
Penertiban tambang emas ilegal di Kwoor, Tambrauw (doc : Antara)
DI lereng-lereng hijau Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, angin pegunungan membawa aroma tanah basah dan dedaunan segar yang telah menjadi ciri khas wilayah ini selama berabad-abad.
Tambrauw, yang dideklarasikan sebagai kabupaten konservasi pada 2011 melalui Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2018, adalah surga bagi keanekaragaman hayati.
Wilayah ini merupakah rumah bagi lebih dari 1.253 spesies flora, termasuk 210 spesies endemik seperti Agathis labillardieri dan Nepenthes maxima yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2018.
Di sini, hutan primer yang luas, salah satu blok hutan terbesar di Asia Tenggara, menyimpan kehidupan liar seperti kanguru pohon ikonik (Dendrolagus matschiei) dan echidna berparuh panjang (Zaglosus bruijnii), serta ratusan burung endemik seperti burung pintar (Amblyornis inornatus) yang membangun sarang rumitnya dari ranting dan lumut.
Wilayah Tambrauw bukan hanya penyangga karbon global, menyerap CO2 dalam jumlah besar berkat tutupan hutannya yang mencapai 70% dari luas kabupaten seluas 11.529 km², tetapi juga sumber kehidupan bagi masyarakat adat yang bergantung pada sago, berburu, dan pertanian subsisten.
Ekspedisi LIPI tahun 2019 mengungkapkan bahwa hutan Tambrauw berada dalam fase klimaks, kaya akan ekosistem unik seperti padang rumput Lembah Kebar yang menjadi habitat lebah endemik sebagai agen pengendali hama alami.
Namun, di balik keindahan itu, bayang-bayang kegelapan mulai merayap sejak awal 2023, ketika suara gemuruh mesin dan ledakan menggema dari Distrik Kwoor, merobek kain hijau yang rapuh itu dan mengancam spesies endemik seperti cenderawasih (Paradisaea raggiana) serta penyu belimbing yang bergantung pada habitat pantai dan hutan lindung.
Bayangkan seorang anak kecil di Kampung Kwor, yang dulu bermain di tepi sungai jernih, kini melihat airnya berubah menjadi lumpur beracun. Penambang emas ilegal, datang dari luar daerah seperti yang terungkap dalam penangkapan tiga pelaku asal Sulawesi Utara pada September 2023 oleh Polres Tambrauw.
Para penambang illegal ini telah merusak hutan dan menggali tanah suci itu tanpa izin, hanya beberapa kilometer dari perumahan warga di Kampung Kwor, Barar, dan Orwen.
Mereka bukan penambang biasa; operasi mereka brutal, menggunakan alat berat seperti ekskavator yang merobek hutan dan meninggalkan lubang-lubang raksasa yang menelan lahan pertanian, gereja, rumah penduduk, bahkan gedung sekolah.
Seorang warga Kampung Kwor, yang enggan disebut namanya, menggambarkan pemandangan itu seperti “luka terbuka di tubuh bumi,” di mana air sungai yang dulu jernih kini keruh oleh lumpur dan residu merkuri, zat kimia beracun yang digunakan untuk mengekstrak emas.
Dampaknya langsung terasa: satwa liar kehilangan habitat, burung endemik seperti Gerygone magnirostris hypoxantha yang bergantung pada kanopi hutan kini terancam punah, dan masyarakat adat yang telah hidup harmonis dengan alam dari generasi ke generasi, kehilangan sumber mata pencaharian mereka.
Anak-anak di kampung-kampung itu tak lagi bisa bermain bebas, sementara orang tua mereka khawatir air minum tercemar, berisiko menyebabkan masalah kesehatan seperti keracunan merkuri yang kronis, mirip kasus di wilayah pertambangan ilegal lainnya di Indonesia.
Di Distrik Kwoor, aktivitas ini merambah hingga 15 titik lokasi aktif, mencakup area permukiman dan fasilitas umum, menyebabkan sedimentasi sungai yang memicu banjir dan longsor, seperti yang dilaporkan warga kepada media. Bahkan, ASN setempat diduga terlibat, memperburuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
Emas Kwoor dan Degradasi Hutan
Cerita ini bukan sekadar tragedi lokal. Tapi mencerminkan pola yang lebih luas di Indonesia, negara dengan cadangan emas terbesar kelima dunia, dengan estimasi 2.600 ton atau 5% dari total global menurut data United States Geological Survey 2020 yang diproses Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Penambangan emas skala kecil dan ilegal (ASGM) telah merajalela di lebih dari 30 provinsi, menyumbang hingga 130 ton emas per tahun. Tapi dengan biaya lingkungan yang mengerikan.
