Potret Perempuan Afsya saat kegiatan peringatan Hari Bumi di Kampung Bariat, Distrik Konda, Sorong Selatan (Doc : Franky Samperante/PUSAKA)
Sorong, Papua Barat Daya – Setiap tanggal 22 April, dunia memperingati Hari Bumi (Earth Day), sebuah momentum global untuk menyuarakan kepedulian terhadap krisis ekologis yang semakin parah: dari perubahan iklim, deforestasi, kehilangan keanekaragaman hayati hingga pencemaran laut.
Di tahun 2025 ini, tema global Hari Bumi adalah “Planet vs. Plastics”, menyerukan dunia untuk mengakhiri era plastik sekali pakai dan menyeimbangkan kembali relasi manusia dengan alam.
Namun, lebih dari sekadar kampanye lingkungan, Hari Bumi kini menjelma menjadi panggung perlawanan ekologis global yang diwarnai parade, doa, aksi jalanan, diskusi ilmiah, hingga perlawanan rakyat akar rumput dari Amazon hingga Tanah Papua.
Di New York misalnya, ribuan pelajar dan aktivis turun ke Times Square dalam kampanye “Break Free from Plastics”. Sementara para ilmuwan muda di Swedia membentangkan mural es raksasa yang mencair sebagai simbol darurat iklim.
Di Nairobi, Kenya, Afrika, komunitas perempuan petani melakukan penanaman pohon dan pertunjukan rakyat bertema bumi sebagai ibu kehidupan. Lalu di Amazon Brasil, komunitas adat dan ekologis membentuk aliansi menjaga hutan hujan dari ekspansi pertambangan.
Sementara di Bangladesh, aksi Hari Bumi difokuskan pada perjuangan warga pesisir melawan naiknya air laut yang merendam desa-desa mereka. Sebab negara ini selama hampir dua dekade, telah berjuang mengatasi dampak perubahan iklim dan pemanasan global dengan semakin naiknya air laut yang menenggelamkan kawasan pesisir.
Di Jakarta, Indonesia, Hari Bumi 2025 diperingati dengan Green Walk dari Bundaran HI ke Monas, diikuti oleh pelajar, pegiat lingkungan, hingga influencer muda. Di Bandung, mahasiswa dan seniman menggelar Festival Bumi Nusantara dengan lokakarya daur ulang, pentas musik, dan pemutaran film dokumenter lingkungan.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga telah meluncurkan program “Sekolah Bebas Sampah 2025” dan memperluas inisiatif Kampung Iklim untuk memberdayakan warga kota dan desa dalam adaptasi terhadap krisis iklim.
Perjuangan Masyarakat Adat Papua
Sorotan tajam datang dari Tanah Papua, tempat perayaan Hari Bumi menyatu dengan kegiatan refleksi dan perlawanan terhadap perampasan tanah adat, deforestasi, perluasan lahan sawit, lahan tebu, hingga ekspansi food estate.
“Ekosistem bumi dan kehidupan manusia saling terkait erat. Setiap tindakan manusia berdampak terhadap sistem alam planet ini,” kata Franky Samperante, direktur eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA), saat mengikuti kegiatan memperingati Hari Bumi di Sorong Selatan.
“Namun, kebijakan dan praktik ekstraksi sumber daya alam telah menghancurkan bumi, menyingkirkan kehidupan rakyat penghuni bumi, terjadi bencana ekologi dan keretakan metabolik”.
Menurutnya, kekuatan rakyat akar rumput selalu menjadi inti perubahan untuk membangun masa depan dan lingkungan hidup yang baik dan sehat, berkelanjutan, melindungi hak asasi rakyat, bumi tanpa penindasan dan berkeadilan.
Pada peringatan Hari Bumi di tahun ini (2025), Yayasan Pusaka Bentala Rakyat bersama Masyarakat Adat Afsya di Sorong Selatan dan kelompok perempuan asal Suku Tehit Afsya, Nakna, Wehali, Knasaimos, Moi Kelim – Kalatomok, berkumpul di Kampung Bariat, Distrik Konda, untuk berdiskusi dan berbagi pengetahuan tentang tanah, hutan dan pengetahuan pangan.
“Kami berkomitmen mengamankan wilayah adat untuk keberlanjutan hidup manusia dan bumi,” jelas Franky. Dalam kegiatan tersebut, hadir pula Wakil Bupati Sorong Selatan, Yohan Bodori, selaku perwakilan Pemerintah Daerah.
Saat penyambutan bagi para tamu yang menghadiri kegiatan ini, masyarakat adat Afsya tampil menggunakan busana tradisional dan mengawali kegiatan dengan tarian tradisional. Seorang kepala suku yang tubuhnya dibalut pakaian adat, melakukan prosesi adat penyambutan tamu dengan pemotongan ranting pohon pembatas yang merintangi jalan menggunakan parang.
Peringatan Hari Bumi juga dilakukan oleh sejumlah aktivis lingkungan di Kota Sorong. Bertempat di sekertariat Komunitas Belantara Papua di Remu, dilakukan pemutaran 2 film bertema lingkungan dan diskusi. Kegiatan ini dihadiri perwakilan mahasiswa, pemuda adat dan kemunitas peduli lingkungan.
Kedua film yang diputar berjudul: Sejarah Hari Bumi dan Surat Untuk Bumi. Kegiatan ini ditujukan untuk menyikapi berbagai persoalan nyata yang dihadapi masyarakat adat Papua dan mandeknya Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) yang belum juga disahkan oleh DPR RI.
