
Potensi bahari wilayah Rumberpoon di Teluk Wondama (doc: Ichon/KDC)
Manokwari, Papua Barat – Layar-layar perahu, speedboat dan kapal pesiar internasional kini tak perlu lagi berkibar kencang menuju Raja Ampat. Sebab, di Manokwari, sebuah narasi baru sedang ditulis di atas permukaan air Teluk Doreri yang tenang, menjanjikan petualangan yang tidak hanya memanjakan mata, tetapi juga membangkitkan kesadaran ekologis.
Inilah Papua Barat Journey 2025, sebuah ekspedisi yang melampaui batas pariwisata, menghubungkan kedalaman laut yang menyimpan sejarah kelam dengan puncak Pegunungan Arfak yang hening.
Di tengah hiruk-pikuk destinasi yang dikomersialkan, Papua Barat Journey 2025, yang digagas Ketapang Dive Community (KDC) Kwawi, Manokwari dan Rekam Dive Academy yang berbasis di Bogor Jawa Barat, hadir sebagai sebuah pernyataan.
Ini adalah janji untuk menawarkan wilayah Papua Barat sebagai ruang hidup yang utuh. Bukan sekadar panggung hiburan sementara yang siap dipanggungkan tanpa peduli pada eksistensi masyarakat adat dan tantangan yang dihadapi.
Bayangkan sebuah kedalaman yang sunyi, di mana waktu seolah membeku. Di dasar Teluk Doreri, Manokwari, terbaring sunyi bangkai-bangkai kapal karam dari era Perang Dunia II, kini diselimuti terumbu karang yang tumbuh liar.
Besi-besi tua itu telah bertransformasi menjadi taman bawah laut yang menarik, sebuah museum sejarah yang hanya bisa disaksikan oleh mata penyelam.
“Menggabungkan wisata bawah laut dengan pengetahuan sejarah memberikan pengalaman ganda: menyelam sekaligus menelusuri catatan masa lalu,” demikian deskripsi yang mengalir dalam semangat ekspedisi Papua Barat Journey 2025 ini.
Namun, keindahan itu datang dengan kerentanan. Teluk Doreri misalnya, menjadi potret betapa rapuhnya ekosistem yang terus dijaga dari arus wisata tak terkendali. Karena itu, KDC tidak hanya membawa turis, melainkan peserta.
Alexander Sitanala atau yang sering disapa Ichon, koordinator KDC Kwawi Manokwari, menjelaskan, esensi ekspedisi ini adalah konservasi yang berakar pada masyarakat adat. “Papua Barat Journey 2025 diinisiasi oleh Ketapang Dive Community dan Rekam Dive Academy, dengan misi besar membuka pesona bahari di Papua Barat agar lebih dikenal|,” ujarnya saat ditemui di markas KDC di Kwawi, Manokwari, Senin (29/9).
“Selain itu, kami juga ingin merangkul masyarakat adat sebagai fondasi utama tanpa merusak alam dan tatanan adat yang sudah terbentuk dan masih terjaga hingga saat ini”.
Wisatawan nasional dan internasional yang hadir dalam journey ini akan diajak terlibat dalam aksi nyata, mulai dari transplantasi karang hingga melepaskan tukik kecil ke ombak pertama dalam hidupnya. Dengan begitu, mereka pulang tidak hanya membawa foto, tetapi juga kesadaran dan keterlibatan emosional.
Dari Air Asin ke Udara Dingin Arfak
Perjalanan selanjutnya dari pesisir Kota Manokwari akan menanjak ke Pegunungan Arfak. Meninggalkan aroma garam laut, menuju pelukan dingin kawasan cagar alam yang menyimpan potensi keanekaragaman hayati yang luar biasa.
Di Pegunungan Arfak, udara menjadi tipis dan langit tampak lebih dekat. Burung-burung endemik, sebagian besar hanya bisa ditemukan di Papua, menyanyikan melodi yang memanggil para pengamat satwa dari seluruh penjuru dunia.
Di lereng-lereng Arfak, terhampar Kampung Kwau, sebuah desa yang bersiap menyambut dengan rumah kayu dan cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun. Interaksi dengan masyarakat adat di Kwau bukanlah atraksi artifisial, melainkan sebuah pertukaran. Masyarakat hadir sebagai tuan rumah yang menunjukkan cara mereka hidup selaras dengan rimba.
Ekspedisi yang akan berlangsung pada 11–19 November 2025 ini bertujuan membentuk jalur wisata baru yang berkelanjutan. Sebuah langkah korektif setelah belajar dari nasib destinasi besar lainnya.
