
Pertemuan Trump-Prabowo di Washington DC (doc' ist)
PADA pertengahan Juli 2025, sebuah kabar datang dari Washington. Donald J. Trump, presiden AS dalam gaya khasnya mengumumkan “kemenangan besar” lewat platform Truth Social.
Ia menyebut keberhasilan mencapai kesepakatan dagang baru dengan Indonesia sebagai bentuk kejayaan Amerika. Tak lama kemudian, nama Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, turut disebut sebagai mitra yang berani mengambil langkah bersejarah.
Namun di balik senyum diplomatik dan angka-angka fantastis yang disodorkan, publik bertanya: siapa sebenarnya yang menang? Apa yang sesungguhnya dipertaruhkan?
Isi kesepakatan ini memang menggiurkan secara kasat mata. AS menurunkan ancaman tarif 32% atas produk Indonesia menjadi 19%. Sebagai imbalannya, Indonesia membuka hampir seluruh akses pasarnya—99% produk AS dibebaskan dari tarif.
Tidak hanya itu, Indonesia juga bersedia membeli produk-produk AS senilai lebih dari 20 miliar dolar: mulai dari pesawat Boeing, energi, hingga hasil pertanian.
Yang membuat alis banyak orang terangkat bukan hanya angka-angka itu, tapi juga komitmen Indonesia dalam dua hal sensitif: dukungan terhadap moratorium perdagangan digital di WTO, dan kemungkinan membuka akses transfer data pribadi warga negaranya ke Amerika Serikat.
Dalam euforia diplomasi dan pemberitaan yang riuh, jarang terdengar suara: apakah ini benar-benar win-win? Atau justru Indonesia sedang melangkah terlalu jauh ke dalam pelukan kekuatan besar?
Ekonomi-Pilitik: Antara Peluang dan Ketergantungan
Bila dilihat sepintas, Indonesia mendapat akses ekspor yang lebih luas, peluang investasi, serta penguatan posisi geopolitik di panggung global. Tapi ada harga yang tak selalu tertulis.
Dengan pembebasan tarif untuk hampir semua produk AS, pasar domestik Indonesia bisa dibanjiri barang impor murah. Petani lokal, produsen kecil, dan UMKM akan kesulitan bersaing. Dalam jangka pendek, konsumen memang bisa menikmati harga lebih rendah.
Tapi jika produsen dalam negeri gulung tikar, siapa yang akan mengisi rak-rak pasar dalam beberapa tahun ke depan?
Indonesia juga berkomitmen membeli produk dari AS dalam jumlah besar. Apakah pembelian itu berdasarkan kebutuhan nasional yang realistis, atau semata tuntutan politik dalam paket kesepakatan?
Lalu jika benar data pribadi masyarakat Indonesia akan dialirkan ke luar negeri, maka pertanyaannya bukan hanya soal ekonomi tapi tentang kedaulatan.
Yang membuat kesepakatan ini lebih rumit adalah konteks dan cara ia dicapai. Tak melalui forum multilateral, tak pula melalui proses panjang. Trump dan Prabowo, dua figur dengan gaya konfrontatif dan militeristik bertemu langsung, bernegosiasi cepat, dan mengumumkan hasilnya dengan penuh percaya diri.
Namun, di kalangan pengamat hubungan internasional, pola seperti ini dikenal dengan istilah ‘diplomasi koersif’ atau diplomasi paksaan.
Amerika Serikat, lewat Trump, awalnya menekan Indonesia dengan ancaman tarif tinggi. Lalu datang dengan tawaran pengurangan tariff, jika Indonesia bersedia mengikuti sejumlah permintaan.
Ini bukan perundingan setara, tapi permainan tekanan. Seperti dijelaskan Alexander George, diplomasi koersif bertujuan memaksa negara sasaran mengubah kebijakan, tanpa perang. Tapi dengan tekanan ekonomi yang sistematis.