“Sudah banyak peraturan di daerah yang telah mengakui eksistensi dan hak-hak masyarakat adat. Jadi seharusnya DPR RI dan Pemerintah Indonesia sudah harus mengupayakan agar RUU MA bisa disahkan,” kata Samuel Moifilit, pemandu acara diskusi ini yang juga Movement Consolidator Greenpeace Indonesia.
Menurutnya, jika UU Minerba, Revisi UU TNI dan UU lain-lain bisa disahkan secepat mungkin, mengapa RUU MHA yang diwacanakan sejak awal 2003 belum juga disahkan? Padahal, RUU MHA telah dirumuskan oleh DPR RI pada 2010 dan dibahas pada 2012. Namun belum juga disahkan hingga saat ini (2025).
“Bagi kami, hanya masyarakat adat yang bisa menjaga bumi. Sebab mereka tidak punya eksavator dan sensor. Mereka hanya punya parang, kapak, busur dan panah,” tegas Samuel. Kegiatan memperingati Hari Bumi melalui pemutaran film dan diskusi ini difasilitasi Komunitas Belantara Papua Kota Sorong yang berkolaborasi dengan Greenpeace Indonesia bersama Konfederasi Selamatkan Tanah, Hutan dan Manusia Papua.
Pemutaran film dan diskusi menghadirkan tiga penanggap: Amos Sumbung (juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia), Soraya Do (perempuan adat Moi yang juga volunteer Greenpeace Indonesia basis Sorong) dan Fiktor Kafiyu (koordinator Konfederasi Selamatkan Tanah, Hutan dan Manusia Papua).
Refleksi Sejarah Hari Bumi
Hari Bumi pertama kali diperingati pada 22 April 1970 di Amerika Serikat, sebagai respon terhadap bencana tumpahan minyak di Santa Barbara, California pada tahun 1969 dan meningkatnya kesadaran ekologis generasi muda.
Diprakarsai oleh Senator Gaylord Nelson, aksi ini menggerakkan jutaan orang turun ke jalan, menandai lahirnya gerakan lingkungan hidup modern yang dilakukan secara massal. Sejak itu, Hari Bumi menjadi momentum tahunan yang dirayakan di lebih dari 190 negara, melibatkan satu miliar partisipan, menjadikannya perayaan sipil terbesar di dunia.
Peringatan Hari Bumi di tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya, biasanya ditandai dengan seruan dari para pemimpin politik dan spiritual dunia. Sosok Paus Fransiskus, pemimpin umat Katolik dunia yang baru saja berpulang menjelang peringatan Hari Bumi 2025 misalnya, telah meninggalkan legasi yang menekankan pentingnya ekologi integral, tanggung jawab moral Gereja dan umat untuk menjaga rumah bersama sebagaimana ditegaskan dalam ensiklik Laudato Si’.
Sebab krisis iklim bukan hanya soal sains, teknologi dan kebijakan. Ini soal etika, soal solidaritas, soal iman, soal kemanusiaan dan tanggung jawab menjaga bumi. Jika kita sungguh percaya bahwa bumi ini ciptaan Tuhan, maka kita harus bertobat dari dosa-dosa ekologis kita.
Hari Bumi 2025 bukan hanya panggilan untuk mengurangi plastik atau menanam pohon. Ini adalah panggilan untuk mengubah cara hidup, sistem ekonomi, dan relasi kita dengan alam, tanah, hutan, sungai, laut, danau hingga sesama makhluk hidup.
Dari pusat-pusat kekuasaan global hingga dusun-dusun adat di hutan Papua, suara yang sama menggema: Bumi sedang sekarat, dan umat manusia harus bangkit. Karena itu, di tengah parade, ritual, dan doa, Hari Bumi adalah ajakan untuk membangun dunia baru, dunia yang bukan dibangun atas nama laba atau mencari keuntungan sendiri, tetapi kehidupan.
Hari Bumi bukan sekadar perayaan global, tetapi momentum suci untuk mempertanyakan siapa yang sesungguhnya mengelola bumi ini, manusia atau kekuasaan politik yang rakus?
Bagi masyarakat adat Papua, tanah bukanlah komoditas. Ia adalah ibu (mama) dan pemberi kehidupan. Hari Bumi di Papua adalah jeritan dari hutan-hutan yang dibabat dan sungai yang tercemar demi pembangunan yang datang, tapi tidak pernah diminta oleh masyarakat adat Papua.
Di Merauke Papua Selatan misalnya, kelompok masyarakat adat Anim Ha seperti suku Marind, sedang tergerus dan berjuang untuk melawan ekspansi Proyek Strategis Nasional (PSN) dari Pemerintah Indonesia. Sebab proyek ini tidak hanya berdampak buruk terhadap ekologis, tetapi juga sosial, ekonomi dan lain-lain.
Krisis iklim dan pemanasan global beserta segala dampaknya adalah persoalan serius yang makin nyata. Bumi sedang terluka, menangis dan terkadang dapat memberontak dengan caranya berdasarkan hukum-hukum alam.
Krisis iklim merupakan dampak dari krisis moral. Ini terjadi karena keserakahan manusia. Momentum Peringatan Hari Bumi mengingatkan kita untuk perlu beralih dari sekedar peringatan, tetapi dapat melakukan aksi nyata menyelamatkan bumi dalam kehidupan sehari-hari. (Julian Haganah Howay)
