Pemandangan kota Yerusalem dengan ikon Masjid Kubah Emas (Dome of the Rock). (Sumber foto: Jerusalem Post)
SENIN MALAM, 7 Oktober 2024. Saya duduk merenung sejenak sebelum beranjak ke peraduan di sebuah rumah di area Padang Bulan, Abepura, Kota Jayapura, Tanah Papua. Mengingat kembali setahun peristiwa penyerangan atas negara Israel. Sabtu, 7 Oktober 2023, Hamas, kelompok militan Arab Palestina menyerang Israel.
Esok harinya Minggu, 8 Oktober, kelompok militan Arab lain bernama Hizbullah yang menguasai wilayah selatan Libanon, juga ikut menyerang Israel. Hamas dan Hizbullah, dua organsasi militan yang didukung Iran telah menembakan ribuan roket ke wilayah Israel.
Peristiwa bersejarah ini terjadi saat saya baru seminggu berada di Israel. Saat serangan roket terjadi, saya baru dua hari menginap di School Hostel, sebuah penginapan murah ala backpacker yang terletak di area jalan Jaffa, kota Yerusalem.
Bangunan hostel yang dikelola Gereja Kristen Koptik Timur Tengah ini hanya bersebelahan jalan dengan gerbang Jaffa (Jaffa Gate), salah satu jalur utama memasuki kota tua Yerusalem. Bangunan hostel ini dari luar tampak elegan dengan arsitektur klasik campuran, gothik dan Timur Tengah.
Beberapa hari sebelumnya, saya telah menikmati suasana jalan Jaffa dan kota Yerusalem yang ramai oleh para peziarah dari seluruh dunia. Di sepanjang jalan dan tempat umum seperti bandara, stasiun kereta api, bus, hingga kawasan pertokoan, orang-orang Yahudi Ortodoks membawa ranting-ranting palem yang terbungkus plastik bening.
Ini adalah suasana perayaan Sukkot atau disebut hari raya Pondok Daun. Biasanya dirayakan setiap akhir bulan September dan awal Oktober. Setelah itu akan memasuki perayaan Simchat Torah, yang menandai penutupan Sukkot dan dimulainya kembali siklus pembacaan kitab Taurat (Torah).
Pada Jumat sore 6 Oktober atau sehari menjelang Sabbath (Sabtu), 7 Oktober, saya sempat bersemangat mengunjungi Tembok Barat atau Tembok Ratapan. Karena School Hostel tempat saya menginap jaraknya hanya terpaut beberapa ratus meter dari Tembok Barat.
Karena dekat, saya hanya perlu berjalan kaki memasuki kota tua Yerusalem melalui gerbang Damascus. Untuk menuju Tembok Barat, saya harus melewati koridor jalan yang ramai dijejali para pedagang Arab yang menjajakan dagangan mereka. Setelah itu saya harus melewati pintu yang di depannya dijaga ketat para polisi Israel sebelum masuk ke dalam area Tembok Barat.
Saat hendak masuk, para penjaga sempat memeriksa jaket tebal saya. Saya sengaja memakai jaket tebal karena temperatur udara di malam hari terasa dingin. Setelah itu saya berjalan menuju area utama dekat dinding Tembok Barat yang sudah disesaki orang-orang Yahudi. Mereka datang untuk merayakan Shabbath dan Simchat Torah. Di dalam area Tembok Barat, terdapat pembatas untuk kaum laki-laki dan perempuan sesuai tradisi Yahudi.
Mereka datang berdoa sambil mengelilingi dan mencium gulungan besar Torah yang diusung. Karena ini moment pertama saya di tempat ini, saya hendak mengabadikannnya dengan mengambil beberapa foto dan video melalui camera handphone. Namun seorang Yahudi datang menegur agar tidak mengambil gambar atau video.
