Pulau Manuran di Distrik Waigeo, Raja Ampat, mengalami deforestasi dan pengerukan material tambang nikel. Pulau ini memiliki luas sekitar 746,86 hektar dan dikenal sebagai lokasi penambangan nikel oleh PT Anugerah Surya Pratama (doc : Auriga Nusantara/AP).
PENCABUTAN empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Kabupaten Raja Ampat pada 12 Juni 2025 menjadi sorotan utama.
Keempat perusahaan: PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining, telah dicabut izinnya menyusul pelanggaran lingkungan dan status kawasan Raja Ampat sebagai Geopark UNESCO.
Namun, satu nama besar, PT Gag Nikel, anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (Antam), masih diizinkan beroperasi. Inilah yang menjadi pertanyaan besar bagi kita semua, terutama mereka yang berjuang demi keberlanjutan Raja Ampat.
Keputusan pencabutan empat IUP ini adalah hasil Rapat Terbatas (Ratas) yang dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto pada 9 Juni 2025. Evaluasi lintas kementerian, termasuk Kementerian ESDM, KLHK, dan Kementerian Sekretariat Negara, menemukan tiga alasan utama di balik pencabutan ini:
Pertama, Pelanggaran Lingkungan: Keempat perusahaan terbukti melakukan aktivitas yang merusak ekosistem, termasuk di kawasan Geopark Raja Ampat yang telah ditetapkan UNESCO pada 2023.
Kedua, Keberadaan dalam Kawasan Geopark: Izin-izin tersebut diterbitkan sebelum penetapan Geopark Raja Ampat pada 2017 oleh Pemerintah Indonesia dan 2023 oleh UNESCO. Ini jelas bertentangan dengan prioritas pelestarian kawasan untuk konservasi dan pariwisata kelas dunia.
Ketiga, Rekomendasi Pemerintah Daerah: Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Provinsi Papua Barat Daya telah merekomendasikan pencabutan izin tambang di dalam kawasan Geopark untuk mendukung pariwisata berkelanjutan.
Langkah ini juga sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, yang bertujuan menertibkan kegiatan berbasis sumber daya alam, termasuk pertambangan, demi menjaga keberlanjutan lingkungan.
Dasar Hukum yang Dilanggar
Secara hukum, aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat seharusnya dilarang. Beberapa regulasi yang relevan dan telah dilanggar meliputi: Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (4): Perekonomian nasional harus berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, sebuah prinsip yang jelas dilanggar oleh aktivitas tambang di Raja Ampat.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil: Pasal 23 ayat (2) dengan tegas menyatakan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil diprioritaskan untuk konservasi, pariwisata, penelitian, budidaya laut, dan perikanan berkelanjutan, bukan untuk pertambangan. Pasal 51 ayat (1) bahkan memberikan kewenangan kepada menteri untuk mencabut izin yang menyebabkan dampak lingkungan signifikan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023: Putusan ini semakin memperkuat larangan aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil demi menjaga keberlanjutan lingkungan.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba): Bersama dengan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022, regulasi ini menekankan penertiban izin tambang yang tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan.
Mengapa PT Gag Nikel Masih Beroperasi?
Meskipun empat IUP telah dicabut, PT Gag Nikel masih diizinkan beroperasi. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa konsesi PT Gag Nikel berada di Pulau Gag, yang berjarak 42 km dari Piaynemo dan di luar kawasan Geopark Raja Ampat.
Pemerintah juga mengklaim perusahaan ini memenuhi syarat teknis dan geografis, memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), serta Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk 2025, bahkan telah melakukan reklamasi pada sebagian lahan yang ditambang.
Namun, klaim pemerintah sebagai pemilik PT Gag Nikel, anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (Antam), tentu tidak dalam posisi independen untuk memberikan penilaian yang objektif terhadap kinerja perusahaan.
Pernyataan Menteri ESDM ini menunjukkan inkonsistensi dan ketiadaan political will dari pemerintah untuk menegakkan konstitusi dengan mencabut semua IUP tanpa terkecuali.
Reaksi keras pun bermunculan. Prof. Dr. Siti Nurbaya, mantan Menteri KLHK, dengan tegas menandaskan, “Pencabutan izin adalah langkah baik, tetapi tidak cukup. Raja Ampat harusnya bebas dari semua tambang karena statusnya sebagai kawasan konservasi laut terpenting di dunia.”
Senada dengan itu, Dr. Marcus Colchester dari Forest Peoples Programme, Inggris, juga memberikan komentar pedas, “Memperbolehkan bahkan satu saja perusahaan tambang beroperasi di Raja Ampat bertentangan dengan komitmen Indonesia di bawah UNDRIP dan Perjanjian Paris.”
Langkah ke Depan: Menegakkan Konstitusi dan Keadilan Lingkungan
Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2014 dan Putusan MK Nomor 35/PUU-XXI/2023, seharusnya tidak ada aktivitas tambang sama sekali di pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat, termasuk Pulau Gag yang hanya seluas 60 km².
Untuk itu, Institut Usba memandang perlu untuk menyampaikan sikap tegas:
Pertama, Dialog dengan Masyarakat Adat: Mendesak Wakil Presiden RI sebagai Ketua Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) untuk berdialog langsung dan bermusyawarah dengan seluruh lapisan masyarakat adat di Raja Ampat.
Tujuannya adalah mencari solusi atas permasalahan tambang nikel di Raja Ampat serta merumuskan langkah-langkah programatis untuk memajukan kesejahteraan umum
Kedua, Pencabutan IUP PT Gag Nikel: Konstitusi harus ditegakkan demi keadilan tanpa diskriminasi. Pemerintah harus mencabut IUP PT Gag Nikel, sebagaimana pencabutan empat IUP nikel lainnya.
Ketiga, Audit Lingkungan Independen: Perlu dilakukan audit lingkungan oleh lembaga audit independen internasional untuk melihat sejauh mana kerusakan lingkungan yang sudah terjadi di Pulau Gag.
Keempat, Reklamasi, Pascatambang, dan Restorasi Ekologis: Setelah pencabutan IUP PT Gag Nikel, pemerintah sebagai pemilik PT Gag Nikel harus bertanggung jawab penuh untuk melakukan.
Tanggung jawab reklamasi: meliputi pemulihan fisik (tanah, vegetasi, topografi). Pasca tambang: Meliputi pemulihan sosial ekonomi masyarakat terdampak. Restorasi Ekologis: Meliputi pemulihan keanekaragaman hayati.
Kami mengajak masyarakat untuk terus mengawasi implementasi kebijakan ini dan mendukung upaya pelestarian Raja Ampat sebagai warisan dunia.
Penting untuk terus mengawasi pemerintah agar tetap konsisten berkomitmen menjaga transparansi dan melibatkan masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat, dalam pengambilan keputusan sesuai prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC).
Raja Ampat adalah permata dunia yang harus kita jaga bersama, bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk generasi mendatang. Akankah pemerintah akhirnya menunjukkan komitmen penuh terhadap perlindungan lingkungan dan hak masyarakat adat di Raja Ampat, ataukah kemenangan ini hanya akan menjadi semu?
(*) Charles Imbir adalah penulis artikel ini. Ia adalah direktur Institut Usba yang berbasis di Waisai, Raja Ampat, Papua Barat Daya. Institut Usba adalah sebuah organisasi independen yang bekerja dengan misi pelestarian tradisi dan ekosistem lingkungan untuk kehidupan yang berkelanjutan.
