Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
DI BALIK perbukitan hijau yang membentang dan dua danau (Ayamaru dan Uter) yang tenang di Maybrat, Papua Barat Daya, tersembunyi sebuah pergeseran besar yang sedang berlangsung.
Dulu, bunyi parang yang memotong semak belukar, pohon, kayu, ranting dan asap pembukaan ladang berpindah (slash and burn cultivation/shifting cultivation), menjadi bagian tak terpisahkan dari irama hidup masyarakat.
Kini, suara mesin babat, traktor mini dan diskusi tentang pupuk organik mulai pelan-pelan menyelip ke dalam perbincangan warga kampung.
Pertanyaannya, apakah masyarakat Maybrat sebagai bagian dari masyarakat Papua, bisa beralih dari pertanian tradisional subsisten menuju sistem pertanian semi modern hingga modern?
Selama berabad-abad, sebagai masyarakat komunal yang menempati wilayah pegunungan kepala burung Tanah Papua, pertanian tradisional dengan mengolah lahan secara terbatas di kalangan suku Maybrat adalah urusan yang nyaris spiritual.
Disini sistem ladang berpindah bukan sekadar soal tanam dan panen, tapi juga bagian dari siklus hidup dan hubungan manusia dengan alam (aspek kosmologis). Tanah dianggap ibu, sementara pohon-pohon (hutan), dusun, sungai, danau, lembah, bukit dan gunung adalah saudara tua.
Seiring pergeseran waktu, cara bertani dengan pola pembukaan ladang berpindah (shifting cultivation/slash and burn cultivation) yang diwariskan turun-temurun ini mulai menunjukkan kelemahan di era sekarang.
Bahkan terkadang tidak ramah lingkungan dengan cara berkebun berpindah-pindah karena dilakukan dengan membabat hutan pada kawasan-kawasan penyangga yang mestinya dilestarikan. Pada kondisi tertentu, lahan bisa cepat rusak, hasil panen sedikit, dan tidak mampu bersaing di pasar luar.
Dalam literatur ilmiah, perladangan berpindah “shifting cultivation” atau “slash-and-burn agriculture”, keduanya merujuk pada sistem pertanian berpindah, namun memiliki nuansa makna yang sedikit berbeda.
Menurut Encyclopedia Britannica dan berbagai studi antropologi dan ekologi pertanian, shifting cultivation adalah: suatu bentuk pertanian di mana sebidang lahan dibersihkan dari vegetasi dan ditanami selama beberapa tahun, kemudian ditinggalkan untuk membuka lahan baru ketika kesuburan tanah mulai menurun, sehingga lahan yang lama dapat pulih secara alami.
Sistem pertanian seperti ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: lahan hutan dibuka (biasanya dibakar) untuk ditanami. Setelah beberapa tahun (biasanya 2-5 tahun), tanah dibiarkan (fallow) agar kesuburan kembali dan vegetasi bisa tumbuh kembali.
Selanjutnya, petani kemudian pindah ke lahan baru untuk mengulangi siklus tersebut. Umumnya pola seperti ini dilakukan oleh komunitas adat dan masyarakat agraris tradisional di daerah tropis seperti Asia Tenggara, Afrika, dan Amazon.
Sementara istilah slash-and-burn lebih menekankan pada teknik membuka lahan dalam sistem ladang berpindah. Suatu metode pertanian yang melibatkan penebangan dan pembakaran hutan atau lahan berhutan untuk membuka lahan pertanian
Istilah ini sering dipakai dalam konteks lingkungan atau kebijakan konservasi, dan bisa bernada negatif bila dikaitkan dengan deforestasi. Namun, dalam konteks tradisional dan subsisten, praktik ini adalah bagian dari sistem ekologis yang berkelanjutan jika dilakukan dengan rotasi dan waktu pemulihan lahan yang memadai.