Alasannya, hari Sabbath jadi setiap pengunjung dilarang mengambil foto atau video. Terpaksa saya hanya berdiri menyakskan suasana peribadatan Yahudi di Tembok Ratapan, lalu beranjak keluar mengikuti arah yang sama saat saya masuk. Saya beruntung karena sebelum dicegat, sudah mengambil beberapa foto maupun video.
Serangan roket
Esok paginya, Sabtu, 7 Oktober 2023. Saya bangun pada pukul 06:00 pagi waktu Yerusalem. Mandi, sikat gigi dan berganti pakaian untuk persiapan sarapan. Kamar tempat saya menginap bersama para tamu lainnya berada di basement terbawah. Untuk mengaksesnya perlu menuruni tangga dari ruang atas.
Setelah bersiap, saya menuju ke balkon atas untuk sarapan. Dari luar tampak suasana pagi kota Yerusalem. Matahari baru saja keluar dari peraduannya untuk menunjukan wajahnya. Bersinar cerah menerangi kota Yerusalem yang diselimuti udara pagi nan sejuk dan berhawa dingin bulan Oktober.
Sudah dua hari saya menginap di School Hostel, selepas lima hari sebelumnya saya melewatkan malam di tempat lain. Ini merupakan hari ketujuh saya di Israel. Pagi itu saya bersama puluhan tamu asing dari berbagai negara baru selesai menyantap hidangan pagi yang lezat. Menunya perpaduan khas Timur Tengah dan internasional.
Ada bundelan roti tawar panggang beserta selainya. Buah-buahan, sayuran hijau segar untuk lalapan, daging sapi, telur rebus, sosis, cemilan, dan lain-lain. Minuman yang disediakan berupa jus lemon dingin, teh hijau beserta kopi dan cream. Sarapan ini biasanya tersedia pukul 07:00 hingga 09:00 pagi di ruang atas yang pemandangannya menghadap ke kota tua Yerusalem.
Dari tempat ini kita bisa melihat Masjid Kubah Emas (Dome of the Rock), bukit Zaitun dan bukit Mount Scopus, lokasi dimana kampus tertua Israel, Hebrew University berada. Sehabis sarapan, ditemani secangkir kopi, saya duduk bermalas-malasan di sebuah kursi yang dilengkapi meja berbahan metal dengan bentuk yang unik. Kursi dan meja ini berada di area pelataran depan hostel agar para tamu bisa duduk bersantai.
Saya sungguh menikmati suasana kota Yerusalem dengan temaran cahaya matahari yang menerpa wajah. Udara pagi itu sedikit berhawa dingin. Berselang 15 menit kemudian, suara sirene terdengar keras meraung-raung. Bunyi sirene yang memekakan telinga ini diikuti raungan suara sirene lain di seluruh kota Yerusalem.
Mendengar raungan suara sirene yang bersahutan, saya bersama para tamu internasional yang juga sedang duduk bersantai seketika kebingungan dan panik. Disini ada tamu yang berasal dari Eropa, Asia, Australia, Amerika dan Afrika. Sekitar 10 menit kemudian, di langit-langit kota Yerusalem terdengar bunyi ledakan beruntun dan kepulan asap putih seperti pecahan kembang api. Tanah juga terasa bergetar.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan. Manager hostel, seorang perempuan muda Arab berparas cantik, datang tergesa-tergesa lalu meneriakan kata “berlindung, berlindung, berlindung…..” dalam bahasa Inggris. Dengan suasana panik kami diarahkan untuk berlindung di bawah lantai dasar (basement) hostel.
Sebelum tergesa-gesa turun ke basement, kami melihat suasana jalan Jaffa masih tampak sunyi ditengah raungan suara sirene tanda bahaya. Sepintas ada iringan mobil patroli polisi Israel yang melintas sambil membunyikan sirene dan menyalakan lampu hazard di kepala mobil. Pada sudut lain yang tak jauh dari hostel tempat kami berdiri, terlihat kerumunan orang.