Studi dari International Journal of Environmental Research and Public Health menyoroti bagaimana ASGM di Indonesia sering melibatkan merkuri, yang tidak hanya mencemari air dan tanah tetapi juga mengancam kesehatan manusia, menyebabkan kerusakan saraf dan gangguan reproduksi.
Di Tambrauw, operasi ilegal ini dimulai pada Januari 2023, tepat saat harga emas dunia melonjak ke rekor tertinggi mencapai US$2.000 per ounce, telah mendorong gelombang “demam emas” yang mengabaikan regulasi.
Penambang, termasuk lima warga asing yang ditangkap Polisi Papua Barat pada 2023, meninggalkan jejak deforestasi yang setara dengan hilangnya 20-30 hektar hutan primer per bulan di wilayah serupa, menurut laporan Mongabay.
Di Distrik Kwoor, dampaknya lebih parah: sungai-sungai lokal seperti yang mengalir ke Kampung Orwen kini tercemar. Menyebabkan sedimentasi yang memicu banjir dan longsor, seperti yang dilaporkan warga kepada Lembaga Masyarakat Adat Tambrauw (LEMATA).
Analisis dari Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa deforestasi akibat tambang ilegal di Papua Barat mencapai ribuan hektar, dengan Tambrauw sebagai salah satu hotspot baru. Situasi ini telah mengancam spesies endemik seperti Rhododendron sri-mulyaniae, bunga merah cantik yang baru ditemukan di Tambrauw dan menjadi simbol kerapuhan ekosistem.
Secara nasional, aktivitas tambang ilegal telah menghilangkan 721.000 hektar hutan antara 2001-2023, termasuk 150.000 hektar hutan primer berkarbon tinggi, menurut TreeMap 2024. Di Papua, deforestasi tahunan mencapai 0,94% pada 1994-2000, naik menjadi 1,88% pada 2010-2019, didorong oleh tambang ilegal dan pembalakan liar.
Kritik terhadap penambangan ini meledak seperti api di semak belukar. Masyarakat adat, pemuda, dan intelektual setempat menyuarakan kemarahan mereka melalui media massa.
Media lokal seperti Jubi dan Tribunpapuabarat.com menjadi saksi berita viral yang menyoroti bagaimana penambang merusak area dekat fasilitas umum, memicu demonstrasi warga yang memasang plang larangan dan memblokir akses.
Karena itu LEMATA telah mendesak pemerintah daerah, Polda Papua Barat Daya, dan Kodam XVIII Kasuari untuk bertindak tegas. Menekankan bahwa Tambrauw dengan luas 11.529 km² yang 70% adalah hutan lindung, adalah kawasan konservasi yang tak boleh disentuh.
Warga telah melaporkan dua kali ke Polsek Sausapour, tapi respons awal yang lambat membuat mereka merasa ditinggalkan. Ini mencerminkan apatisme yang sering dialami komunitas adat di Papua.
Akhirnya, pada Maret 2023, pemerintah kabupaten bersama aparat keamanan bergerak. Polres Tambrauw menangkap tiga penambang utama, menyita 4 gram emas dan mesin alkon, serta menyegel lokasi.
Tersangka terancam denda Rp100 miliar dan hukuman 5 tahun penjara berdasarkan Undang-Undang Minerba. Namun, operasi serupa terus bermunculan; pada 2024, tiga terdakwa di Kali Kasi, Distrik Kasi, dituntut 2 tahun 6 bulan penjara karena penambangan tanpa izin.
Sampai 2025, Polda Papua Barat telah menangani 27 perkara tambang ilegal sejak 2020, termasuk 10 kasus pada 2024-2025, meski dugaan bekingan dan keterlibatan oknum masih menjadi sorotan.
Mantan Bupati Tambrauw, Gabriel Asem, bahkan mendukung tindakan polisi, menekankan bahwa aktivitas ini merusak lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat.
Di tingkat nasional, sanksi pidana untuk tambang ilegal masih dianggap ringan oleh pengamat seperti Fahmy Radhi dari UGM, yang menyerukan penegak hukum yang lebih kuat.
Meski operasi berhenti di Kwoor sejak Maret 2023, luka yang ditinggalkan tetap menganga. Lubang galian raksasa, pencemaran tanah dengan merkuri yang bisa bertahan puluhan tahun, dan penggundulan hutan telah mengubah ekosistem selamanya.
Sebuah studi terbaru dari Journal of Environmental Management menunjukkan bahwa hutan rusak akibat tambang emas ilegal jarang pulih sepenuhnya. Revegetasi hanya berhasil 30-50% tanpa intervensi intensif, karena tanah menjadi asam dan kehilangan nutrisi.
