Relawan komunitas Peduli Tata Ruang (Petarung) Maybrat, saat melakukan aksi grebek sampak di area spot wisata Gunung Petik Bintang, Maybrat (doc: Petarung)
Maybrat, Papua Barat Daya – Di sepanjang jalan utama Ayamaru, dari Kampung Kartapura hingga Kelurahan Ayamaru dan Kampung Yukase, sekelompok anak muda dengan wajah penuh semangat membagikan selebaran.
Dengan menggunakan sebuah mobil dari Kampung Susumuk, Distrik Aifat, kelompok anak muda yang tergabung dalam komunitas Peduli Tata Ruang (Petarung) Papua ini datang untuk mengkampanyekan gerakan penyelamatan Danau Ayamaru dan Uter lewat pembagian selebaran.
Pembagian ini terpusat di area keramaian dan lokasi yang dianggap sebagai titik-titik penghasil sampah dan limbah ke Danau Ayamaru. Sengatan terik matahari sore di langit Maybrat yang membakar kulit pada Selasa (24/6/2025), tak mengendorkan semangat para pemuda ini.
Mereka membawa sebanyak 150 lembar selebaran yang berjudul “Selamatkan Danau Ayamaru dan Uter, Dua Permata Alam Maybrat”. Selebaran itu dipegang, sambil mereka mendatangi warga yang berdiri atau duduk di pinggir jalan, pedagang toko, pengelola warung makan dan bengkel.
Mereka juga menyasar pengendara mobil dan motor yang sedang memarkir kendaraan di warung-warung, pejalan kaki, hingga mama-mama yang tengah menjual hasil kebun di pasar kecil atau pondok jualan.
Selebaran yang dibagikan itu bukan sekadar catatan biasa. Melainkan seruan hati untuk menyelamatkan sumber kehidupan masyarakat Maybrat: Danau Ayamaru dan Danau Uter yang kian tercekik oleh sampah dan mengalami degradasi hutan penyangga.
Aksi bagi selebaran yang berlangsung di akhir Juni 2025 ini merupakan lanjutan dari kegiatan sebelumnya, yakni survei dan aksi grebek sampah yang dilakukan pada 9–12 Juni 2025.
Kegiatan tersebut telah menyasar tiga titik penting: kepala air Danau Ayamaru (bahasa Maybrat, Maru Mana), Gunung Petik Bintang, dan Danau Uter di Aitinyo. Tiga kawasan ini sangat penting dalam ekosistem hutan dan perairan di Maybrat.
“Waktu kami turun ke lapangan, kondisi di kepala air sudah cukup mengkhawatirkan. Banyak sampah rumah tangga, limbah plastik, dan bahkan limbah organik dari pemukiman warga yang bermuara ke danau,” ungkap Imanuel Tahrin, salah satu pendiri Yayasan Petarung.
“Kedua danau itu bukan kolam biasa. Ini adalah sumber air, sumber makanan, kehidupan, dan juga warisan budaya kita.”
Imanuel menegaskan bahwa setelah aksi pembersihan dan pembagian selebaran, perlu dilakukan gerakan edukatif untuk menyadarkan masyarakat guna melakukan gerakan lingkungan bersama. Sebab akar persoalan bukan hanya di hilir, tapi juga di hulu: kesadaran kolektif.
Ratusan Selebaran untuk Mengubah Cara Pandang
Ratusan selebaran dibagikan secara langsung dengan bahasa yang komunikatif dan ilustrasi yang menggambarkan dampak pencemaran. Aksi ini menyasar warga kampung di sekitar danau, termasuk Kartapura, Kelurahan Ayamaru, Yukase, dan beberapa titik strategis lainnya.
Yoab Iek, relawan Petarung dari wilayah Danau Uter, menyampaikan bahwa banyak warga di Aitinyo mulai menyadari bahwa perubahan pola hidup sangat memengaruhi keberlangsungan danau.
“Sampah plastik dari rumah-rumah, terutama botol air minum dan pembungkus makanan, sekarang mulai terlihat numpuk di pinggir danau. Air makin dangkal di beberapa tempat. Kalau tidak diubah, nanti generasi kita tidak bisa nikmati danau ini lagi,” serunya..
Kegiatan ini juga diliput oleh media lokal independen petarungpapua.org, yang selama ini menjadi ruang publik untuk menyuarakan isu-isu masyarakat adat dan lingkungan di Maybrat.
Robert Nauw, Pemimpin Redaksi media tersebut, menjelaskan bahwa jurnalisme warga yang hidup di mana informasi tidak hanya berhenti di berita, tapi dapat menjadi alat kampanye untuk menyelamatkan ruang hidup.
“Kami tidak ingin warga hanya membaca berita tentang danau Ayamaru dan Uter yang tercemar sampah. Kami ingin mereka jadi pelaku penyelamatan dalam aksi nyata” ujarnya.
Menurutnya, media harus berpihak pada bumi, pada manusia, dan pada kebenaran ekologi. Apalagi ini soal warisan yang harus kita jaga bersama.
Suara dari Pinggir: Mama Maybrat yang Menolak Diam
Di tengah keramaian pembagian selebaran di Kelurahan Ayamaru, seorang mama Maybrat bernama Yube Solossa, menghentikan langkahnya. Ia meminta secarik selebaran lalu mencoba membacanya dengan seksama.
Saat baru membaca judul selebaran dan melihat gambar ilustrasi, perempuan paru baya ini lalu mengernyitkan kening. Kaget.
“Saya lahir besar di sini. Dulu, air danau jernih sekali, orang cari ikan, anak-anak mandi, orang ambil air untuk masak. Sekarang, air di pinggir sudah kotor tercemar sampah,” katanya sedih.
Mama Yube mengaku senang dengan aksi pembagian selebaran yang dilakukan komunitas Petarung. Ia juga meminta agar komunitas ini juga perlu mengadakan diskusi dengan warga kampung dan komunitas, agar semua warga, terutama anak-anak muda, bisa paham dan ikut menjaga danau Ayamaru.
“Biar tidak ada orang buang sampah sembarang. Karena danau ini kitong punya hidup,” tambahnya.
Aksi bagi selebaran mungkin terlihat sederhana. Tapi bagi Komunitas Petarung, inilah langkah awal dari perubahan besar: membangun kesadaran lingkungan dari bawah. Dari kampung ke kampung, dari pasar ke sekolah, dari mulut ke mulut.
“Kesadaran tidak lahir bergitu saja dari pidato pejabat. Tapi dari pengalaman warga sendiri. Kalau mereka sadar dan bergerak bersama, maka danau bisa diselamatkan,” kata Imanuel.
Ke depan, Petarung berencana melakukan program edukasi sekolah, diskusi adat, dan pemetaan partisipatif kondisi danau bersama warga lokal.
Danau Ayamaru dan Uter bukan sekadar bentang air di atas peta. Ia adalah ingatan kolektif, ruang hidup, dan masa depan masyarakat adat Maybrat. Saat ini, danau itu sedang memanggil.
Suara panggilan itu kini telah dibagikan dalam bentuk selebaran, menyebar ke tangan warga, masuk ke hati dan semoga menggerakkan langkah.
“Jika kita jaga air, air akan jaga kita. Jika kita abaikan danau, maka kita sendiri yang akan ditinggalkan oleh kehidupan,” tulis salah satu kalimat dalam selebaran itu. Komunitas Petarung telah mengetuk kesadaran warga. Sekarang, pintunya harus dibuka bersama. (Julian Haganah Howay)