Ternyata ada serangan teror bersenjata di ruas jalan Jaffa. Teror ini bersamaan dengan bunyi sirene yang menyebabkan seluruh kota panik. Saat semua tamu sudah berkumpul di basement, kami diberitahu oleh manager perempuan Arab-Israel Kristen ini bahwa kemungkinan sedang terjadi serangan roket.
Dia belum tahu, kelompok mana atau pihak mana yg melakukan serangan ini. Namun dia mengarahkan kami untuk tidak kemana-mana. Harus tetap berada di basement sambil mengikuti perkembangan informasi mengenai situasi yang terjadi.
Basement hostel ini memiliki sejumlah ruangan yang di dalamnya terdapat tempat tidur bertingkat bagi para tamu untuk menginap. Ruangannya diatur bergaya backpacker internasional. Keseluruhan dinding luar bangunan hostel ini begitu tebal. Ketebalannya tersusun dari batuan bertekstur padat dan keras. Jika ada serangan teror bersenjata, saya yakin tembok ini tidak bisa tertembus peluru.
Ketebalan dindingnya juga tidak mudah dihancurkan bahan peledak berdetonasi kecil dan sedang. Kami selanjutna hanya tetap berdiam di dalam basement dari pagi hingga malam. Karena situasi di luar sedang tidak stabil, kami tidak bisa kemana-mana sejak pagi hingga malam, termasuk mencari makan. Perut saya pun keroncongan.
Untuk mengganjalnya, saya hanya bisa melahap buah pisang dan anggur hijau yang sehari sebelumnya saya beli dari pasar Jaffa. Salah satu pasar tradisional yang paling ramai, super bersih dan teratur di kota Yerusalem. Pasar ini umumnya dikuasai para pedagang Yahudi.
Saya beruntung karena telah diberikan beberapa potong roti tawar kosher ala Yahudi dari seorang tamu. Kami sama-sama menginap di ruangan dengan tempat tidur dua susun. Dia tidur di level bawah dan saya diatas. Namanya Kariel Ben Zion, seorang pria Yahudi Swedia berusia 50 tahunan yang datang ke Yerusalem untuk merayakan Sukkot dan Simchat Torah.
Kariel adalah seorang seniman, pemusik dan conten creator berbakat. Pria ini begitu ramah, santun, cerdas dan bersahaja. Kami telah melewatkan seharian berlindung di basement dengan saling memperkenalkan diri dan berdikusi panjang lebar.
Dia sempat terkejut karena mengetahui saya berasal dari Papua Barat, sebuah wilayah di Pasifik Selatan yang sedang dikolonisasi Indonesia lantaran memiliki hutan tropis nan luas, keindahan dan sumber daya alam yang luar biasa. Kariel mengatakan, dia pernah mengunjungi Australia dan Selandia Baru. Saat itu dia ingin mengunjungi Papua New Guinea dan Papua Barat, tetapi belum sempat. Dia berharap dapat mengunjungi dua wilayah ini kelak.
Malam pun tiba. Disela-sela suasana diskusi, kami mendapat informasi dari media sosial dan berita online bahwa negara Israel sedang diserang habis-habisan oleh kelompok militan Hamas. Di hari itu juga, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu dalam pidatonya yang disiarkan media, menyatakan perang terhadap Hamas.
Yerusalem kota yang memikat
Yerusalem adalah salah satu kota tertua di dunia yang begitu memikat. Kota ini disebut Al-Quds atau Alkudsi oleh orang Arab dan dujuluki kota suci atau rumah suci. Kota ini terletak di dataran tinggi pegunungan Yudea, antara laut Tengah dan laut Mati.
Secara keseluruhan kota Yerusalem memiliki luas 125.156 kilometer persegi. Wilayahnya berbentuk perbukitan bebatuan, area datar dan lembah. Di kota tua Yerusalem yang didalamnnya terdapat warisan situs-situs bersejarah, memiliki luas 0,9 kilometer persegi.