Di Tambrauw, spesies endemik seperti wallaby hutan (Dorcopsis sp.) dan cuscus utara (Phalanger orientalis) kini terancam, dengan deforestasi yang bisa meningkatkan emisi karbon hingga 10-15% di wilayah pegunungan.
Masyarakat merasakan dampak sosial: kehilangan lahan pertanian berarti kelaparan potensial, dan air tercemar mengancam kesehatan generasi mendatang. Ini luka yang dirasakan bukan hanya kita, tapi anak cucu kita juga.
Harga emas yang melambung justru memperburuk ironi: sementara pasar global meraup untung, lingkungan lokal hancur.
Di Desa Sungai Telang, Jambi, kasus serupa menunjukkan sungai Batang Bungo keruh dan berlumpur, merusak 3.642 hektar hutan lindung pada akhir 2023, menurut Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi.
Di Kalimantan, hutan dan sungai tercemar, menyebabkan gagal panen di 40-50 hektar sawah, mirip ancaman di Kwoor di mana longsor dan banjir mengancam permukiman.
Di Papua Barat, tambang ilegal di Manokwari saja merugikan Rp375 miliar per tahun, dengan sedimentasi dan pencemaran merkuri yang mengganggu sungai dan pertanian.
Secara lebih luas, WALHI Papua telah mengecam eksplorasi skala besar yang merusak hutan adat, termasuk habitat ribuan spesies endemik yang menjaga kestabilan suhu nasional.
Di Kwoor, Tambrauw, lumpur emas bahkan menggenangi halaman pos pelayanan masyarakat, menunjukkan kerusakan langsung pada infrastruktur.
Upaya Rehabilitasi Lahan
Dasar hukum untuk pemulihan jelas. Pasal 9 ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” yang menjadi fondasi hak konstitusional warga Tambrauw.
Undang-undang ini, yang disahkan pada 23 September 1999, menekankan bahwa hak atas lingkungan adalah bagian integral dari hak hidup, dan pelanggaran seperti penambangan ilegal harus dikompensasi secara adil.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) mewajibkan pemegang izin melakukan reklamasi dan pasca-tambang, meski untuk operasi ilegal, tanggung jawab jatuh ke pemerintah daerah.
Revisi terbaru melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 memperkuat ini dengan menambahkan konsep Wilayah Hukum Pertambangan, kewenangan pengelolaan, dan rencana pengelolaan mineral, serta mewajibkan IUP dan IUPK mencapai reklamasi dan pasca-tambang 100% sukses.
Pasal 96 UU ini menggunakan frasa “and/or” untuk fleksibilitas reklamasi atau pasca-tambang, sementara Pasal 169A menjamin kompensasi, meski sanksi pidana untuk ilegalitas masih perlu diperkuat.
Di tingkat provinsi, Gubernur Papua Barat Daya Dominggus Mandacan melalui jajarannya telah menyusun peraturan untuk melegalkan pertambangan skala kecil guna mencegah ilegalitas. Tapi ini tak menjawab kebutuhan rehabilitasi mendesak.
Pedoman Pemulihan Lahan Akses Terbuka dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menekankan revegetasi untuk memulihkan ekosistem, termasuk penanaman tanaman kehutanan, perkebunan, atau pangan, serta pengelolaan limbah merkuri dan sianida dengan metode penyerapan.
Revisi UU Minerba 2025 bertujuan memberikan kepastian hukum dan memperkuat tata kelola, termasuk transformasi industri pasca-tambang.
Upaya rehabilitasi lahan bekas tambang emas ilegal di Kwoor harus menjadi prioritas Pemerintah Daerah Tambrauw melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Meski menantang karena tanah bekas tambang sering dianggap “tidak bisa dimanfaatkan kembali” akibat kontaminasi, contoh sukses dari Indonesia menunjukkan jalan keluar.
Di Tambang Emas Martabe, Sumatera Utara, yang dikelola PT Agincourt Resources, reklamasi progresif telah berhasil mereboisasi 622 hektar lahan pasca-tambang dengan menanam spesies lokal, mengembalikan 70% biodiversitas dalam 5 tahun.
Pendekatan ini melibatkan penggantian tanah permukaan, penanaman skema khusus, dan keterlibatan masyarakat, mirip rekomendasi dari Best Practices of Mine Rehabilitation yang mencakup kasus PT Kelian Equatorial Mining di Kalimantan.
Di Papua sendiri, lahan pasca-tambang Grasberg oleh Freeport telah direhabilitasi menjadi pusat riset ekologis, memanfaatkan lokasi untuk edukasi tanpa menambah kerusakan.
