
Perlawaman masyarakat adat Malind Anim bermarga Kwipalo terhadap kehadiran Proyek Strategis Nasional (doc: KPHHP)
Merauke, Papua Selatan – Di tanah Marind, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, sebuah kisah pahit sedang berlangsung. Ini bukan hanya soal sengketa tanah biasa, melainkan pertarungan sengit antara hak ulayat yang diwarisi turun-temurun melawan kekuatan mega proyek pemerintah yang berbalut nama Proyek Strategis Nasional (PSN).
Pusat dari kisah ini adalah Vinsen Kwipalo, seorang pemilik hak ulayat Marga Kwipalo dari Masyarakat Adat Malind Anim, yang berdiri tegak menolak rencana pembangunan di atas tanah leluhurnya.
Penolakan Vinsen bukan sekadar gertakan; ia adalah simbol perlawanan damai yang kini terancam dibungkam dengan cara hukum.
Sejak awal rencana pengembangan PSN di wilayah adat Marga Kwipalo mencuat, Vinsen Kwipalo telah menunjukkan sikap penolakan yang tegas. Ia tak hanya berdiam diri.
Bentuk perlawanannya beragam dan terukur, mulai dari menancapkan salib merah sebagai tanda larangan di atas tanah marganya, menyatakan penolakan secara terbuka melalui media massa, hingga turun ke jalan dalam aksi demonstrasi di Merauke bahkan Jakarta.
Puncaknya, ia bahkan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) RI, sebuah upaya hukum tertinggi yang masih bergulir hingga kini.
Namun, perlawanan paling nyata terjadi pada 15 September 2025. Bersama keluarganya, Vinsen menghentikan aktivitas pembongkaran yang dilakukan oleh karyawan PT Murni Nusantara Mandiri (MNM) menggunakan alat-alat berat seperti traktor.
Di mata Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua (KPHHP), tindakan PT MNM tersebut jelas merupakan tindak pidana penyerobotan dan penggelapan tanah adat.
Ironisnya, alih-alih menghentikan aksinya, PT MNM justru membalikkan keadaan. Perusahaan itu menggunakan tangan salah satu karyawannya untuk melaporkan Vinsen Kwipalo ke Polres Merauke.
Di akhir September 2025, surat panggilan klarifikasi pun mendarat di tangan Vinsen, yang kemudian memenuhi panggilan tersebut pada 2 Oktober 2025.
Koalisi KPHHP, yang terdiri dari 11 lembaga termasuk LBH Papua dan YLBHI, melalui rilis pers yang dikeluarkan, melihat pelaporan ini sebagai upaya kriminalisasi yang sengaja dilakukan PT MNM untuk membungkam Vinsen dan menutupi jejak dugaan tindak pidana penyerobotan tanah adat yang mereka lakukan.
Pasal 385 ayat (1) KUHP menjadi acuan koalisi, yang menyebutkan pidana bagi mereka yang secara melawan hukum menjual atau membebani hak atas tanah yang diketahui dimiliki orang lain.
Mandat Hukum yang Terabaikan
Perjuangan Vinsen Kwipalo bukan tanpa dasar hukum. Indonesia, melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Pengakuan ini diperkuat oleh Undang-Undang Otonomi Khusus Papua (UU No. 2 Tahun 2021) Pasal 43, yang mewajibkan pemerintah provinsi untuk mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat, termasuk hak ulayat.
Secara lokal, Pemerintah Kabupaten Merauke telah mengakui hak Masyarakat Adat Malind Anim secara tegas melalui Perda Kabupaten Merauke Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat Hukum Adat Malind Anim.
Pasal 21 Perda ini menjamin hak penguasaan wilayah Malind Anim dari Kampung Kondo hingga Sungai Digoel.
Karena itu, Koalisi KPHHP menegaskan, hak ulayat Marga Kwipalo yang diwarisi Vinsen Kwipalo tidak dapat dihilangkan oleh kebijakan apapun, termasuk Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 835 Tahun 2024 yang dikantongi PT MNM.
Dengan demikian, Vinsen Kwipalo berhak secara hukum untuk mempertahankan wilayah adatnya, menjadikannya seorang Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) yang berjuang menegakkan hak atas kepemilikan tanah adat.
Kasus Vinsen Kwipalo bukan satu-satunya. Catatan kecil dari KPHHP mengungkap adanya ancaman ganda di wilayah adat Malind Anim. Secara terpisah, PT Jhonlin Group juga dilaporkan terus melakukan penggusuran tanah dan hutan masyarakat adat di Kampung Nakias dan Salamepe, Distrik Ngguti, Merauke.
Pada 8 September 2025 hingga 25 September 2025, Wakil Ketua Adat Ambrosius Hairu Kaize mendapati pembongkaran yang dilakukan tanpa musyawarah, dan ironisnya, diduga ditunggangi oleh tokoh adat setempat dan Kepala Kampung.
Pembongkaran itu bahkan telah melewati tanda salib larangan yang dipancangkan masyarakat. Dua kasus ini, melibatkan PT MNM dan PT Jhonlin Group, melukiskan gambaran suram tentang perampasan hak ulayat di Papua, yang terjadi di bawah payung besar Proyek Strategis Nasional.
Desakan kepada Negara
Berdasarkan situasi ini, Koalisi KPHHP mengeluarkan seruan tegas kepada pemangku kebijakan di tingkat pusat hingga daerah, dengan menuntut: Presiden RI segera mencabut Kebijakan PSN dan SK Menteri LHK yang melegalkan dugaan penyerobotan tanah adat oleh PT MNM.
Kapolri perlu menghentikan praktik kriminalisasi terhadap Vinsen Kwipalo, yang adalah Pembela HAM. Selain itu, Gubernur Papua Selatan dan Bupati Merauke perlu memerintahkan PT MNM menghentikan tindak pidana penyerobotan tanah adat dan melindungi Vinsen Kwipalo sesuai mandat Perda Merauke No. 5 Tahun 2013.
Perlawanan Vinsen Kwipalo kini menjadi cermin bagi perlindungan hak-hak masyarakat adat di seluruh Indonesia. Apakah suara seorang anak adat mampu mengalahkan mesin proyek negara, ataukah ia akan menjadi korban berikutnya yang dibungkam atas nama pembangunan?
Nasib tanah Marga Kwipalo dan perjuangan Pembela HAM seperti Vinsen Kwipalo kini bergantung pada keberanian negara & pemerintah Indonesia untuk menegakkan konstitusi mereka di atas kepentingan korporasi. (Julian Haganah Howay)