Di sekitar lokasi ini terdapat situs penting seperti bukit bait suci yang sekarang menjadi Masjid Al-Aqsa, Kubah Batu, Tembok Barat, Gereja Makam Kudus dan Makam Taman. Selain telah menjadi ibukota bersejarah kerajaan Israel kuno, kota ini pun telah sejak lama diperebutkan berbagai kekuatan imperium.
Sepanjang sejarahnya, kota Yerusalem pernah dihancurkan sebanyak dua kali, diserang sebanyak 52 kali dan dikepung sebanyak 23 kali. Kota ini pun telah direbut dan direbut kembali 44 kali. Sejak awal abad 19, kota tua Yerusalem dibagi menjadi empat kawasan; Yahudi, Kristen, Armenia dan Islam. Karenanya, kawasan kota tua telah ditetapkan Unesco sebagai salah satu situs warisan dunia oleh lembaga PBB itu.
Kota tua dikelilingi tembok-tembok pembatas nan menjulang. Di atas rangkaian tembok yang mengelilingi kota tua Yerusalem, terdapat deretan menara pengawas yang terkoneksi melalui jalan-jalan koridor. Di masa lalu, tempat ini digunakan para prajurit sebagai spot pemantauan, berjaga-jaga melindungi kota dari serangan musuh. Atau mengawasi kedatangan orang luar.
Di masa sekarang, pada setiap sudut kota tua bisa dijumpai para polisi Israel dengan seragam lengkap dan senjata maupun petugas dinas rahasia selalu berjaga-jaga. Sebab konflik antar etnis Yahudi dan Arab atau antar agama dan denominasi dapat meletus tiap saat.
Tembok-tembok berdinding tebal pelindung kota tua Yerusalem begitu tampak kokoh karena tersusun ketebalan batuan keras berbentuk kotak-kotak. Komposisi batuan ini berwarna putih kecoklatan. Menurut catatan sejarah, bagian kota tua Yerusalem mulai dibangun dan dihuni pada milenium ke 4 sebelum masehi.
Data sensus penduduk pada 2022 menunjukan jumlah penduduk Yerusalem sekitar 971.800 jiwa. Etnis Arab Palestina umumnya (sekitar 61 persen) menempati wilayah Yerusalem timur termasuk kota tua. Sisanya sekitar 39 persen adalah orang Yahudi. Jika kita mengunjungi kota tua Yerusalem, secara kasat mata kawasan ini dihuni orang-orang Arab. Disini para pedagang Arab berjejal menggelar dagangannya di sepanjang lorong-lorong kota tua.
Petualangan yang kelabu
Kota Yerusalem diibaratkan seorang gadis cantik yang sedang menuangkan anggur tua manis ke dalam cawan-cawan antik berisi kalajengking. Cawan-cawan itu disuguhkan hingga membuat para tamu mabuk oleh kenikmatan lalu berkelahi memperebutkan gadis itu. Gadis yang menawan, punya daya pikat. Menggairahkan, tapi dapat mematikan!
Kota Yerusalem dipuja karena punya daya tarik spiritual bagi tiga agama Abrahamaik; Yahudi, Kristen dan Islam. Jalan, pasar hingga gerbang Jaffa adalah perpaduan kawasan yang selalu bersemarak dan sangat tersohor. Kawasan ini menjadi salah satu pusat aktivitas ekonomi dan keramaian di kota Yerusalem. Jalan Jaffa menghubungkan sejumlah ruas jalan di Yerusalem.
Setiap hari jalan ini selalu ramai dilalui warga kota, para turis dan peziarah yang ingin mengunjungi kota tua Yerusalem yang ikonik. Kota yang mewariskan nuansa sejarah era para nabi yang tertulis di kitab-kitab agama Abrahamaik. Secara politik, Yerusalem kini adalah ibukota negara Israel modern sejak 14 Mei 1948 dan segala pengaruhnya.
