Pulau Manuran di Distrik Waigeo, Raja Ampat, mengalami deforestasi dan pengerukan material tambang nikel. Pulau ini memiliki luas sekitar 746,86 hektar dan dikenal sebagai lokasi penambangan nikel oleh PT Anugerah Surya Pratama (doc : Auriga Nusantara/AP).
Raja Ampat, Papua Barat Daya – Di sebuah kampung nelayan kecil yang tak jauh dari pulau Gag di Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, seorang nelayan tradisional bernama Yacob Dimara mengamati perubahan laut yang selama ini menjadi hidupnya.
Ia lahir dan dibesarkan di atas pasir putih yang kini tak lagi sebersih dulu. Di pagi hari, ia biasanya bisa melihat dasar laut yang airnya bening, sejauh beberapa meter dari perahunya. Tapi kini air keruh membuat pandangannya tertutup lumpur.
Akibatnya, jika harus memancing atau melaut, ia harus pergi lebih jauh untuk mendapatkan ikan. “Dulu cukup setengah hari melaut, sekarang bisa dua hari tidak dapat apa-apa,” katanya lirih.
Situasi ini bukan hanya dialami oleh Yacob Dimara. Banyak warga yang hidup di sepanjang garis pantai merasakan perubahan yang drastis sejak perusahaan tambang mulai masuk. Selain penurunan hasil tangkapan, mereka juga kehilangan pendapatan dari homestay dan jasa wisata selam karena beberapa lokasi diving favorit mulai sepi kunjungan.
Wisatawan yang biasanya datang untuk menikmati kejernihan air dan warna-warni terumbu karang kini mulai menghindari area yang dekat dengan lokasi tambang. Kondisi ini menyebabkan munculnya berbagai aksi penolakan dari masyarakat yang sebenarnya tidak sedikit.
Aksi protes dan penyampaian aspirasi telah dilakukan, baik ke pemerintah daerah maupun pusat. Namun, suara masyarakat pesisir kerap tenggelam di tengah gegap gempita investasi dan narasi besar “transisi energi hijau” melalui pertambangan nikel yang digaungkan dari pusat kekuasaan.
Transisi ini seringkali menafikan kenyataan bahwa bahan mentahnya ditambang dari wilayah-wilayah adat, pulau kecil, dan kawasan ekosistem rentan seperti Raja Ampat. Sebagaimana banyak contoh di wilayah timur Indonesia, pemerintah kerap berdalih bahwa proyek pertambangan akan membawa pembangunan, infrastruktur, dan lapangan kerja.
Namun, di banyak tempat, janji tersebut tak lebih dari sekedar janji dan mimpi kosong! Karena sebagian besar tenaga kerja tambang dibawa dari luar daerah, sementara masyarakat lokal hanya mendapat pekerjaan kasar dengan upah rendah, atau bahkan tidak dilibatkan sama sekali.
Belum lagi dampaknya terhadap kedaulatan wilayah adat. Izin-izin pertambangan yang dikeluarkan pemerintah sering kali tidak mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat yang telah mendiami dan mengelola wilayah ini secara turun-temurun.
Alih-alih pembangunan partisipatif, yang terjadi adalah marginalisasi dan pengabaian terhadap hak-hak dasar mereka atas tanah, laut, dan lingkungan hidup yang sehat.
Nikel Mencoreng Kemilau Surga Bahari
Di antara bentang tropis yang membentang di ujung timur Indonesia, tersimpan sebuah surga laut yang telah lama menjadi mahkota keanekaragaman hayati dunia: Raja Ampat. Dengan 75% spesies karang dunia dan lebih dari 1.600 jenis ikan laut, termasuk penyu sisik yang terancam punah dan pari manta yang rentan, kawasan ini bukan sekadar destinasi wisata, ia adalah jantung ekosistem global.
Namun, di balik permukaan lautnya yang tenang dan gugusan pulaunya yang memesona, luka besar tengah terbuka. Di tengah gencarnya dorongan transisi energi global, Raja Ampat menjadi korban dari ambisi ekstraktif: pertambangan nikel.
