Masyarakat adat Moi Sigin bertekad menolak kehadiran PSN di wilayah mereka selepas Musyawarah Adat (doc: MA Moi Sigin)
Sorong, Papua Barat Daya – Sore itu, di tengah udara hangat dan debu merah khas Distrik Moi Segen, puluhan perwakilan masyarakat adat Moi berkumpul dalam sebuah musyawarah adat yang digelar.
Di dalam sebuah ruangan sederhana, mereka berbicara tentang tanah, hutan, dan masa depan anak cucu mereka yang semakin terancam. Musyawarah ini bukan sekadar pertemuan biasa.
Ini adalah suara kolektif dari masyarakat Moi Sub Suku Sigin yang menolak keras kehadiran Proyek Strategis Nasional (PSN) berbasis perkebunan kelapa sawit milik PT Fajar Surya Persada.
“Kami tidak butuh sawit. Kami butuh dusun sagu kami kembali.” seru Yakub Klagilit, pemuda adat yang kesal oleh kehadiran perusahaan perusak hutan di tanah adat mereka.
Ia menerawang mengenang hari dimana dusun sagunya digusur pada Desember 2023, tepat saat mereka merayakan Natal. “Perusahaan masuk tanpa persetujuan. Dusun sagu kami hilang. Sampai hari ini tidak ada pemulihan,” ucapnya kesal.
Musyawarah yang difasilitasi oleh Dewan Adat Suku Moi di Distrik Moi Segen ini juga dihadiri oleh Ketua LMA Malamoi, Silas Kalami, dan sejumlah tokoh adat lainnya.
Mereka secara tegas menolak kehadiran PSN kelapa sawit baru yang berencana membuka perkebunan besar-besaran beserta industri pengolahan di wilayah adat Moi. Penolakan ini tentu bukan tanpa alasan.
Luka Lama Belum Sembuh, Luka Baru Mengancam
Sejak tahun 2007, PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ) telah lebih dahulu beroperasi di wilayah Distrik Moi Segen dengan membabat hutan seluas 36.300 hektar untuk lahan sawit.
Alih-alih membawa kesejahteraan, perusahaan ini justru meninggalkan jejak luka ekologis dan sosial bagi masyarakat adat. Raymon Klagilit, salah satu tokoh pemuda adat yang vokal dalam musyawarah itu, menyebut bahwa masyarakat tidak pernah merasakan dampak positif dari kehadiran perusahaan.
“Kami tidak pernah sejahtera. Yang ada utang dan kehancuran. Ratusan masyarakat adat kini memiliki utang hingga miliaran rupiah karena pengelolaan plasma yang buruk dan tidak transparan,” keluh Raymon.
Skema kemitraan plasma 20% yang seharusnya menjadi hak masyarakat adat, tidak dikelola dengan baik. Bahkan laporan keuangan dan pembagian hasil tidak pernah disampaikan secara terbuka.
Padahal menurut Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017, masyarakat hukum adat Moi memiliki hak atas pengakuan, perlindungan, dan penghormatan atas wilayah adat mereka.
Namun regulasi ini seolah tak berlaku di lapangan. Perusahaan terus beroperasi tanpa persetujuan (free, prior and informed consent) dari masyarakat adat dan tanpa akuntabilitas.
“Hukum adat kami tidak dihormati. Perda tidak digubris. Hutan habis, sagu hilang, kami yang menderita.” ujar Sadrak Klawen, Sekretaris Dewan Adat Distrik Moi Segen.
Kapitalis Perkebunan: Hutan Hancur, Masyarakat Adat Tergusur
Guna mendukung program hilirisasi Pemerintah Indonesia untuk ketahanan pangan dan energi berbasis kelapa sawit yang terintegrasi dengan industri biodiesel, beberapa perusahaan swasta nasional milik para oligarki telah berinvestasi di industri pangan terpadu.
Pengembangan proyek tersebut terkuak melalui surat dari PT. Fajar Surya Persada (FSP) Group yang ditujukan kepada Elisa Kambu, selaku Gubernur Papua Barat Daya, tertanggal 27 Maret 2025, bernomor 002/FSP-JKT/III.2025.
