Saya memegang daun Pohon Pangi (Pangium edule) atau disebut Seruwiam atau Naa dalam bahasa Maybrat (doc: wenebuletin).
Maybrat, Papua Barat Daya – Siang itu, matahari tropis menggantung tinggi di atas kepala. Membakar ubun-ubun saat kami melangkah masuk ke jantung hutan Kampung Susumuk, Distrik Aifat, Kabupaten Maybrat.
Rabu, 23 Juli 2025, kami memulai sebuah perjalanan kecil namun penuh makna bersama seorang saudara laki-laki yang adalah pemuda kampung, Samuel Tahrin.
Dari pukul 11.30 hingga 14.33 WIT, kami menyusuri lorong-lorong hijau yang menyembul di permukaan kawasan perbukitan kapur (karst) yang masih bernapas. Mencoba merangkai kembali benang-benang kearifan lokal yang nyaris putus.
Hutan menyambut kami dalam diamnya yang megah. Gunung-gunung berjajar perkasa bak barisan penjaga purba, sementara lembah-lembah menganga curam, menampilkan lanskap liar yang belum sepenuhnya tersentuh tangan manusia.
Suara riuh burung-burung hutan yang dalam bahasa Maybrat disebut burung kontaif, karok, iek, Arit, dan kawanan lainnya, bersahutan dari kanopi pepohonan.
Mereka seolah menyanyikan nyanyian lama, melodi abadi yang hanya bisa didengar oleh mereka yang datang dengan hati terbuka. Jejak babi hutan samar terlihat di tanah lembap, dan bekas galian tikus tanah menganga kecil di balik rimbun perdu.
Ini pertanda alam masih hidup, masih berbicara dalam bahasanya sendiri.
Di tengah kerimbunan itu, kami menemukan kembali satu nama yang nyaris dilupakan: pohon pangi, atau dalam bahasa Maybrat disebut Seruwiam atau Naa (nama latin: Pangium edule).
Pohon itu bukan sekadar tumbuhan liar yang tumbuh sembarangan. Ini adalah lembaran hidup dari kitab kehidupan orang Maybrat, tumbuh bukan hanya dari tanah, melainkan dari sejarah panjang, dari kearifan leluhur, dan dari relasi sakral antara manusia dan alam.
Sejak masa nenek moyang, buah dan daun seruwiam telah menjadi nadi kehidupan. Buah yang matang dipetik dengan hati-hati, direbus, lalu dikupas kulitnya. Isinya diiris tipis, dimasukkan ke dalam batang bambu, dan direndam dalam air selama dua hari.
Dari proses panjang ini, muncullah aroma khas yang menggoda, pertanda bahwa buah telah siap disantap. Teksturnya lembut, rasanya alami, dan kandungan gizinya melimpah. Bagi orang Maybrat, ini bukan sekadar makanan; ini adalah warisan, sebuah identitas yang tertanam kuat dalam setiap gigitan.
Tak hanya buahnya, daun seruwiam pun menyimpan rahasia pengobatan tradisional yang luar biasa. Dalam kebiasaan turun-temurun, daun ini dipercaya ampuh membasmi kutu rambut.
Biasanya daun akan dipanaskan di atas api, dibungkuskan ke rambut, dan dibiarkan selama satu jam. Saat dibuka, kutu-kutu telah mati, tanpa bahan kimia, tanpa efek samping. Hanya ramuan alam dan keyakinan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Ilmu ini dahulu diwariskan dengan penuh hormat dari para tetua, tokoh adat, dan orang tua kampung. Setiap langkah, mulai dari memetik, mengolah, hingga menyajikan, dilakukan dengan petuah dan kebijaksanaan.
Tak ada yang tergesa, tak ada yang sembrono. Semua bergerak dalam kesadaran penuh bahwa pohon juga memiliki ruh, bahwa hidup berdampingan berarti saling menghargai.
Namun, zaman telah berganti. Angin perubahan membawa kabar yang tak selalu menjanjikan. Di tengah arus teknologi dan modernisasi yang tak terbendung, pohon seruwiam perlahan memudar dari ingatan kolektif.
Hutan tempat ia tumbuh jarang lagi dijejak, digantikan oleh hiruk pikuk kehidupan modern. Anak-anak muda kini lebih akrab dengan layar gawai daripada dengan nama-nama pohon yang tumbuh di sekeliling mereka.
Pengetahuan yang dahulu disampaikan lewat cerita lisan kini nyaris menghilang, tenggelam oleh bisingnya dunia digital.
Padahal, Seruwiam bukan sekadar pohon. Ini adalah arsip hidup dari kebijaksanaan lokal. Ini mengingatkan kita bahwa manusia dan alam pernah hidup dalam harmoni yang sempurna. Bahwa makanan, kesehatan, dan keberlanjutan bisa ditemukan dari apa yang tumbuh di sekeliling kita, jika kita cukup rendah hati untuk mendengar dan belajar.
Kini, pertanyaan besar pun menggantung di langit Maybrat: akankah kita mempertahankan warisan berharga ini, atau membiarkannya hilang ditelan zaman?
Mungkin, masa depan kita tersembunyi dalam apa yang sedang kita lupakan. Karena itu marilah menoleh ke belakang, bukan untuk mundur, tetapi untuk mengakar.
Sebab dari akarlah, pohon-pohon besar bisa tumbuh kembali, menaungi harapan dan kearifan bagi generasi mendatang.
(*) Imanuel Tahrin adalah penulis artikel ini. Penulis seorang aktivis lingkungan, pelestari budaya dan pendiri Yayasan Peduli Tata Ruang (Petarung) Papua yang berbasis di Kampung Susumuk, Maybrat.