Yerusalem tidak hanya menyimpan identitas sejarah klasik bani Israel. Kota ini pun terkait dengan seluruh kehidupan, pelayanan, penyaliban, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, tokoh sentral dalam Kekristenan. Di dalam Islam, Yesus Kristus disebut Isa Al Masih bin Siti Maryam. Sementara orang Yahudi Mesianik menyebutnya, Yeshua Ha Masiach.
Sebelum perang Israel-Hamas pecah pada Sabtu pagi, 7 Oktober 2023, saya telah berpetualang seorang diri selama enam hari di Yerusalem. Di kota dan negara ini saya hendak memulai suatu pengalaman baru sebagai calon mahasiswa paska sarjana di kampus tertua Israel, Hebrew University of Jerusalem.
Lokasi utama kampus ini berada di bukit Mount Scopus, Yerusalem. Tidak jauh dari bukit Zaitun, salah satu spot utama yang biasa dikunjungi para peziarah internasional untuk berdoa dan bermeditasi. Sialnya, saat perang pecah, situasi pun berubah. Aktivitas pendidikan dan kampus di Israel dihentikan untuk jangka waktu yang tidak pasti.
Akhirnya upaya saya untuk melanjutkan kuliah terganjal. Saat perang pecah, saya sempat menginap di School Hostel selama 4 hari. Disini saya telah mengirim email ke pihak kampus untuk memberitahukan bahwa saya sedang mengalami kendala sehingga perlu berpindah ke asrama kampus. Selanjutnya saya kemudian diminta pihak kampus untuk berpindah ke apartemen kampus yang terletak di bukit Mount Scopus, Yerusalem. Sebab mereka tidak ingin terjadi sesuatuyang buruk terhadap saya.
Saat berada di asrama dalam situasi perang sudah berlangsung selama hampir 2 bulan, saya hanya bisa pasrah karena tidak bisa kemana-mana. Ruang lingkup aktivitas saya cukup terbatas dalam situasi seperti ini. Mengenai situasi saat terjebak perang sewaktu saya tinggal di asrama akan saya tulis pada bagian yang lain.
Saya bersyukur, akhirnya saya bisa keluar dari Israel saat konflik masih berlangsung di Gaza. Meskipun dua tiket penerbangan saya untuk kembali ke Jakarta, Indonesia, telah batal. Sebab jalur penerbangan sipil melalui bandara Ben Gurion, Tel Aviv, dihentikan lantaran berisiko terkena serangan roket Hamas atau Hizbullah.
Saat itu saya sempat menyaksikan ribuan penumpang terkatung-katung di bandara Ben Gurion, Tel Aviv. Akhirnya banyak yang memilih meninggalkan Israel melalui jalur penyeberangan perbatasan ke Aman, Yordania. Dari negara Arab yang bersahabat baik dengan Israel ini, mereka akhirnya bisa bernapas lega karena dapat menempuh penerbangan pulang ke negaranya.
Negara-negara Eropa, Australia, AS dan beberapa lagi, harus mengerahkan para diplomatnya untuk mengevakuasi warganya dari Israel. Banyak yang kemudian dibantu untuk menyeberangi wilayah perbatasan Israel-Yordania. Tidak hanya itu, sejumlah negara juga menyiapkan penerbangan khusus untuk mengevakuasi warganya melalui Yordania.
Selama perang berlangsung, blok-blok apartemen kampus tempat saya tinggal hampir semuanya telah kosong ditinggalkan penghuninya. Ini terjadi karena saat perang terjadi, sejumlah mahasiswa internasional masih berada di negaranya. Ada yang pulang untuk berlibur, lalu tidak bisa kembali karena terjadi perang.
Sedangkan bagi mahasiswa, dosen dan pegawai kampus yang berwarga negara Israel, sebagian besar telah mendaftarkan diri menjadi pasukan cadangan IDF (reservists). Mereka memilih untuk sementara waktu meninggalkan kampus dan pendidikan guna membela negaranya memerangi Hamas.