Surat itu memuat permohonan dukungan pembangunan industri pangan terpadu berbasis kelapa sawit sebagai Proyek Stategis Nasional (PSN). Proyek yang direncanakan menghasilkan produk turunan minyak sawit (margarin, minyak nabati, dan lain-lain) ini bernilai kurang lebih 24 triliun,
Sementara lahan masyarakat adat Papua yang akan dirampas untuk proyek ini seluas kurang lebih 98.824.97 hektar. Dengan uraian, PT. FSP akan menggarap lahan seluas 176.34 hektar, diperuntukan sebagai pusat industri pangan terpadu berbasis pengolahan kelapa sawit.
Proyek ini menggunakan sistem konsorsum yang melibatkan 5 perusahaan sawit lain. Diantaranya, PT Inti Kebun Sawit dengan luas lahan 18.425.78 hektar, PT. Inti Kebun Sejahtera (14.307.91 hektar), PT. Sorong Glonal Lestari (12.115.43 hektar), PT. Omi Makmur Subur (40.000 hektar), dan PT. Graha Agrindo Nusantara (13.799.51 hektar).
Agar proyek ambisius ini berjalan mulus, Pemerintah Indonesia telah memasukkannya dalam daftar PSN. Dengan begitu, proyek bisa dipercepat dan dilindungi negara.
Namun, dalam praktiknya, status PSN ini kerap menjadi alat penyingkiran hak-hak masyarakat adat di Papua dan daerah-daerah lainnya di Indonesia timur. Pelaksanaan PSN pun akan membabat hutan tropis yang menjadi basis kehidupan masyarakat adat sekitar.
“Mereka gunakan pendekatan kawasan karena berada dalam satu pemilik dan kawasan. Ini karakter PSN, oligopoli dan konsolidasi ekonomi,” ujar Franky Samperante dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.
Menurutnya, kapitalis sektor perkebunan yang merusak hutan dan menggusur masyarakat adat, terus berubah dalam konsep dan strategi agar lebih kuat dan meluas. “Tong masyarakat adat mau melawan atau baku gigi takaruang, dong jalan terus”.
Sejumlah aktivis lingkungan mensinyalir, aktor dibalik implementasi PSN di Sorong dan Tambrauw (Papua Barat Daya) maupun Merauke (Papua Selatan), pemain utamanya cuma satu: Fangiono family.
Menolak Tanah Adat Jadi Target PSN
Kini, PSN milik PT Fajar Surya Persada berencana membuka investasi baru di wilayah adat Moi, Kabupaten Sorong. Jika proyek ini dilanjutkan, bukan hanya dusun sagu yang akan hilang, tapi seluruh ekosistem dan kebudayaan masyarakat adat akan ikut terkikis.
Musyawarah adat pun dilakukan untuk menyikapi situasi ini. Pada 4 Juli 2025 ditutup dengan pembacaan pernyataan sikap masyarakat adat Moi Sub Suku Sigin yang menyatakan:
“Kami menolak kehadiran PT Fajar Surya Persada di wilayah adat kami. Kami tidak ingin lagi kehilangan tanah, hutan, dan masa depan kami.”
Penolakan ini bukan hanya reaksi emosional. Tapi juga bentuk perlawanan yang berdasarkan hak konstitusional, hukum internasional, dan hukum adat yang telah mereka jaga turun-temurun.
Masyarakat adat Moi Sigin mengingatkan bahwa tanah bukan sekadar aset ekonomi, tetapi tubuh kehidupan mereka. Hutan bukan komoditas, tapi roh dari sejarah dan keberlangsungan mereka.
Apa yang terjadi di Moi Segen adalah potret nyata kegagalan negara dalam melindungi rakyat kecil di tengah euforia pembangunan dan investasi. Jika negara terus memaksakan proyek-proyek strategis tanpa menghargai hak masyarakat adat, maka bukan hanya alam Papua yang akan punah, tetapi juga kepercayaan rakyat terhadap negara.
Raymon Klagilit menutup musyawarah itu dengan suara lantang: “Jika negara tidak menghentikan perusahaan-perusahaan ini, maka kami akan menjaga tanah kami dengan tubuh dan nyawa kami sendiri.”
Menurut Pantau Gambut dan Auriga Nusantara, perluasan perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua telah menjadi penyumbang terbesar deforestasi dalam dua dekade terakhir.
Sementara laporan Mongabay Indonesia (2023) mencatat bahwa lebih dari 1 juta hektar hutan di Papua telah dikonversi untuk perkebunan sawit dan logging. Sebagian besar tanpa persetujuan masyarakat adat. (Julian Haganah Howay)