Dalam laporan terbaru dari sebuah organisasi lingkungan di Indonesia bernama Auriga Nusantara, terungkap bahwa aktivitas pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat meningkat secara drastis dalam lima tahun terakhir.
Citra satelit dan kunjungan lapangan mereka mencatat bahwa lahan tambang bertambah sekitar 494 hektare hanya dari 2020 hingga 2024, meningkat tiga kali lipat dibanding periode sebelumnya. Total luas izin pertambangan di wilayah ini kini mencapai lebih dari 22.420 hektare, semuanya untuk nikel.
Ironisnya, salah satu pulau yang kini ditambang berada di dalam kawasan Geopark Global UNESCO yang baru saja ditetapkan pada tahun 2023. Ini menandakan betapa minimnya komitmen terhadap perlindungan jangka panjang terhadap warisan geologis dan ekosistem yang ada.
Timer Manurung, Direktur Auriga Nusantara, tidak menutupi kekhawatirannya. “Selama penambangan nikel terus berlangsung, endapan sedimen akan merusak terumbu karang dan ekosistem laut di sekitarnya. Ini ancaman serius bagi Raja Ampat.” ujarnya prihatin.
Dari udara, luka-luka tambang tampak jelas. Lubang-lubang besar berisi kerikil dan tanah berwarna oranye-cokelat merusak kehijauan pulau, meninggalkan bekas tebasan yang menyakitkan pada lanskap.
Sementara dari laut, sedimen yang terbawa arus mulai menyelimuti karang, menurunkan kejernihan air, dan secara perlahan mencekik kehidupan bawah laut.
Victor Nikijuluw, penasihat program dari organisasi Konservasi Indonesia, menegaskan dalam pernyataan tertulisnya bahwa sedimentasi dari tambang daratan yang mengalir ke laut telah menyebabkan kerusakan serius.
“Terumbu karang terkubur lumpur, satwa laut terganggu dan berpindah, dan ekosistem menjadi tak stabil. Semua ini berdampak langsung pada kehidupan masyarakat lokal.” kata Victor.
Bagi masyarakat setempat, perubahan ini bukan hanya persoalan lingkungan. Ini adalah ancaman langsung terhadap mata pencaharian. Banyak dari mereka hidup dari laut: menangkap ikan, melayani wisatawan penyelam, menjaga homestay, atau menjadi pemandu wisata.
Edy Setyawan, seorang ahli ekologi kelautan yang bekerja di Raja Ampat, menyampaikan bahwa warga lokal mulai merasakan dampaknya. “Air semakin keruh. Ikan pun tampak makin sulit ditemukan di beberapa lokasi,” jelasnya.
Kunjungan Wisatawan Menurun
Peningkatan tajam kunjungan wisata juga menjadi indikator betapa berharganya wilayah ini. Pada 2023, tercatat lebih dari 19.800 wisatawan mengunjungi Raja Ampat, naik tiga kali lipat dari tahun sebelumnya.
Industri pariwisata pun tumbuh, menciptakan lapangan kerja dan alternatif ekonomi yang lebih berkelanjutan ketimbang tambang. Namun, semua ini terancam lenyap jika aktivitas ekstraktif terus berlanjut tanpa kendali.
Kekhawatiran ini tidak datang dari komunitas lokal dan aktivis lingkungan semata. Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia pun telah menyuarakan keprihatinan mereka terhadap dampak ekspansi tambang nikel. Namun, suara-suara ini kerap kalah nyaring dibanding kepentingan korporasi dan negara yang mengejar keuntungan dari bahan mentah transisi energi: nikel, kobalt, dan bauksit.
Indonesia, dengan cadangan nikel terbesar di dunia, kini menjadi pusat perhatian dalam rantai pasokan global baterai kendaraan listrik dan baja tahan karat. Karena itu, Pemerintah Indonesia giat mendorong industri pengolahan nikel, meskipun hal itu harus dibayar dengan kerusakan lingkungan dan pelanggaran terhadap wilayah-wilayah rentan seperti pulau-pulau kecil.
Padahal, Mahkamah Konstitusi Indonesia telah mengeluarkan putusan pada Maret 2024 yang menyatakan bahwa pulau-pulau kecil memerlukan perlindungan khusus dari aktivitas berbahaya seperti pertambangan. Sayangnya, putusan tersebut seolah tidak digubris.
Pemerintah masih terus mengeluarkan izin baru di wilayah-wilayah seperti Raja Ampat, dengan dalih pembangunan dan transisi energi.
Dalam tanggapan resmi pada Desember 2024, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengakui perlunya “penilaian dampak lingkungan yang ketat dan praktik pembangunan berkelanjutan” untuk pulau-pulau kecil. Namun, tindakan nyata di lapangan tampaknya masih minim.
Kelambanan merespon persoalan yang terjadi dan keheningan ini menjadi kontras mencolok di tengah sorotan global terhadap pentingnya perlindungan wilayah laut dan biodiversitas di Raja Ampat.
Sayyidatiihayaa Afra, peneliti dari organisasi lingkungan Satya Bumi, menegaskan bahwa transisi energi harus tetap taat pada prinsip keadilan ekologis. “Tidak bisa kita sebut transisi itu berkelanjutan kalau lingkungan dihancurkan demi bahan mentah energi bersih. Itu bukan solusi, itu hanya memindahkan krisis.”
Raja Ampat, simbol kekayaan laut Tanah Papua, kini berdiri di persimpangan sejarahnya. Akankah ia dijaga sebagai taman bawah laut dunia, atau akan menjadi halaman belakang industri global yang menyisakan luka dan kehilangan?
Waktu akan menjawab. Tapi saat ini, kerusakan tampak di depan matan dan dampaknya sudah mulai terasa. Jika tak ada respon untuk perubahan, surga itu mungkin tinggal cerita.
Luka di Tengah Transisi Hijau
Perluasan tambang nikel di Raja Ampat memperlihatkan paradoks besar dalam wacana transisi energi global. Di satu sisi, nikel dianggap sebagai mineral penting untuk produksi baterai kendaraan listrik dan penyimpanan energi ramah lingkungan.
Namun di sisi lain, proses ekstraksinya justru meninggalkan kerusakan ekologis yang signifikan, terlebih ketika dilakukan di wilayah-wilayah sensitif dan belum sepenuhnya dipetakan secara ekologis maupun sosial-budaya.
Indonesia memang tengah memposisikan diri sebagai pemain utama dalam rantai pasokan global logam tanah jarang dan mineral energi. Namun ketergesaan untuk menjadi “lumbung nikel dunia” telah mengabaikan prinsip kehati-hatian dan keadilan lingkungan.
Hukum yang melindungi pulau kecil, seperti putusan Mahkamah Konstitusi 2024, tidak memiliki kekuatan implementasi jika negara sendiri masih aktif memberikan izin tambang di wilayah-wilayah tersebut. Model pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan kapasitas daya dukung lingkungan akan menghasilkan krisis ekologis baru.
Apalagi jika pembangunan itu merampas ruang hidup masyarakat lokal yang selama ini secara sadar menjaga alam. Bukan sekadar karena kewajiban hukum, tapi karena ketergantungan hidup yang tak terpisahkan dari laut dan hutan.
Raja Ampat kini berdiri di ambang masa depan yang genting. Jika eksploitasi tambang terus meluas, bukan hanya laut dan hutan yang akan hilang, tetapi juga jati diri wilayah ini sebagai benteng terakhir keanekaragaman hayati laut dunia.
Dalam jangka panjang, kerusakan ini akan lebih mahal biayanya ketimbang seluruh nilai ekspor nikel yang diambil dari perut bumi Papua. Pertanyaannya, transisi energi seperti apa yang hendak dibangun Pemerintah Indonesia, jika harus menumbalkan ekosistem paling penting yang tersisa? Sioo…., Raja Ampat sehhh..! (Julian Haganah Howay)