Seperti yang diusulkan dalam studi Jurnal Sains dan Seni ITS; PT Freeport Indonesia (PTFI) telah merevegetasi 378 hektar lahan terganggu hingga 2018, termasuk suksesi alami yang memungkinkan 500 spesies tanaman kolonisasi secara mandiri. Meski tantangan seperti suhu ekstrem dan tanah miskin hara memerlukan adaptasi khusus.
Di Sulawesi Selatan, PT Vale Indonesia menggunakan backfilling untuk memulihkan Blok Sorowako, mengubah lahan bekas tambang nikel menjadi hutan endemik dengan nursery 2,5 hektar yang memproduksi 700.000 bibit per tahun.
Lebih dekat, di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, PT GAG Nikel menerapkan rehabilitasi holistik pada lahan bekas tambang nikel, mengubahnya menjadi kawasan hijau dengan reklamasi 30-50% luas area. Termasuk penanaman mangrove dan restorasi ekosistem laut untuk menyelamatkan biodiversitas yang terancam.
Di Bangka Belitung, rehabilitasi BPDAS Baturusa menggunakan teknologi kompos blok untuk memulihkan lahan bekas tambang timah, mengubah tanah gersang menjadi produktif. Di Aceh, program “Generasi Emas” melibatkan remaja menanam pohon untuk memulihkan hutan lindung yang dirusak tambang ilegal, mencegah deforestasi dan bencana seperti longsor.
Untuk Kwoor, langkah konkret bisa dimulai dengan menambal lubang galian menggunakan tanah organik dan kapur untuk menetralkan keasaman. Diikuti revegetasi dengan tanaman pionir seperti akasia dan rumput vetiver yang tahan kontaminasi, sebelum ditanami spesies endemik seperti Intsia palembanica.
Studi dari Journal of Land and Environment Journal menyarankan integrasi arbuscular mycorrhiza. jamur simbiotik alami untuk mempercepat pemulihan tanah bekas tambang emas artisanal di Lombok Barat, yang bisa diterapkan di Tambrauw untuk meningkatkan kesuburan hingga 40%.
Di Papua Barat Daya, rehabilitasi holistik di Pulau Gag menunjukkan keberhasilan memulihkan ekosistem nikel dengan pendekatan terintegrasi, bukan sekadar penanaman pohon.
Lebih lanjut, program geoturisme berkelanjutan seperti yang diusulkan di Sulawesi bisa mengubah lahan pasca-tambang menjadi aset ekonomi. Dengan jejak tambang sebagai situs edukasi tentang konservasi, sambil melibatkan masyarakat dalam budidaya tanaman bernilai tinggi seperti pala atau cengkeh.
Pemerintah harus mengandeng masyarakat adat dalam perencanaan, memberikan pelatihan budidaya, dan dana dari APBD atau hibah internasional seperti dari UNDP’s GOLD-ISMIA project yang melatih 30.000 penambang di Indonesia untuk praktik ramah lingkungan.
Di tingkat lokal, Pemprov Papua Barat berencana melegalkan tambang emas yang dikelola masyarakat untuk mengurangi ilegalitas, sambil memastikan rehabilitasi. Namun, tantangan seperti medan sulit dan kurangnya pengawasan tetap ada, seperti yang dialami di Manokwari di mana tambang ilegal terus marak meski ada penertiban.
Di balik ketamakan manusia yang tak kenal puas, kisah Tambrauw adalah panggilan untuk bertindak. Sudah saatnya kita berhenti merusak alam dan mulai memberi hadiah balik: menanam pohon untuk menyembuhkan luka, memulihkan ekosistem, dan menjaga warisan untuk anak cucu.
Seperti yang ditegaskan dalam Deklarasi Manokwari 2018, komitmen konservasi 70% hutan Papua harus diwujudkan, bukan hanya di atas kertas.
Dengan kolaborasi pemerintah, masyarakat, dan pakar, lahan bekas tambang di Kwoor bisa bangkit bukan sebagai bekas luka, tapi sebagai simbol harapan bagi kabupaten konservasi yang bangga.
Jika upaya ini gagal, bukan hanya Tambrauw yang rugi; seluruh Papua Barat, dengan kerugian ekonomi hingga Rp375 miliar per tahun dari tambang ilegal di Manokwari saja, akan merasakan nestapa yang lebih dalam.
Di tengah longsor mematikan seperti yang menewaskan satu orang dan menghilangkan 19 orang di Pegunungan Arfak pada 2025, kita harus bertindak sekarang, sebelum emas yang dicari justru menjadi kutukan abadi.
(*) Faram Bame adalah penulis artikel ini. Dia adalah aktivis Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP).