
Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
PADA akhir Agustus 2025, Indonesia kembali diguncang gelombang demonstrasi besar-besaran. Pemicunya, kebijakan yang menyulut amarah publik: tunjangan rumah bagi anggota DPR.
Kebijakan ini dianggap tidak adil, dan kemarahan rakyat kian memuncak setelah seorang pengemudi ojek daring tewas terlindas kendaraan polisi saat unjuk rasa. Gelombang protes yang meluas di berbagai kota mulai dari Jakarta hingga Manokwari Papua Barat, meninggalkan jejak kerusuhan, penjarahan, dan setidaknya enam korban jiwa.
Pemerintah merespons dengan janji mencabut sebagian tunjangan dan membatalkan kunjungan dinas luar negeri para anggota dewan. Di tengah situasi yang membara, sorotan publik tertuju pada langkah Presiden Prabowo Subianto.
Awalnya, ia menunda keberangkatannya ke China. Namun, keputusan finalnya mengejutkan banyak pihak: ia tetap berangkat untuk menghadiri parade militer peringatan 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II di Beijing.
Sebuah dilema besar yang menempatkan kepentingan luar negeri di atas krisis domestik. Meskipun menuai kritik, kunjungan ini disambut baik oleh pemerintah China.
Kunjungan Presiden Prabowo ke Beijing tidak berlangsung lama, hanya kurang dari sehari. Di antara puluhan pemimpin dunia yang hadir, termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin dan Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong Un, Presiden Prabowo mengambil kesempatan ini untuk dua agenda penting.
Pertama, pertemuan bilateral dengan Presiden Xi Jinping. Topik utamanya adalah proyek ambisius “giant sea wall” di Pantura Jawa. Sebuah mega-proyek yang direncanakan membentang dari Cilegon hingga Gresik, membutuhkan anggaran fantastis sebesar Rp 1.620 triliun, dan akan melibatkan investor asing.
Kedua, pertemuan dengan Presiden Putin, yang fokus pada penguatan kerja sama strategis di bidang ekonomi dan investasi antara Indonesia dan Rusia. Kunjungan ini menunjukkan bagaimana diplomasi menjadi instrumen utama dalam strategi luar negeri Indonesia.
Dari perspektif hubungan internasional, langkah ini dapat dipahami sebagai bagian dari pendekatan “hedging” menjaga keseimbangan antara berbagai kekuatan global untuk menghindari ketergantungan pada satu pihak.
Namun, strategi ini memiliki tantangan besar, terutama ketika legitimasi pemerintah di dalam negeri sedang dipertaruhkan.
Kritik tajam datang dari Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, yang menganggap keputusan Presiden tidak peka terhadap keluhan rakyat. Di mata publik, keberangkatan ini seolah-olah mengesampingkan penderitaan rakyat demi agenda global.
Proyek tanggul laut raksasa atau “giant sea wall” adalah salah satu proyek infrastruktur terbesar dalam sejarah Indonesia. Digagas untuk melindungi wilayah pesisir utara Jawa dari ancaman banjir rob dan dampak perubahan iklim, proyek ini mencerminkan ambisi besar pemerintahan dalam pembangunan jangka panjang.
Sejak awal, proyek ini telah diumumkan oleh Menteri Pekerjaan Umum, Dody Hanggodo, yang memaparkan rencana pembangunannya di sebuah konferensi internasional.
Namun, di balik ambisi tersebut, tersimpan kontroversi besar. Selain skala finansialnya yang masif, proyek ini menimbulkan pertanyaan seputar dampak lingkungan, relokasi masyarakat pesisir, dan transparansi pendanaan.
Keterlibatan investor asing, terutama dari China dan Rusia, semakin menambah kompleksitas geopolitik. Kunjungan Presiden Prabowo ke Beijing dapat dilihat sebagai upaya untuk mengamankan komitmen investasi ini.
Namun, tanpa kajian lingkungan yang transparan dan partisipasi publik yang memadai, proyek ini berisiko menjadi sumber konflik sosial dan ekologis baru.
Krisis domestik yang dipicu oleh demonstrasi menunjukkan adanya jurang antara kebijakan elite dan aspirasi publik. Pemerintahan terlihat lebih fokus pada proyek-proyek besar yang membutuhkan investasi asing, sementara kebutuhan dasar rakyat seperti keadilan sosial belum sepenuhnya terpenuhi. Ini menciptakan ketegangan yang nyata.
Kunjungan singkat Presiden Prabowo ke China di tengah krisis domestik mencerminkan dilema klasik dalam tata kelola negara: bagaimana menyeimbangkan diplomasi strategis dengan stabilitas internal.
Keberhasilan proyek “giant sea wall” di masa depan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk tidak hanya mengamankan investasi, tetapi juga membangun legitimasi di mata rakyat. Proyek ini harus menjadi simbol pembangunan yang inklusif, bukan sekadar ambisi ekonomi.
Ke depan, perhatian akan terfokus pada kemampuan pemerintah untuk menyeimbangkan penanganan krisis dalam negeri dengan diplomasi internasional. Akankah proyek “giant sea wall” menjadi jembatan yang menghubungkan Indonesia dengan kekuatan global, atau justru menjadi sumber konflik baru?
Hanya waktu yang akan menjawabnya.
(*) Arkilaus Baho adalah penulis artikel ini. Dia adalah aktivis Papua. Tulisan ini merupakan hasil resensi dari artikel penulis berjudul “Diplomasi dalam Badai: Analisis Strategis Kunjungan Presiden Prabowo ke China di Tengah Krisis Dalam Negeri serta Proyeksi Implementasi Proyek Giant Sea Wall”