Dalam konteks geografi Maybrat yang umumnya terdiri dari wilayah berbatuan kapur (karts), perladangan berpindah di tanah karst secara umum dapat menyebabkan deforestasi permanen dan lebih berisiko dibandingkan wilayah dengan tanah subur biasa.
Tanah di wilayah karst umumnya tipis dan mudah mengalami erosi karena berada di atas batuan kapur yang keras dan mudah larut. Miskin unsur hara sehingga tidak mendukung pertumbuhan tanaman dalam jangka panjang.
Wilayah dengan karakteristik demikian sulit menahan air karena banyak celah dan rekahan di batuan kapur (porositas tinggi). Perladangan berpindah (shifting cultivation) yang melibatkan penebangan dan pembakaran vegetasi, memiliki dampak sangat buruk di wilayah karst.
Akibatnya, tumbuhan (vegetasi) diatasnya biasanya tumbuh melambat, bahkan gagal total karena kondisi tanah yang kering, dangkal, miskin nutrisi dan akar-akar tanaman tidak dapat mencengkeram dengan baik di tanah tipis berbatu.
Dengan begitu, deforestasi menjadi permanen karena hutan sekunder sulit tumbuh kembali. Terjadi degradasi lahan, mengakibatkan lahan menjadi gundul dan tak bisa ditanami lagi. Risiko erosi dan kekeringan meningkat karena lapisan tanah atas yang tipis cepat hilang jika tidak ada vegetasi penutup.
Menurut berbagai studi geografi lingkungan dan ekologi tropis, Maybrat yang memiliki banyak wilayah bergunung dan berkapur (karst) sangat rentan terhadap kerusakan permanen akibat perladangan berpindah. Jika pola berkebun berpindah-pindah terus dilakukan:
Sebab hutan tidak akan bisa tumbuh kembali dalam jangka waktu wajar. Lanskap akan menjadi tandus, menyebabkan ketahanan pangan turun. Hutan dan ekosistem lokal terganggu, mengancam keanekaragaman hayati.
Perladangan berpindah di tanah karst dapat menyebabkan deforestasi permanen. Karena itu, praktik ini tidak berkelanjutan (sustainable) secara ekologis dan perlu segera dialihkan ke pertanian menetap yang berkelanjutan seperti agroforestri, sistem terasering, atau kebun campuran berbasis konservasi.
Namun, kini saat banyak anak muda Maybrat berhasil meraih gelar sarjana (termasuk sarjana pertanian, kehutanan dan lingkungan) maupun menjabat posisi penting di berbagai sektor (umumnya birokrasi pemerintahan), masyarakat di tanah leluhur mereka Maybrat, masih terkungkung oleh metode pertanian tradisional masa lalu.
Potret Pertanian Tradisional yang Mulai Rapuh, Maybrat perlu berubah.
Masyarakat Maybrat selama ini menggantungkan hidup pada tanaman pangan seperti ubi, singkong, keladi, kacang tanah, dan sayur-mayur, yang ditanam secara sederhana.
Tanpa irigasi tetap, tanpa alat modern, dan bergantung sepenuhnya pada musim hujan, sehingga hasil panen pun tak menentu. Serangan hama, cuaca ekstrem, atau perubahan iklim mikro akibat deforestasi membuat risiko gagal panen semakin tinggi.
Ketika hasil ladang menurun, petani enggan melanjutkan tanam, dan lahan ditinggalkan begitu saja, lalu membuka hutan baru dengan menebas hutan lalu dibakar sebelum ditanam. Pola ini menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius: tanah terkikis, hutan habis, dan ekosistem terganggu.
Di sisi lain, di masa sekarang, produk-produk pertanian dari Maybrat sulit masuk pasar luar. Sebab masih memiliki kualitas yang belum standar, jumlah yang tidak konsisten, dan ketiadaan sistem distribusi menyebabkan petani hanya menjual di pasar lokal dengan harga yang tak sebanding dengan kerja keras mereka.
