Kondisi sampah yang mengapung di salah satu sudut Danau Ayamaru (doc: petarungpapua.org)
DANAU Ayamaru dan Danau Uter di Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat Daya, bukan sekadar hamparan air tawar yang indah. Keduanya adalah simbol ekologi dan kebudayaan masyarakat setempat.
Kedua danau ini menyediakan air bersih, menjadi sumber pangan, tempat rekreasi, bahkan menyimpan sejarah dan identitas suku-suku di sekitarnya. Namun, pesona dan fungsi penting kedua danau ini terancam oleh satu musuh yang tampak sepele, namun dampaknya mengerikan: sampah dan limbah.
Ada berbagai jenis limbah, dari limbah rumah tangga, limbah industri (seperti logam berat dan minyak), limbah pertanian (pupuk kimia, pestisida, kotoran ternak), limbah medis (jarum suntik bekas, jaringan tubuh, bahan kimia), limbah komersial (sisa makanan, kemasan plastik dan kertas), limbah konstruksi dan pembongkaran (puing bangunan, kayu bekas, logam), limbah elektronik (ponsel rusak, baterai, kabel), hingga limbah tambang (tailing, lumpur, batuan sisa tambang).
Hari ini, jika kita berjalan menyusuri bantaran kali atau sungai kecil yang bermuara ke danau, kita bisa melihat langsung plastik, deterjen, sisa makanan, dan berbagai jenis limbah cair yang mengalir perlahan ke dalam danau.
Semua limbah itu berasal dari aktivitas rumah tangga sehari-hari, mencuci, mandi, buang air, dan sebagainya. Ini adalah ancaman nyata yang jika tidak segera ditangani, akan merusak ekosistem danau secara permanen.
Masalah yang Tampak Kecil, Tapi Dampaknya Besar
Sebagian orang mungkin menganggap limbah rumah tangga bukan persoalan serius. Toh, katanya, air danau tetap tampak jernih di permukaan. Tapi kenyataannya, pencemaran yang disebabkan oleh limbah rumah tangga adalah salah satu penyebab utama kerusakan danau di seluruh dunia.
Limbah ini mengandung fosfat, nitrat, dan bahan kimia berbahaya lainnya yang memicu pertumbuhan alga secara berlebihan. Fenomena ini dikenal sebagai eutrofikasi, yang menyebabkan air danau kehilangan oksigen, membunuh ikan, dan membuat air menjadi keruh serta berbau.
Jika dibiarkan, danau akan mengalami “kematian ekologis” secara perlahan. Ini sudah terjadi di banyak tempat lain. Dengan begitu Danau Ayamaru dan Uter di Maybrat bukan pengecualian. Apalagi, dengan pertumbuhan penduduk dan meningkatnya aktivitas domestik, volume limbah pun terus bertambah setiap tahun.
Kultur dan Sistem yang Belum Siap
Masalah pencemaran ini diperparah oleh ketiadaan sistem pengelolaan air limbah yang memadai. Di banyak kampung sekitar danau, limbah rumah tangga masih dibuang langsung ke parit, selokan, atau sungai kecil yang bermuara ke danau.
Hal ini terjadi bukan semata karena masyarakat tidak peduli lingkungan, tetapi karena memang belum tersedia infrastruktur dasar seperti instalasi pengolahan air limbah (IPAL) skala desa atau kampung.
Di sisi lain, belum ada regulasi daerah yang tegas atau program edukasi yang masif untuk mengubah perilaku masyarakat. Ketika sistem belum dibangun, dan kesadaran belum ditumbuhkan, maka pencemaran akan terus terjadi tanpa henti.
Kepentingan Ekologis dan Budaya yang Harus Dilindungi
Menjaga Danau Ayamaru dan Uter bukan hanya soal pelestarian alam, tapi juga menyangkut masa depan masyarakat Maybrat secara keseluruhan. Kehidupan sosial, ekonomi, bahkan spiritual masyarakat lokal sangat erat dengan keberadaan danau.
Di beberapa komunitas, danau dianggap sebagai tempat sakral, sumber cerita rakyat, dan bagian dari sejarah leluhur. Selain itu, danau juga menjadi sumber mata pencaharian bagi banyak keluarga yang menggantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan, budidaya air tawar, atau kegiatan ekonomi lain yang terkait.
Jika danau tercemar, maka bukan hanya ekosistem yang rusak, tetapi juga ekonomi lokal akan runtuh. Ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya alam harus dibarengi dengan tanggung jawab untuk menjaganya.
Sudah Saatnya Dibangun IPAL Skala Komunal
Langkah paling logis dan mendesak yang bisa dilakukan saat ini adalah pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) skala komunal di kampung-kampung sekitar danau.
