Masyarakat adat suku Tehit saat melakukan aksi damai di Teminabuan, Sorong Selatan (doc : Angky/Pusaka)
Teminabuan, Sorsel, PBD – Di balik rimbunnya hutan hujan tropis dan sunyi angin lembah Distrik Konda dan Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan, ada narasi panjang yang jarang terekam secara utuh: narasi masyarakat adat yang memperjuangkan hak atas tanah dan hutan mereka.
Pernyataan sikap yang disampaikan oleh masyarakat adat suku besar Tehit (termasuk sub-suku Mlaqya, Gemna, Afsya, Nakna dan Suku Yaben) pada 28 Oktober 2025 melalui aksi damai di Teminabuan, menjadi titik balik penting dari perjuangan yang telah berjalan lama.
“Tanah Adat adalah Hidup Kami / Masyarakat Adat / Tanah Adat adalah Masa Depan Bumi.” demikian judul pers rilis yang memuat pernyataan sikap masyarakat adat Tehit dari Distrik Konda dan Teminabuan, saat menggelar aksi damai yang ditujukan kepada Pemda Kabupaten Sorong Selatan.
Wilayah adat masyarakat Suku Tehit mencakup Distrik Teminabuan dan Distrik Konda di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya. Menurut data sensus 2024, jumlah populasi Suku Tehit sebanyak 20.000 jiwa, sebagai kelompok etnis yang mendiami wilayah ini.
Hutan, sungai, rawa, dan sagu, semuanya bukan sekadar sumber daya, tetapi rumah, ruang hidup dan warisan leluhur. Sebagai contoh, masyarakat sub suku Afsya membagi wilayah hidup mereka menjadi Ngganggit (hutan/daratan) dan Mraoro (perairan dan rawa), menunjukkan pemahaman ekologis lokal yang kaya.
Masyarakat adat di Sorong Selatan sebenarnya paham betul bahwa hutan adalah bagian vital dari hidup mereka. Kehilangan hutan akan berdampak kepada masa kini dan masa depan.
Kini, saat tanah dan hutan mereka menghadapi rencana ekspansi perkebunan sawit, makna tanah adat menjadi taruhan utama.
Pernyataan sikap yang dibuat menyoroti secara tegas bahwa pemerintah pusat, pemerintah daerah dan perusahaan belum pernah secara terbuka bertemu masyarakat guna meminta persetujuan mereka sebagai pemilik tanah adat.
Ini sangat relevan dengan catatan bahwa rencana perusahaan PT Anugerah Sakti Internusa (ASI) memperoleh izin lokasi sekitar 37.000 ha di Distrik Teminabuan dan Konda lewat SK Bupati No. 522/184/BSS/XII/2013 tertanggal 16 Desember 2013.
Namun, masyarakat adat melaporkan bahwa mereka tidak pernah memberikan persetujuan atas rencana perusahaan. Hal ini diperkuat dengan riset lapangan Mongabay bahwa Suku Tehit, dari sekitar 2013, secara konsisten menolak kehadiran perusahaan sawit.
Lebih lanjut, izin ASI kemudian telah dicabut oleh Bupati Sorong Selatan saat itu, Samsudin Anggiluli, pada 3 Mei 2021. Tapi perusahaan sawit itu kemudian menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura (PTUN), namun gugatan ditolak.
Dengan demikian, dalam pers rilis masyarakat adat Tehit menyatakan bahwa perizinan dan rencana operasi perusahaan akan menghancurkan dan menghilangkan hak mereka atas tanah dan hutan adat, memiliki dukungan riil dalam bentuk dokumen hukum maupun riset lapangan.
Mata pencaharian utama masyarakat adat Tehit di Sorong Selatan adalah berkebun, berburu di hutan, meramu sagu dan mencari ikan di sungai maupun rawa sehingga menjadi pusat keberlangsungan hidup mereka.
Namun ketika perkebunan sawit masuk, alam yang menyediakan kehidupan bagi mereka berubah menjadi lahan monokultur perkebunan sawit, sehingga wilayah dan hutan adat sebagai ruang hidup terganggu.
Sub suku Afsya misalnya, memiliki pantangan adat yang sangat konkret seperti larangan melewati kebun ketika sudah tahap menanam, sebagai bagian dari relasi mereka dengan alam.
Dalam pernyataan, mereka menjelaskan: “kami tidak pernah memberikan sejengkal tanah adat dan hutan adat kepada perusahaan dan pemodal untuk bisnis perkebunan kelapa sawit.”
Hal ini menunjukkan bahwa mereka mempertahankan hak kolektif atas wilayah adat mereka dengan tegas.
Negara, Lingkungan dan Hak Asasi
Pada 23 September 2025, Presiden RI Prabowo Subianto menyampaikan pidato yang tampak berapi-api di Sidang Umum ke-80 PBB bahwa Indonesia berkomitmen terhadap target emisi nol bersih dan pengurangan deforestasi.
Meski pernyataan itu sejalan dengan agenda global, namun pernyataan masyarakat Tehit menyebut bahwa rencana PT Anugerah Sakti Internusa (ASI) bertentangan dengan komitmen negara Indonesia.
Bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundangan, serta tujuan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Sebagaimana diatur dalam beberapa regulasi antara lain Putusan MK No. 35/2012 yang mengakui masyarakat adat, Permendagri No. 52/2014 dan Permen LH No. 17/2020.
Dari sisi ekologi, hutan di Kabupaten Sorong Selatan memiliki fungsi penting. Sebagai ekosistem hutan hujan, lahan gambut dan mangrove yang menyimpan karbon besar.
Ketika masyarakat adat kehilangan hutan, mereka tidak hanya kehilangan pangan dan mata pencaharian, tetapi identitas, nilai sosial dan spiritual.
Karena itu dalam pers rilis, masyarakat adat suku Tehit yang tersebar di Distrik Konda dan Teminabuan menyatakan beberapa tuntutan antara lain:
Bupati Sorong Selatan, Petronella Krenak, harus mengeluarkan rekomendasi bahwa pemerintah punya kewajiban menghormati dan melindungi hak keputusan masyarakat adat, dan tidak mengeluarkan izin usaha di atas tanah adat mereka.
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sorong Selatan harus menyatakan ke publik bahwa pemerintah tidak akan memproses Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah adat milik masyarakat kepada perusahaan sawit PT ASI.
Mereka juga menegaskab bahwa tanah adat, hutan adat dan kekayaan alam hanya diwariskan untuk generasi mereka, dan pengetahuan serta komitmen mereka telah memberikan sumbangan bagi keberlanjutan bumi.
Masyarakat adat ini juga menyatakan, apabila tuntutan mereka tidak ditindaklanjuti, mereka akan kembali melakukan aksi damai dengan kekuatan masa yang besar untuk mendesak Pemda Sorsel.
Sejak 2013 masyarakat Tehit telah melakukan aksi penolakan dalam bentuk demonstrasi, orasi, serta kampanye publik terhadap kehadiran perusahaan sawit. Hal ini menunjukan komitmen mereka untuk menjaga tanah beserta ruang hidupnya.
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat yang terlibat mengadvokasi masyarakat di wilayah ini, menyatakan setelah pencabutan izin beberapa perusahaan sawit, langkah ke depan masih panjang. Misalnya, perjuangan untuk pengakuan hutan adat dan perlindungan hak masyarakat masih belum selesai.
Tanah, Budaya dan Masa Depan
Pernyataan “Tanah Adat adalah Hidup Kami / Tanah adalah Masa Depan Bumi” yang digaungkan, menegaskan bahwa bagi masyarakat adat Tehit, tanah dan hutan bukan hanya aset ekonomi atau komoditas, tetapi bagian dari eksistensi.
Budaya, pengetahuan, dan tradisi masyarakat adat Tehit tumbuh dari dan bersama alam, seperti halnya sub-suku Afsya yang mempraktikkan sistem pembagian wilayah hidup (hutan vs rawa) dan pantangan-pantangan yang menjaga keseimbangan ekologis.
Dalam kerangka sosiologi dan antropologi, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat adat memiliki bentuk ekonomi, relasi sosial, dan kosmologi yang utuh: alam, manusia, leluhur dan roh tidak dipisah secara tajam.
Ketika tanah dan hutan dirampas untuk sawit, maka yang rusak bukan hanya ekologi, tetapi tatanan sosial, identitas, dan kesejahteraan generasi mendatang.
Selain itu, dalam konteks lingkungan global, Indonesia sebagai salah satu negara dengan hutan hujan tropis terbesar, perjuangan masyarakat adat di Sorong Selatan menjadi bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim, konservasi keanekaragaman hayati, dan keadilan sosial.
Dengan menjaga hutan adat, mereka turut menjaga masa depan bumi. Walau pun kini masyarakat adat Tehit berdiri di persimpangan: antara janji pembangunan dan kenyataan ekologi, antara regulasi hak adat dan realitas permodalan perkebunan, antara identitas yang sudah berabad-abad dan tekanan zaman modern.
Mereka telah menegaskan: “Tanah adat, hutan adat, dan kekayaan alam di wilayah adat kami, hanya diwariskan buat kesejahteraan dan keberlangsungan hidup generasi kami.”
Namun tantangan tetap nyata: persetujuan masyarakat belum formal dalam banyak kasus, mekanisme FPIC (Free, Prior, Informed Consent) sering diabaikan. Perusahaan pun kadang berkedok hanya nama tanpa aktivitas dan alamat kantor yang jelas, namun sudah mengantongi izin.
Dalam perjuangan masyarakat adat Tehit, kita membaca bahwa pertarungan bukan sekadar lokal, tapi juga nasional dan global. Perjuangan mereka mengingatkan bahwa pembangunan jika mengabaikan hak masyarakat adat dan alam, bukanlah pembangunan yang berkelanjutan.
Ketika kita mendengar izin telah diterbitkan, pertanyaannya bukan hanya apakah legal secara administratif, tetapi juga apakah mendapatkan persetujuan masyarakat? Apakah menghormati budaya dan alam? Apakah menjaga masa depan bumi?
Masyarakat adat Suku Tehit telah menjawab dengan satu kata: tidak! Mereka memilih untuk berdiri, mempertahankan tanah dan hutan mereka sebagai napas kehidupan. (Julian Haganah Howay)