Dalam konteks ini, posisi Indonesia bukan mitra, melainkan pihak yang ditekan. Dan yang dipertaruhkan bukan sekadar dagang, tapi prinsip dan arah kebijakan nasional.
Nikel, Data, dan Arah Masa Depan
Amerika sedang berpacu untuk mengamankan pasokan mineral strategis: nikel, tembaga, dan lainnya, untuk kepentingan teknologi hijau dan militer.
Indonesia adalah produsen nikel terbesar dunia: 1,8 juta ton pada 2023, dengan proyeksi lebih dari 2 juta ton pada 2025. Dominasi kita di pasar global melebihi 56%.
Namun ironisnya, keunggulan ini bisa menjadi alat tekan balik bila tidak dikelola dengan cermat. Dalam kesepakatan ini, AS mendapat akses lebih besar terhadap sumber daya Indonesia. Tapi siapa yang mengendalikan nilai tambahnya?
Pemerintah mengklaim bahwa hilirisasi nikel telah meningkatkan nilai ekspor dari Rp 30 triliun menjadi Rp 500 triliun. Tapi apakah masyarakat di sekitar tambang menikmati manfaatnya? Atau justru menderita karena polusi, konflik lahan, dan eksploitasi lingkungan?
Hal yang sama berlaku untuk data pribadi. Jika benar Indonesia membuka peluang transfer data ke luar negeri, ini bisa menjadi pelanggaran terhadap UU Perlindungan Data Pribadi yang disahkan 2022.
Di tengah kekhawatiran global tentang pengawasan digital, kedaulatan data menjadi benteng terakhir privasi warga negara.
Kesepakatan ini punya wajah ganda. Di satu sisi, ada peluang: investasi baru, akses ekspor, pertumbuhan lapangan kerja. Namun di sisi lain, ada ancaman laten: dominasi perusahaan asing, ketergantungan struktural, kerugian bagi petani dan pengusaha lokal.
Produksi nikel Indonesia yang melonjak juga memicu kelebihan pasokan global, menekan harga ke titik terendah dalam lima tahun terakhir. Pemerintah mulai mempertimbangkan pembatasan kuota tambang.
Ketika ekspansi tak terkendali bertabrakan dengan kenyataan pasar, maka masyarakatlah yang menanggung akibatnya.
Sementara itu, penghapusan hambatan non-tarif (seperti standar keselamatan atau inspeksi barang) juga membuka celah: produk murah bisa masuk tanpa pengawasan memadai. Di sektor pertanian, ini ancaman serius bagi ketahanan pangan nasional.
Menimbang Ulang Harga yang Harus Dibayar
Kesepakatan sebesar ini tidak boleh ditelan mentah-mentah. Pemerintah harus transparan, DPR harus kritis, dan publik harus sadar. Kita butuh audit menyeluruh atas isi perjanjian dan mekanisme pelaksanaannya.
Jangan sampai Indonesia sekadar menjadi pasar besar dan lumbung sumber daya bagi kekuatan luar, sementara rakyatnya hanya menjadi penonton. Di sinilah pentingnya menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan kedaulatan, antara kerja sama dan kemerdekaan ekonomi.
Kesepakatan Trump–Prabowo (AS-Indonesia) adalah contoh nyata bagaimana ekonomi, politik, dan geopolitik kini tak bisa dipisahkan. Di permukaannya, ini tampak seperti kerja sama biasa. Tapi jika digali lebih dalam, tampak bahwa kekuasaan, tekanan, dan strategi global tengah bermain.
Pertanyaannya kini bukan lagi “berapa besar manfaatnya,” tapi “apa yang dikorbankan untuk mendapatkannya?”
Dan itu pertanyaan yang harus dijawab bersama oleh negara, oleh masyarakat, dan oleh kita semua yang hidup di dalamnya.
(*) Nikodemus Kambu adalah penulis artikel ini. Dia seorang pensiunan guru SMA yang tinggal di Amban Manokwari, Papua Barat dan ketua Yayasan Wion Susai Papua.