Usaha dan pola pertanian juga masih sebatas aktivitas subsisten yang bertujuan menunjang kebutuhan pangan semata, meskipun kadang hasil panen dapat dijual secara terbatas ke pasar (pembeli) guna memenuhi kebutuhan hidup yang lain. Pola ini terus berlangsung selama bertahun-tahun.
Ironisnya lagi, di masa sekarang, anak-anak muda Maybrat justru melihat pertanian (berkebun) sebagai kerja kasar yang tidak menjanjikan. Karena itu lahan-lahan mulai terbengkalai, kampung-kampung yang baru dimekarkan menjadi kosong karena warganya pindah dalam waktu tertentu ke kota, dan regenerasi petani pun terhenti.
Situasi ini bertambah runyam ketika ketergantungan terhadap pemerintah dan sesuatu (barang dan jasa, termasuk pangan seperti beras, kacang tanah, tepung, munyak goreng, dan lain-lain) yang datang dari luar begitu tinggi.
Hal ini tentu akan menyebabkan eksistensi masyarakat Maybrat semakin rapuh dan terjadi ketergantungan. Padahal tanah mereka sendiri yang sebenarnya kaya dan menjanjikan, jika diolah dengan baik maupun kerja keras.
Karena itu Maybrat dan masyarakat adatnya harus berubah. Kondisi ini tak bisa dibiarkan. Menurut Prof. Dedi Nursyamsi dari Kementerian Pertanian RI, pertanian tradisional yang tidak bertransformasi hanya akan menjadi kegiatan subsisten semata. Ini bukan hanya soal pangan, tapi juga soal martabat dan masa depan ekonomi lokal.
Maybrat punya potensi besar untuk berubah. Sebab pada situas yang bersamaan, banyak generasi muda dengan gelar sarjana yang mentereng, sudah kembali dari kota dengan ilmu dan semangat baru. Pemerintah daerah dan LSM juga mulai mendorong program pelatihan, pemberian alat, dan pembentukan kelompok maupun koperasi tani.
Infrastruktur seperti akses jalan, jembatan penghubung, alat transportasi, alat pertanian modern, pupuk, bibit pertanian berkualitas unggul, gudang, dan pasar kampung perlahan dibangun.
Namun yang dibutuhkan sekarang adalah tekad kolektif untuk memulai sehingga potensi dan sarana yang ada terbengkalai atau tinggal bergitu saja. Mubasir!
Strategi Perubahan: Langkah demi Langkah Menuju Pertanian Modern
Transformasi pertanian bukan berarti meninggalkan tradisi sepenuhnya. Justru, ini soal menyelaraskan kearifan lokal dengan teknologi tepat guna. Karena itu, beberapa strategi yang mulai diadopsi antara lain:
Misalnya, penggunaan teknologi sederhana. Seperti hand tractor, pompa air kecil, sprayer elektrik, hingga greenhouse skala rumah tangga. Juga perbaikan bibit dan pola tanam. Misalnya dengan penggunaan benih unggul yang tahan hama, penerapan tumpang sari dan rotasi tanam.
Hal lain adalah perlunya peningkatan kapasitas petani dan kelompok tani. Pelatihan rutin oleh penyuluh, pembentukan demplot, serta kalender tanam berbasis cuaca lokal dan BMKG agar waktu tanam untuk tanaman terntentu dapat menyesuaikan musim.
Yang berikut, perlunya irigasi dan pengendalian hama. Pembuatan saluran air sederhana dan pengendalian hama terpadu berbasis hayati. Selanjutnya perlu upaya kolektif untuk melakukan reboisasi dan agroforestry.
Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mendorong sistem pertanian berkelanjutan yang menjaga tutupan pohon (hutan) dan kesuburan tanah tetap terjaga. Ini misalnya dapat dilakukan dengan menggunakan metode pengolahan tanah dan pupuk organik (kompos) yang efektif.
Selanjutnya, diperlukan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian yang efektif. Dalam hal ini, koperasi dapat menjadi pusat pengumpulan hasil panen. Produk diberi label, dikemas layak, lalu dapat dijual lewat platform digital atau disuplai ke hotel dan restoran lokal.