IPAL ini akan berfungsi menyaring dan mengolah limbah rumah tangga sebelum dialirkan ke badan air. Dengan demikian, zat-zat pencemar bisa dinetralkan terlebih dahulu, dan air yang masuk ke danau tidak mencemari lingkungan.
IPAL komunal bisa dibangun dengan teknologi sederhana yang sesuai dengan kondisi geografis dan sosial masyarakat Maybrat. Misalnya, teknologi biofilter, sebagai sistem pengolahan limbah cair atau gas yang menggunakan mikroorganisme (biasanya bakteri) yang menempel pada media (seperti batu, pasir, arang, plastik, atau serat sintetis) untuk menguraikan bahan pencemar.
Metode kolam stabilisasi, juga dapat diterapkan sebagai sistem pengolahan limbah cair yang menggunakan kolam terbuka untuk mendekomposisi limbah melalui proses alami oleh sinar matahari, mikroorganisme, dan interaksi biologis lainnya.
Atau menggunakan sistem pengolahan limbah berbasis vegetasi (constructed wetland). Ini merupakan sistem buatan yang meniru proses alami rawa-rawa atau lahan basah untuk mengolah air limbah. Sistem ini memanfaatkan tanaman air, tanah, dan mikroorganisme untuk menyaring dan menguraikan bahan pencemar. Teknologi ini relatif murah, mudah dioperasikan oleh masyarakat, dan tidak memerlukan energi listrik yang besar.
Namun, pembangunan IPAL saja tidak cukup. Harus ada sinergi antara pemerintah daerah, tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat umum dalam merawat dan mengoperasikan fasilitas ini. Pemerintah daerah perlu memfasilitasi penyusunan aturan kampung, memberikan pelatihan, dan mendampingi pengelolaan IPAL agar tidak terbengkalai.
Membumikan Kesadaran Lingkungan
Salah satu tantangan terbesar dalam penanganan limbah rumah tangga adalah mengubah kebiasaan dan pola pikir masyarakat. Banyak orang tidak menyadari bahwa apa yang mereka buang setiap hari dari dapur atau kamar mandi dapat merusak danau secara perlahan. Oleh karena itu, pendidikan lingkungan harus dijadikan agenda utama di sekolah, gereja, dan forum-forum masyarakat.
Anak-anak perlu diajarkan sejak dini tentang pentingnya menjaga danau. Orang dewasa perlu diberi pemahaman bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah dan bentuk penghormatan terhadap ciptaan Tuhan. Jika kesadaran ini tertanam, maka upaya teknis seperti IPAL akan mendapat dukungan sosial yang kuat.
Menata Regulasi dan Anggaran Daerah
Pemerintah Kabupaten Maybrat dan Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya harus segera menjadikan persoalan pencemaran danau sebagai isu strategis daerah. Artinya, perlu ada kebijakan dan regulasi yang mengatur: Zona perlindungan danau dari limbah; standar bangunan rumah tangga terkait sanitasi; pelarangan pembuangan limbah langsung ke sungai atau danau; alokasi anggaran untuk pembangunan dan pemeliharaan IPAL.
Masalah lingkungan sering kali gagal ditangani karena tidak masuk dalam prioritas anggaran daerah. Padahal, kerusakan lingkungan akan menimbulkan biaya jauh lebih besar di masa depan. Maka, saatnya pemerintah daerah mulai berpikir jangka panjang dan mengalokasikan dana untuk infrastruktur lingkungan yang berkelanjutan.
Dari Kesadaran Menuju Aksi Kolektif
Ancaman pencemaran Danau Ayamaru dan Uter oleh limbah rumah tangga bukanlah isu sepele. Ini adalah alarm yang harus dibunyikan sekeras-kerasnya agar semua pihak tersadar dan segera bertindak. Kita tidak bisa menunggu hingga danau menjadi mati, ikan-ikan punah, dan masyarakat kehilangan sumber kehidupannya.
Sudah saatnya kita bergerak dari sekadar bicara tentang pelestarian ke tindakan nyata: membangun IPAL komunal, menumbuhkan kesadaran kolektif, menyusun regulasi, dan menjadikan pelestarian danau sebagai prioritas bersama.
Jika hari ini kita bertindak, maka kita tidak hanya menyelamatkan danau, tapi juga mewariskan masa depan yang lebih bersih, sehat, dan berkelanjutan bagi anak cucu kita di Tanah Maybrat tercinta.
(*) Eddy Way adalah penulis artikel ini. Ia adalah ASN pemerhati pembangunan masyrakat dan lingkungan yang tinggal di Nabire, Papua Tengah.
(Tulisan ini sebelumnya terbit di web petarungpapua.org. Diedit dan diterbitkan kembali untuk kepentingan edukasi dan penyadaran lingkungan).