Papua Barat telah kehilangan Raja Ampat yang kini masuk di wilayah Provinsi Papua Barat Daya. “Jadi melalui Papua Barat Journey 2025, kami berupaya memperkenalkan spot wisata baru yang tidak kalah indahnya, dengan keunikan budaya masyarakat, seperti di Teluk Doreri dan Teluk Wondama,” tambah Alexander Sitanala, menyiratkan keresahan atas potensi kerusakan yang mengintai destinasi primadona.
Rangkaian perjalanan dari ekspedisi Papua Barat Journey 2025 akan memadukan petualangan, konservasi laut, dan pengalaman budaya otentik. Selanjutnya diakhiri dengan pelayaran menuju Teluk Wondama, kawasan yang akan menyambut peserta dengan upacara adat autentik dan titik-titik penyelaman unggulan.
Visi besar KDC adalah menjadikan Papua Barat sebagai destinasi kelas dunia yang berakar pada identitas budaya serta harmoni dengan alam. Untuk mewujudkan ini, mereka telah memulai kegiatan awal berupa survei dan pelatihan bagi masyarakat adat.
Pelatihan ini mencakup training pemandu wisata selam dan konservasi laut, hingga pelatihan pertanian dan agrowisata untuk memperkuat kemandirian lokal. Melalui perjalanan ini, Papua Barat dihadirkan bukan sekadar destinasi yang bisa dinikmati, melainkan ruang hidup yang kaya akan budaya, sejarah, dan keanekaragaman hayati.
Papua Barat Journey 2025 diharapkan menjadi bagian dari simbol pariwisata berkelanjutan di Tanah Papua. Sebuah narasi yang menawarkan penyembuhan bagi alam dan pemberdayaan bagi manusianya.
Ini adalah bisikan alam Papua, pantai, laut, gunung, hutan, lembah, sungai dan danau yang mendesak untuk dijaga, dan panggilan yang meminta untuk didengarkan.
Warisan yang Dibangun di Atas Kolaborasi
Wilayah Papua Barat menyimpan potensi alam yang luar biasa: laut yang kaya dan pegunungan yang menyimpan potensi biodiversitas. Laut menyediakan sumber protein dan mata pencaharian nelayan, sedangkan pegunungan menjadi ladang pangan dan ekowisata bagi warga di dataran tinggi.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa memetik manfaat langsung dari keanekaragaman alam ini bukan tanpa tantangan sosial, infrastruktur, dan pengakuan hak masyarakat adat.
Di sektor perikanan misalnya, penelitian menunjukkan bahwa distribusi produksi masih tidak merata. “Distribusi produksi perikanan yang tidak merata berdampak pada asupan protein ikan, terutama di wilayah pedalaman yang tidak berbatasan langsung dengan laut,” tulis Igya Ser Hanjop: Jurnal Pembangunan Berkelanjutan (2024).
Di wilayah ini, masyarakat pesisir sering menikmati hasil laut dengan relatif mudah, sementara masyarakat pedalaman kesulitan mengaksesnya. Sedangkan di dataran tinggi, Kabupaten Pegunungan Arfak menjadi contoh nyata produktivitas pertanian.
Potensi wisata alam di Pegunungan Arfak juga diakui dunia. Selain cocok untuk pengembangan agro holtikultura, peluang ekowisata dengan udara sejuk, budaya lokal, dan pemandangan alam yang menarik juga sangat menjanjikan. Hanya saja, potensi ini belum dikelola maksimal.
Di sisi bahari, potensi yang terdapat di area pesisir Manokwari hingga Rumberpon di Teluk Wondama menyimpan potensi spot ekowisata berbasis masyarakat adat.
Meski punya potensi besar, hambatan struktural nyata. Infrastruktur jalan, akses transportasi ke pelabuhan atau pasar masih lemah. Belum lagi soal fasilitas pendukung untuk ekowisata berbasis masyarakat adat. Di kawasan pegunungan, logistic dan akses distribusi menjadi kendala utama.
Masih ada daerah yang sulit diakses komunikasi, sehingga hasil panen dan tangkapan laut sulit sampai ke pusat konsumsi atau eksport. Yang paling penting adalah pengakuan dan pelibatan masyarakat adat sebagai aktor utama pengelolaan potensi.
Tanah adat, hak ulayat, dan mekanisme keikutsertaan dalam promosi ekowisata dan proyek pembangunan, harus diutamakan agar manfaat tidak terpusat hanya pada investor besar atau elit. Tanpa itu, potensi alam bisa menjadi sumber konflik dan ketimpangan.
Dengan laut dan pegunungan sebagai pangkalan kekayaan, Papua Barat memiliki modal alam yang luar biasa. Tapi modal itu hanya akan bermakna ketika dikelola adil, kolaboratif, dan berkelanjutan.
Jika tidak, potensi itu justru bisa meninggalkan luka, bukan keberdayaan bagi masyarakat adat yang hidup bersentuhan langsung dengan alam. (Julian Haganah Howay)