Menurut Dr. Anna Wijayanti, pakar ekonomi pertanian dari UGM, pertanian modern bukan hanya soal meningkatkan hasil panen. Tapi juga menciptakan nilai tambah, membuka lapangan kerja, dan memperkuat posisi tawar petani di pasar.
Ketika Anak Muda Perlu Kembali ke Kebun
Saat ini salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana mengubah pola piker dan persepsi anak muda (terutama generasi muda Maybrat) tentang pertanian. Dari yang semula dianggap “kerja kasar dan kerja kotor”, kini mulai dilihat sebagai peluang bisnis yang menjanjikan.
Dengan metode pengolahan pertanian yang baik, hasil kebun yang meningkat dan berkualitas, akses pasar yang jelas dan keuntungan yang nyata, anak-anak muda akan tergiur dan calon petani muda akan mulai tumbuh.
Mereka nantinya tak lagi membawa cangkul ke ladang, tapi membawa aplikasi pertanian di ponsel pintar mereka. Bagi anak muda yang bergelar sarjana pertanian, kehutanan dan lain-lain, tak akan lagi beriming-iming kerja di ruang kantoran dan birokrasi.
Tetapi akan bertransformasi menjadi penggerak-penggerak pertanian dan pembangunan pertanian berbasis komunitas, kampung, dan daerah. Inilah yang kita harapkan.
Tetapi transformasi demikian tidak bisa dilakukan oleh petani sendiri. Pemerintah dapat memainkan perannya dengan regulasi, subsidi, dan infrastruktur. Lembaga pendidikan, lembaga riset, universitas dan LSM/NGO, bisa menjadi mitra pelatihan untuk pengembangan kapasitas petani maupun riset lokal.
Tokoh adat dan gereja dapat berperan penting dalam membentuk pola pikir masyarakat menuju kemandirian dengan sumber daya yang mereka punya. Sementara kaum muda adalah agen perubahan, pembawa semangat baru untuk bertani dengan cara yang cerdas, efisien, dan berkelanjutan.
Transformasi dari pertanian subsisten tradisonal ke pertanian modern di Maybrat bukan sekadar soal pupuk dan traktor. Ini adalah tentang harapan. Tentang kemampuan masyarakat untuk mandiri, untuk memberi makan keluarga mereka dengan bangga, dan untuk menjaga warisan tanah leluhur dengan cara yang lebih bijak.
“Pertanian tradisional kita punya nilai budaya,” kata Dr. M. Kambuaya, agronomis dari Papua, “tapi dalam konteks ketahanan pangan dan pemasaran modern, sistem ini perlu dibarengi dengan inovasi teknologi dan perencanaan lahan.”
Maybrat kini berada di persimpangan penting. Satu kaki sudah mantap dalam dunia pendidikan, jabatan, dan pembangunan. Satu kaki lainnya masih terpaut dalam ladang lama yang nyaris ditinggalkan.
Jadi kini saatnya kedua kaki itu melangkah maju bersama menuju kebun baru, ladang harapan, dan masa depan masyarakat yang lebih sejahtera. Kini, suara masa depan bukan hanya terdengar dari kota, tapi juga dari kebun-kebun yang mulai hidup kembali.
Bukan hanya dari ruang rapat, tapi juga dari tangan petani muda yang tak takut kotor, bau keringat dan capek. Pertanian modern bukan lagi impian. Ini adalah kenyataan yang bisa dimulai hari ini. Di tanah yang sama. Oleh orang-orang yang sama. Untuk generasi yang akan datang.
(*) Nikodemus Kambu adalah penulis artikel ini. Penulis seorang pensiunan guru SMA (mata pelajaran Geografi) yang kini berdomisili di Amban, Manokwari, Papua Barat. Ketua Yayasan Wion Susai Papua yang kini mulai mendorong pembentukan komunitas tani Wion Susai.
