uang, kredit macet, dan gagal bayar.
Konflik berkepanjangan meningkatkan risiko terhadap daya saing sektor teknologi Israel, menurunkan minat investasi asing, dan menambah beban utang nasional karena pembiayaan perang dan rehabilitasi pascakonflik. Selain itu, reputasi global Israel terdampak akibat kritik internasional terhadap konsekuensi kemanusiaan dari operasi militer di Gaza.
Dampak Ekonomi Global dan Kawasan Indo-Pasifik
Perang juga memicu ketegangan geopolitik yang berdampak luas. Kenaikan harga minyak merupakan dampak paling nyata. Ketegangan di Timur Tengah mengganggu pasokan energi global.
Harga minyak sempat melonjak hingga di atas $90 per barel setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Negara-negara di kawasan Indo-Pasifik seperti Jepang, Korea Selatan, India, dan negara-negara ASEAN sangat bergantung pada impor minyak dari Timur Tengah, sehingga mereka sangat rentan terhadap fluktuasi harga tersebut.
Kelompok Houthi, yang menunjukkan solidaritas terhadap Palestina, melancarkan serangan terhadap kapal-kapal dagang di Laut Merah. Hal ini menyebabkan banyak kapal menghindari Terusan Suez dan memilih jalur yang lebih panjang melalui Tanjung Harapan, Afrika Selatan, sehingga meningkatkan biaya logistik dan mengakibatkan keterlambatan pengiriman barang.
Dampaknya terasa hingga Asia Tenggara dan Asia Timur dalam bentuk keterlambatan bahan baku dan produk impor. Perang juga menciptakan volatilitas di pasar keuangan global. Investor cenderung mengalihkan dananya ke aset aman seperti emas dan dolar AS.
Negara-negara berkembang di kawasan Indo-Pasifik menghadapi tekanan modal keluar, pelemahan mata uang, dan peningkatan biaya pinjaman luar negeri.
Risiko Eskalasi Regional dan Global
Jika konflik meluas ke Iran, Hizbullah (Lebanon), atau Suriah, dapat memicu perang regional skala besar yang memengaruhi stabilitas global. Perang memang telah melebar ke Lebanon pada Desember 2024. Rezim Bashar al-Assad di Suriah runtuh setelah Damaskus direbut oleh oposisi (Hay’at Tahrir al-Sham), memaksanya melarikan diri ke Moskow.
Kematian pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, dan kerugian ekonomi yang tinggi (sekitar $50 miliar) memperparah krisis. Selain itu, aliansi-aliansi di Timur Tengah mengalami pergeseran, dan poros perlawanan yang dipimpin Iran mulai kehilangan jalur suplai logistik dan dukungan senjata dari Suriah.
Kenaikan harga minyak dan biaya logistik menambah tekanan inflasi global. Biaya hidup meningkat, terutama di negara-negara berkembang yang sangat tergantung pada impor energi dan pangan.
Perang Israel–Hamas menimbulkan tekanan ekonomi yang besar bagi Israel, mulai dari kontraksi PDB, peningkatan beban anggaran, hingga terganggunya sektor swasta dan ketenagakerjaan. Meskipun Israel memiliki struktur ekonomi yang relatif kuat, terutama di sektor teknologi dan inovasi, konflik berkepanjangan menciptakan ketidakpastian terhadap prospek pertumbuhan ekonomi jangka menengah hingga panjang.
Dampak konflik ini juga meluas ke tingkat global, terutama kawasan Indo-Pasifik, melalui kanal: energi, rantai pasok, pasar keuangan, inflasi, dan geopolitik. Perang regional di Timur Tengah tidak lagi menjadi konflik lokal semata, melainkan krisis dengan konsekuensi ekonomi lintas kawasan yang perlu diantisipasi secara serius oleh komunitas internasional.
(*) Nikodemus Kambu adalah penulis artikel ini. Ia seorang pensiunan guru SMA, tinggal di Amban Manokwari, Papua Barat.