
Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
MEDIO 2025, langit politik Indonesia diselimuti mendung tebal. Bukan karena hujan, melainkan karena gejolak yang perlahan-lahan menyulut api.
Gelombang demonstrasi besar yang melanda negeri ini bukanlah sekadar protes musiman. Ini adalah ledakan dari akumulasi ketidakpuasan struktural yang telah lama terpendam dalam sistem sosial-ekonomi kita.
Inilah tahun ketika simpul-simpul gerakan sosial bersatu, mewujudkan krisis kepercayaan yang nyata terhadap institusi negara dan pemerintah. Panggung dibuka oleh BEM se-Indonesia melalui gerakan “Indonesia Gelap.”
Tuntutan mereka meluas, menyentuh inti pemerintahan: reformasi kabinet, peninjauan ulang undang-undang kontroversial, perbaikan sistem pendidikan, hingga isu agraria. Ini adalah sinyal pertama bahwa struktur peluang politik (political opportunity structure) telah terbuka, memberikan celah bagi aksi kolektif terorganisir, persis seperti yang dianalisis Sidney Tarrow (2011).
Tak butuh waktu lama bagi api ini untuk menjalar ke sektor lain. Di jalanan, aliansi kuat terbentuk. Organisasi buruh raksasa seperti KSPI dan SPAI menggelar aksi besar, menuntut kenaikan upah yang layak dan perlindungan di tengah fakta mengerikan: PHK di sektor manufaktur dan logistik telah melonjak 12% (BPS, 2025).
Tuntutan ini bersambut dengan keluhan Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) dan ribuan pengemudi ojek online, yang sama-sama merasa tercekik oleh kebijakan pemerintah yang merugikan.
Saat memasuki bulan Agustus dan September 2025, gelombang ini mencapai puncaknya di depan Gedung DPR. Tuntutan telah berevolusi dari reformasi sektoral menjadi tuntutan pembubaran kabinet dan reformasi kelembagaan.
Ini menegaskan bahwa gerakan bukan lagi menuntut perbaikan kebijakan, melainkan sedang menagih janji reformasi yang menjadi fondasi demokrasi pasca-1998.
Titik Balik dan Bayangan Darurat
Respons awal pemerintah terhadap badai ini bersifat normatif: janji penyelidikan dan komitmen reformasi terbatas. Namun, titik balik yang tragis terjadi pada demonstrasi Agustus 2025.
Kekerasan meletus, petasan, perusakan property, mengubah narasi damai menjadi kerusuhan. Menghadapi eskalasi ini, Presiden Prabowo mengambil langkah tegas yang mengubah pendekatan negara menjadi lebih militeristik.
Instruksi jelas diberikan: TNI dilibatkan untuk menjaga ketertiban, Polri untuk penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan, BIN untuk memantau ancaman, dan Mendagri untuk koordinasi daerah.
Pendekatan ini, yang mencerminkan dinamika state-society relations yang tegang, memilih jalur koersif alih-alih dialogis (Hastedt, 2020). Di tengah ketegangan itu, wacana yang paling mengancam kedaulatan sipil mulai menguar: kemungkinan penerapan darurat sipil atau darurat militer.
Pakar seperti Hendardi dari Setara Institute dan Ferry Irwandi, seorang influencer akademis, menyuarakan kekhawatiran adanya “skenario besar” yang sengaja memanfaatkan kerusuhan demi menciptakan kondisi darurat militer.
Tuduhan ini, meskipun dibantah keras oleh Wakil Panglima TNI Jenderal Tandyo Budi Revita, sudah cukup menanamkan benih kecemasan di benak publik.
Mereka ingat betul bahwa dasar hukumnya, Perpu Nomor 23 Tahun 1959, membagi tegas peran: Darurat Sipil masih dikendalikan pemerintah sipil dengan intervensi militer terbatas; Darurat Militer menempatkan militer sebagai pengendali utama situasi.
Dampak Ganda: Ekonomi Terjun Bebas dan Demokrasi Terancam
Krisis politik ini segera meruntuhkan fondasi ekonomi. Indeks kepercayaan konsumen yang sebelumnya berada di 102,5 anjlok ke 89,3. Jauh lebih parah, Investasi Asing Langsung (FDI) mencatat penurunan sebesar 8% pada kuartal ketiga 2025.
Data itu menunjukkan bahwa ketidakstabilan politik tidak hanya terjadi di jalanan, tetapi telah merasuk ke ruang-ruang rapat bisnis dan rumah tangga. Di ranah sosial, terjadi polarisasi tajam, diperparah dengan banjir informasi digital.
Analisis dari Indonesia Digital Report mencatat peningkatan luar biasa, yakni 45% dalam penyebaran hoaks dan disinformasi terkait demonstrasi. Pemerintah, yang fokus pada pendekatan keamanan, tampak kewalahan dan tidak memiliki strategi komunikasi krisis yang efektif untuk meredam narasi negatif yang beredar.
Namun, di balik kegelisahan itu, ada secercah harapan dari publik. Simulasi data SPSS tentang persepsi publik menunjukkan bahwa 68% responden tidak puas dengan kebijakan ekonomi dan 72% merasa pemerintah tidak responsif.
Yang paling krusial, hanya 18% publik yang mendukung Darurat Militer, berbanding 26% yang mendukung Darurat Sipil. Mayoritas masyarakat jelas masih percaya pada solusi sipil dan demokratis.
Pelajaran dari Reformasi dan Masa Depan
Krisis 2025 memiliki gaung sejarah, mirip dengan gejolak politik yang pernah melanda Thailand (2013–2014), di mana aksi massa berujung pada kudeta militer. Namun, Indonesia membawa warisan unik: Reformasi 1998.
Warisan ini, meskipun belum sempurna, menjadi benteng institusional yang membatasi peran militer dalam politik (Said, 2006). Komparasi ini mengingatkan bahwa respons represif hanya akan memperburuk krisis legitimasi, sebuah pelajaran yang bisa dipetik pula dari kegagalan dialog yang tulus di Hong Kong (2019).
Situasi ini adalah bukti kegagalan pemerintah dalam mengelola tekanan sosial secara preventif. Krisis ini tidak dapat diatasi hanya dengan pendekatan keamanan dan hukum. Potensi penerapan darurat sipil atau militer harus dihindari karena akan merusak tatanan demokrasi yang telah dibangun.
Solusi strategisnya harus inklusif dan reformatif. Pemerintah perlu segera menanggapi tuntutan demonstran secara substantif melalui reformasi kebijakan di bidang ketenagakerjaan, pendidikan, dan tata kelola.
Lebih dari itu, diperlukan kepemimpinan yang visioner, yang berani mengambil langkah-langkah reformasi struktural. Sebab, tanpa budaya, pembangunan hanyalah deretan bangunan kosong tanpa jiwa.
Tanpa reformasi struktural, demokrasi hanyalah kerangka politik tanpa napas rakyat. Tanggung jawab kini ada di tangan elite politik untuk merawat integritas demokrasi demi masa depan yang berkeadilan.
(*) Arkilaus Baho adalah penulis artikel ini. Dia adalah aktivis Papua dan mantan Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Nasional yang meminati studi dinamika politik Papua, nasional dan internasional. Tulisan ini dirangkum dari penulis berjudul “Analisis Strategis Krisis Nasional 2025: Gelombang Demonstrasi, Respon Pemerintah, dan Ancaman Darurat Sipil/Militer di Indonesia”.