Tidak hanya itu, sejumlah pesawat sipil Israel telah melakukan penerbangan khusus untuk mengangkut orang-orang Yahudi dari berbagai negara. Penerbangan ini dikhususkan untuk mengangkut mereka yang bersedia datang ke Israel sebagai pasukan cadangan IDF dan relawan.
Selama tinggal di apartemen kampus, saya diberi kesempatan menempati gedung bernomor 6 yang tingginya 9 lantai. Ada sejumlah blok gedung yang tingginya mencapai 11 dan 12 lantai. Saya ditempatkan di sebuah kamar yang berada di lantai 6. Di dalam apartemen tempat saya tinggal terdapat 4 kamar. Saat saya masuk, semua kamar masih kosong.
Apartemen kampus ini selain memiliki kamar-kamar privat yang nyaman untuk para mahasiswa, terdapat ruang tamu dan dapur bersama. Ruang tamu, toilet, kamar mandi, kulkas dan seluruh ruangan terlihat bersih. Saya begitu bersemangat ketika pertama kali masuk ke apartemen, mengamati seluruh ruangan kemudian memandang ke bawah halaman apartemen.
Blok-blok apartemen mahasiswa Hebrew University ini sepintas terlihat masih baru. Baik bangunannya, ruangan dan fasilitas yang tersedia semuanya memberi kesan modern. Gedung-gedung apartemen kampus ini berjejer diatas bukit Mount Scopus. Halamannya begitu hijau dan asri dihiasi pepohonan rimbun yang ditanam di sisi gedung dan taman yang indah oleh aneka kembang.
Dari atas blok apartamen kami, pemandangan kota Yerusalem dan masjid Kubah Emas (Dome of the Rock) terpampang jelas di pelupuk mata. Meski begitu, situasi perang membuat kami setiap saat selalu bersiaga. Kawasan apartemen ini dijaga secara ketat selama 24 jam oleh para petugas keamanan.
Jika sirene peringatan berbunyi pertanda ada serangan roket, kami yang berada di lantai atas harus bergeges turun ke lantai bawah (basement). Atau berlindung di ruang-ruang tempat perlindungan bom (bomb shelter) yang tersedia di sekitar halaman apartemen.
Ketinggian di bukit Mount Scopus membuat suara dentuman ledakan, rentetan tembakan panzer hinnga raungan suara pesawat tempur Israel yang menggempur militan Hamas terdengar jelas setiap tengah malam. Meskipun jarak Mount Scopus Yerusalem ke Gaza sekitar 75 hingga 80 kilometer. Suasana perang ini membuat saya sempat mtengalamri stres karena terisolasi seorang diri dan kekurangan bahan makanan.
Syukur, situasi sulit ini pun bisa saya tinggalkan. Setelah hampir dua bulan terjebak suasana perang di Yerusalem, Israel, saya akhirnya bisa keluar melalui jalur penerbangan dari bandara Ben Gurion Tel Aviv. Pesawat jenis boeing berbadan besar yang dioperasikan maskapai Etihad, meskipun hanya mengangkut puluhan penumpang dari Tel Aviv, akhirnya bisa mendarat dengan selamat di bandara Abu Dabhi UAE.
Setelah transit selama 8 jam di bandara Abu Dabhi, pesawat akhirnya membawa saya kembali ke Jakarta, Indonesia dengan selamat. Dalam penerbangan ini, hampir seluruh kursi pesawat diisi rombongan penumpang yang pulang dari ibadah haji di Mekah, Arab Saudi. Saat ban pesawat Etihad menyentuh ujung landasan pacu bandara internasional Soekarno-Hatta, pikiran saya pun lega.
Bagaimana tidak, sekelumit stres saat perang Israel-Hamas berlangsung, hingga ketegangan saat pesawat hendak meninggalkan landasan pacu bandara Ben Gurion, Tel Aviv, akhirnya bisa saya lepaskan. Terima kasih Tuhan, saya akhirnya keluar dari Israel untuk sementara waktu. Berharap kembali lagi ketika konflik sudah berakhir. (Julian Haganah Howay)