
Gambar ilustrasi sebuah proyek PLMTH di Maybrat (doc : Leo Tahoba)
MAYBRAT, Papua Barat Daya adalah negeri yang dibalut keindahan alam yang khas berupa perbukitan bebatuan kapur (karts) yang memukau. Di antara perbukitan yang diselimuti kabut dan hutan hujan tropisnya, air mengalir dengan riang.
Sungai-sungai yang jernih, sumber kehidupan dan nadi ekosistem melintas tenang di atas bebatuan, menawarkan pemandangan sekaligus janji.
Di daerah yang jauh dari jangkauan PLN ini, sungai-sungai tersebut seolah berbisik tentang Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), sebuah solusi hijau yang dijanjikan mampu membawa cahaya peradaban tanpa merusak lingkungan.
Namun, janji itu seringkali berujung pada ironi yang pahit. Di Maybrat, “cinta hijau” terhadap PLTMH telah ditukar dengan risiko kehancuran.
Pembangunan yang terburu-buru, yang mengesampingkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), telah mengubah sungai-sungai yang menjanjikan cahaya menjadi ancaman yang menelan rumah warga.
Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, ini adalah peremehan mendasar terhadap keselamatan lingkungan dan keberlanjutan hidup masyarakat adat.
Dalam kacamata ilmu lingkungan, AMDAL adalah langkah fundamental, sebuah kajian wajib yang dirancang untuk memprediksi dampak proyek besar. Mulai dari aspek lingkungan, sosial, hingga ekonomi.
Tujuannya jelas, seperti kompas di tengah pelayaran: menimbang apakah suatu proyek benar-benar layak atau justru berpotensi menjadi bencana.
Mengabaikan AMDAL, dalam bahasa akademik, berarti menjalankan proyek dengan ketidakpastian risiko yang tinggi (high-risk uncertainty), sebuah tindakan yang secara etika lingkungan sangat tidak bertanggung jawab.
Mengutip dari prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development), setiap intervensi teknologi, termasuk PLTMH harus menerapkan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach).
Ini mensyaratkan bahwa ketika ada ancaman kerusakan lingkungan yang serius atau tidak dapat dipulihkan, ketiadaan kepastian ilmiah penuh tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menunda tindakan pencegahan yang efektif biaya.
Dalam kasus Maybrat, mengabaikan AMDAL sama saja dengan menanggalkan pendekatan kehati-hatian ini.
Dampak Nyata: Ekosistem Hancur dan Bencana Mengintai
Ketika AMDAL dikesampingkan, dampak buruknya segera termanifestasi, terutama pada dua aspek vital yang sangat diandalkan PLTMH: sungai dan geologi.
Pertama, kerusakan ekosistem sungai. PLTMH sangat bergantung pada pengalihan atau pembendungan aliran sungai. Tanpa kajian yang memadai, proyek ini berpotensi menyebabkan perubahan hidrologi drastis (drastic hydrological alteration).
Ini mengganggu debit air minimum yang diperlukan, merusak habitat akuatik, dan memutus siklus hidup fauna sungai. Dalam studi ekologi, perubahan debit air sekecil apa pun dapat mengakibatkan penurunan drastis populasi ikan endemik dan organisme bentik lainnya, menghancurkan rantai makanan lokal.
Kedua, ancaman longsor dan banjir. Analisis geologi terhadap jenis batuan, tipe sungai, dan kemiringan lereng, yang seharusnya diulas tuntas oleh AMDAL sangat krusial. Mengabaikannya akan memperbesar risiko bencana geohidrologi seperti banjir bandang, longsor, dan tanggul jebol, terutama di daerah hulu bendungan.
Ketika tanggul PLTMH dibangun di atas batuan lunak (seperti batu lempung yang disebutkan dalam kasus Maybrat), risiko kegagalan strukturalnya (structural failure) akan meningkat secara eksponensial.
Maybrat telah memiliki catatan akumulasi masalah yang menjadi bukti kegagalan pembangunan tanpa kajian. Misalnya, PLTMH Sauf dan PLTMH Temel kini menjadi monumen bisu atas kegagalan ini.
Keduanya telah ditinggalkan, berhenti memberikan manfaat listrik. Namun meninggalkan kerusakan ekosistem sungai yang permanen. Ini adalah potret pembangunan yang tidak berkelanjutan: manfaatnya singkat, namun kerusakannya abadi.
Kasus terbaru dan paling tragis terjadi pada PLTMH Kali Ombak Kampung Seni. Pembendungan yang dipaksakan pada batuan lunak (batu lempung), seperti yang diungkap oleh masyarakat lokal, adalah resep bencana yang menunggu waktu.
Tak terhindarkan, tanggul jebol. Akibatnya, longsor dan banjir besar memutus total akses jalan utama antara Mare-Mare Selatan dan Yukases, merusak satu unit rumah warga, menghancurkan pagar dan halaman gereja, serta menenggelamkan beberapa rumah lainnya.
Label “ramah lingkungan” yang sering disematkan pada PLTMH seringkali hanyalah topeng, sebuah strategi greenwashing untuk membungkam kritik. Padahal, tanpa AMDAL yang baik, proyek ini berpihak pada kepentingan ekonomi jangka pendek, bukan pada alam dan masyarakat.
Menuntut Tanggung Jawab dan Visi Masa Depan
Pengembangan energi terbarukan adalah kebutuhan mendesak, sebuah langkah maju yang tidak dapat ditawar. Namun, ini tidak boleh mengorbankan prinsip keberlanjutan dan keselamatan manusia.
Tanpa AMDAL bukanlah solusi inovatif dan justru menjadi bom waktu pembangunan yang sedang menunggu detonasi berikutnya. Karena itu, masyarakat Maybrat berhak untuk bersikap kritis dan menuntut setiap proyek mematuhi aturan baku.
Sementara itu, Pemerintah Daerah tidak boleh “ompong” atau berpura-pura buta dalam menghadapi persoalan ini.
Menjaga lingkungan dan masa depan wilayah Maybrat adalah tanggung jawab bersama, dan itu dimulai dengan menjadikan AMDAL sebagai tameng keberlanjutan, bukan sekadar formalitas yang bisa dikesampingkan demi mengejar keuntungan sesaat.
Hanya dengan memprioritaskan ilmu, kajian ilmiah mendalam, dan mendengarkan suara alam, hutan, sungai, tanah dan batuan sekitar, PLTMH dapat benar-benar menjadi cahaya. Bukan penyebab kehancuran di lembah-lembah indah Maybrat.
(*) Leonathan Tahoba adalah penulis artikel ini. Ia adalah aktivis lingkungan dan praktisi ilmu geologi (geologist) yang berdomisi di Maybrat.