
Manuel Tahrin saat berada di hutan Moi, Sorong, Papua Barat Daya (doc: Mantah/Petarung)
PAGI itu, Sabtu 30 Agustus 2025 pukul 06:45 waktu Papua, langkah saya terhenti di jalan Osok, Sorong.
Di sebuah lahan parkir sederhana, seutas jalan setapak kecil membelah rerumputan samu yang tumbuh rapi, seolah karpet alami yang mengantar saya menuju sebuah dunia lain: hutan tropis yang masih bernapas.
Pohon kayu putih atau “Ara Boh” dalam bahasa Maybrat, berdiri gagah, ditemani gagar hutan, sayur paku, dan kamibat yang tumbuh berjejer di kaki gunung.
Di batang pohon yang besar, sarang semut menggantung bagai lentera kehidupan, penanda bahwa ekosistem masih berdenyut.
Dari kejauhan, seekor elang melayang anggun di langit, namun sayup-sayup suara mesin senso meraung, suara besi yang hendak menaklukkan keheningan rimba.
Burung-burung endemik tanah Papua yang saya tahu dalam bahasa Maybrat berkicau riuh: kontaif, iek, wimbas, krok, habe, hingga maleo, seakan membangunkan hutan yang lelap.
Dari arah timur, mentari muncul pelan, menyinari permadani hijau yang terhampar luas. Di tengah lanskap itu, seorang pengendara motor tampak berjuang menaklukkan tanjakan: potret manusia yang tak henti bertahan hidup di tengah derasnya zaman.
Namun jalan yang kini menjadi nadi transportasi juga menghadirkan paradoks. Ini bukan lagi sekadar jalan, tetapi garis luka yang membelah relasi manusia dengan alam.
Gunung-gunung berdiri berderet bagai penjaga leluhur, diselimuti kabut. Di kejauhan, gedung-gedung Kota Sorong menjulang, hotel-hotel tumbuh seperti jamur di musim hujan. Tapi hutan Moi perlahan berubah wajah: dari ruang sakral menjadi ruang ekonomi.
Rumah batu di tengah kebun tampak kokoh, simbol penjaga abadi. Namun tak jauh darinya, galian batu kapur menganga demi pembangunan kota.
Pulau Buaya tampak samar di kejauhan, sementara laut Moi terbentang indah, menjadi rumah bagi beragam suku bangsa.
Tetapi keindahan itu menyimpan ironi. Kupu-kupu dengan sayap yang anggun berterbangan. Air sungai mengalir jernih dan burung Yakob (kakatua jambul kuning), hinggap di pohon damar. Semua keindahan itu kini seperti menunggu vonis, apakah akan bertahan atau lenyap di tengah desakan pasar?
Saya mendekap sebatang pohon damar atau heyut, satu-satunya yang tersisa di tengah hutan. Ada waswas yang merayap: akankah lima atau sepuluh tahun lagi ia masih berdiri, atau tumbang menjadi korban kepentingan pasar?
Di bawahnya, dedaunan kering terhampar rapi, laksana kasur alami yang dihamparkan alam. Jalur babi hutan atau “romen fene” dalam bahasa Maybrat terlihat jelas. Jejak kehidupan liar yang terus berusaha bertahan di antara gempuran manusia.
Saat kembali ke mobil, kicauan burung masih terdengar. Mereka menyambut pagi dengan riang, namun dalam nada itu juga terselip ratapan: ruang hidup mereka kian menyempit.
Embun yang perlahan memudar dari pepohonan adalah metafora getir: keindahan alam Moi pun bisa hilang, larut dalam kerakusan manusia.
Antropolog Clifford Geertz pernah menulis bahwa budaya adalah “jaring makna” yang ditenun manusia sendiri. Hutan Moi adalah bagian dari jaring itu bukan sekadar ruang ekologis, tetapi juga ruang kultural dan spiritual.
Sosiolog Anthony Giddens mengingatkan bahwa modernisasi sering menghadirkan disembedding, pencabutan manusia dari akar sosial dan ekologisnya. Di tanah Moi, pembangunan tanpa kendali adalah wajah nyata dari proses pencabutan itu.
Ahli ekologi Vandana Shiva pernah menegaskan: “Hutan bukan hanya sumber daya, ia adalah rumah kehidupan.” Kalimat itu terasa hidup di sini. Sebab setiap kali pohon ditebang, yang hilang bukan hanya kayu: ikut hilang doa leluhur, nyanyian burung, nadi dan napas kehidupan.
Tuhan mencipta tanah Moi dengan sempurna. Rumah bagi manusia lintas suku dan ras, juga rumah bagi satwa endemik Papua yang tak tergantikan. Ini laksana surga jika terus dijaga. Namun akan berubah menjadi neraka bila diabaikan.
(*) Imanuel Tahrin adalah penulis artikel ini. Ia seorang aktivis lingkungan, pemerhati budaya dan pendiri komunitas Peduli Tata Ruang (Petarung) Papua yang berbasis di Kampung Susumuk, Maybrat.