
Saat mwngikuti kegiatan Forest Defender Camp (FDC) 2025 di Kampung Manggoholo-Sira, Sorong Selatan, Papua Barat Daya (doc: Faram Bame)
DI tengah rimbunnya hutan adat Tehit-Knasaimos, di Kampung Manggoholo-Sira, Sorong Selatan, Papua Barat Daya, gema suara anak-anak muda berpadu dengan nyanyian burung cenderawasih.
Mereka datang bukan sekadar untuk berkemah, melainkan untuk meneguhkan janji: melindungi hutan, tanah, dan kehidupan. Dari sinilah Forest Defender Camp (FDC) 2025 dimulai, sebuah ruang konsolidasi dan perlawanan terhadap deforestasi dan perampasan tanah adat.
FDC yang diinisiasi oleh Greenpeace Indonesia, Anak Muda Adat Knasaimos (AMAK), dan Bentara Papua telah menjadi agenda penting dua tahunan. Tahun ini, pada 23-26 September 2025, para pemuda adat Papua bertemu dengan perwakilan dari Amazon, Serawak, Kamerun, hingga Cekungan Kongo.
Mereka berbagi cerita, strategi, sekaligus luka yang sama: hutan mereka terancam, tanah mereka direbut, dan masa depan mereka digadaikan atas nama pembangunan.
Papua adalah rumah bagi 46,59% tutupan hutan Indonesia (KLHK, 2021). Luasnya mencapai 33,7 juta hektar, menyimpan keanekaragaman hayati yang tak tertandingi, dari pohon raksasa merbau hingga burung kasuari yang gagah.
Namun, sejak 2009, lebih dari 150.000 hektar hutan Papua hilang akibat ekspansi sawit dan industri kayu (Greenpeace Indonesia, 2023). Data terbaru memperlihatkan tren deforestasi terus meningkat, terutama di wilayah Merauke yang dijadikan Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk pangan skala besar.
Hutan bagi orang Papua bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan ruang hidup yang menyatu dengan identitas. Orang Papua menyebut hutan sebagai “apotik” dan “supermarket” alam, tempat mereka mengambil obat, pangan, dan papan.
Ketika hutan dirampas, bukan hanya pohon yang hilang, melainkan juga pengetahuan, budaya, dan masa depan.
Pemuda Adat sebagai Penjaga
FDC bukan sekadar perkemahan, tetapi ruang pendidikan politik dan ekologi. Lewat kegiatan ini, para pemuda adat dilatih untuk: memahami dampak deforestasi dan eksploitasi, mengembangkan strategi gerakan sosial berbasis komunitas dan mendorong aksi nyata menjaga hutan dan melawan perampasan tanah adat.
Pesan utamanya jelas: pemuda adat tidak boleh hanya jadi pewaris tradisi, tapi juga aktor kunci yang menjembatani kearifan lokal dengan dinamika modern.
Mereka dituntut kritis terhadap regulasi dan pembangunan yang mengabaikan hak masyarakat adat. Seperti yang ditekankan dalam diskusi FDC: “Kalau ada kebijakan yang merusak lingkungan, maka harus ditolak. Suarakan perlawananmu, baik di jalan, media, maupun ruang kajian.”
Di tengah diskusi, isu RUU Masyarakat Hukum Adat kembali mencuat. RUU yang sudah dua kali masuk Prolegnas ini tak kunjung disahkan. Padahal, pengakuan hukum ini sangat penting untuk memperkuat legitimasi masyarakat adat, agar tidak terus-menerus menjadi korban investasi rakus.
Kapitalisme Ekstraktif dan Epithumia Hingga Solidaritas Global
Kondisi Papua hari ini tidak lepas dari apa yang oleh Plato disebut epithumia, nafsu serakah untuk menumpuk kekayaan tanpa peduli keadilan. Perusahaan-perusahaan tambang, sawit, dan kayu masuk dengan janji kesejahteraan, tetapi justru meninggalkan luka sosial dan ekologis.
Mentalitas oligarki dan timokrasi ini merampas tanah adat dengan dalih pembangunan, dengan dukungan aparat keamanan. Tak jarang, kehadiran investasi berujung pada pelanggaran HAM.
Komnas HAM (2025) menilai proyek Merauke bertentangan dengan regulasi nasional dan Konvensi ILO 169 yang mengamanatkan hak masyarakat adat untuk menentukan nasibnya sendiri. Atnike Nova (2025) menambahkan, perampasan hutan adat berdampak langsung terhadap kelangsungan hidup masyarakat dan memperbesar risiko konflik sosial.
Apa yang terjadi di Papua bukanlah kasus tunggal. Dari Amazon hingga Serawak, dari Kamerun hingga Kongo, masyarakat adat menghadapi musuh yang sama: ekspansi industri ekstraktif.
Inilah mengapa solidaritas internasional menjadi penting. FDC 2025 menjadi ruang untuk membangun jaringan perlawanan global, di mana suara pemuda adat Papua bergema bersama saudara-saudara mereka di belahan dunia lain.
Krisis iklim yang kian nyata menegaskan pesan itu: masyarakat adat adalah jawaban. Mereka yang selama ribuan tahun menjaga hutan, justru menjadi garda depan penyelamatan bumi.
Bagi orang Papua, kehilangan hutan berarti kehilangan kehidupan. Hilangnya tanah adat bukan sekadar soal kepemilikan, tetapi soal hilangnya warisan generasi. Sebagaimana disampaikan seorang peserta FDC: “Kalau hutan habis, kita bukan hanya kehilangan pohon, tapi kehilangan masa depan.”
Akhirnya, pesan FDC 2025 jelas: hentikan deforestasi, akhiri perampasan tanah adat, dan akui hak-hak masyarakat adat. Sebab Papua bukan tanah kosong. Papua adalah rumah, warisan, dan masa depan.
(*) Faram Bame adalah penulis artikel ini. Dia adalah aktivis Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP)