Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke telah menghancurkan 1,5 juta hektar hutan milik masyarakat adat Papua di Merauke untuk dijadikan lahan sawah (padi) dan perkebunan sawit dan tebu berskala (doc : Ernesto Balagize)
BEBERAPA waktu lalu, Sekda Merauke, Yermias Ndiken, berseloroh sarkastis di Tiktok: “Kita tidak sembah dewi sri, kita sembah dewa sagu. Bagaimana kita mau dipadinisasikan, sementara harus dilakukan di tempat kami sagunisasi…, ayo terima ini, bongkar kanan kiri, kita ini tidak dihargai di tanah kami sendiri.”
Ucapannya yang ringan tapi getir itu menampar logika pembangunan Jakarta. Kritik Yermias bukan sekadar gurauan, melainkan jeritan panjang dari sebuah wilayah yang sejak lama menjadi laboratorium eksperimen “ketahanan pangan nasional.”
Ia menyinggung ironi pembangunan yang memaksakan “logika padinisasi” mengganti ekosistem dan budaya pangan sagu dengan sistem sawah padi, di tanah yang sejak ratusan bahkan ribuan tahun telah hidup dengan “sagunisasi”, sebuah filosofi hidup ekologis dan sosial masyarakat Malind Anim.
Ini tentu menyebabkan posisi pangan lokal dan martabatnya telah dilanggar. Padahal hak atas pangan bukan sekadar soal kenyang, tetapi soal martabat.
Konstitusi RI UUD 1945 Pasal 28I dan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan dengan tegas menyatakan bahwa hak atas pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dalam kerangka hukum ini, negara berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak rakyat untuk mendapatkan pangan yang layak, bergizi, dan sesuai dengan budaya lokal (Hadiprayitno, 2025).
Namun, dalam praktiknya, proyek-proyek pangan di Papua, termasuk Proyek Strategis Nasional (PSN) lebih sering menjadi instrumen politik ekonomi ketimbang wujud dari keadilan pangan. Negara Indonesia gagal menghormati cara-cara masyarakat adat memenuhi pangan mereka sendiri.
Dalam kerangka teori hak asasi manusia, kegagalan ini adalah bentuk pelanggaran struktural, karena negara justru menjadi aktor utama yang menciptakan kelaparan kultural melalui kebijakan yang tidak berpihak.
Dalam teori pembangunan kritis, Arturo Escobar (1995) menyebut proyek pembangunan modern sebagai “mesin produksi realitas” yang memaksakan satu bentuk kehidupan “rasional”, “efisien”, dan “modern” kepada masyarakat yang dianggap tertinggal.
Di tanah Papua, logika ini tampil dalam wujud padinisasi, sebuah simbol kolonialisme baru dalam politik pangan. PSN Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Pertanian (KSPP) di Kabupaten Merauke adalah contohnya.
Kementerian Pertanian menetapkan program ini untuk membangun kawasan pertanian besar seluas 1,17 juta hektar, di mana 1 juta hektar ditargetkan menjadi lahan sawah baru. Sisa 165.438 hektar disebut untuk konservasi dan infrastruktur (Kementan, 2024).
Namun, di balik angka itu tersembunyi paradoks: tidak ada data publik yang jelas mengenai realisasi cetak sawah baru, dan yang muncul di lapangan hanyalah ritual panen simbolik di Wanam dan Kaliki.
Media sosial sempat menampilkan Mayjen Ahmad Rizal Ramdhani, Komandan Satgas BKO Ketahanan Pangan Kementan, dengan panen padi di area yang luasnya kurang dari satu hektar, padahal ribuan hektar hutan dan rawa sudah diratakan!
Hasilnya? Padi tumbuh di tanah asing, tapi akar budaya pangan patah di tanah sendiri.
Ekologi dan Kedaulatan Pangan Lokal Yang Ditinggalkan
Wilayah Merauke, secara ekologis, adalah dataran rendah berawa dan berpasir dengan sistem hidrologi yang kompleks. Di sinilah sagu, kasbi, keladi, dan pisang tumbuh alami sebagai sumber pangan utama masyarakat Malind Anim.
Dalam kosmologi lokal, sagu bukan sekadar makanan, melainkan simbol kehidupan dan hubungan spiritual antara manusia, leluhur, dan alam.
Proyek padinisasi bukan hanya merusak lanskap ekologis, tetapi juga merusak relasi ekologis dan spiritual masyarakat. Hutan sagu ditebang, rawa dikeringkan, dan burung-burung rawa kehilangan habitatnya.
Seperti diingatkan James C. Scott dalam Seeing Like a State (1998), negara sering memaksakan “rasionalitas teknokratis” dalam wujud mengubah hutan kompleks menjadi “lanskap yang mudah dihitung”, seperti sawah lurus, kanal rapi, dan lahan terukur.
Tetapi hasilnya justru bencana ekologis dan sosial, karena apa yang tak bisa dihitung sering kali adalah yang paling penting: makna, pengetahuan, dan kehidupan.
Politik pangan di Papua hari ini berjalan seperti mesin tanpa hati, menebarkan jargon “ketahanan pangan nasional” sambil menyingkirkan hak-hak rakyat atas tanah dan sumber dayanya. Pemerintah daerah didorong, bahkan dipaksa, untuk menyesuaikan diri dengan target pusat.
Otonomi khusus yang seharusnya memberi ruang bagi kedaulatan pangan lokal, justru berubah menjadi cap administratif, alat legitimasi proyek pusat di atas nama rakyat Papua.
Instruksi untuk “mencetak sawah baru” datang dari atas, disertai formulir “pernyataan kesediaan” bagi masyarakat untuk menyerahkan lahan mereka. Formulir itu diedarkan dari kampung ke kampung, menjanjikan bantuan alat pertanian dan bibit padi, seolah-olah rakyat yang meminta proyek itu sendiri.
Padahal, dalam antropologi pembangunan, praktik semacam ini disebut sebagai manufactured consent, yakni persetujuan yang direkayasa (Chomsky, 1988).
Pertanyaan rakyat Merauke begitu sederhana, namun menohok: Mengapa kami harus menanam padi, bukan sagu, kasbi, atau keladi seperti yang diwariskan leluhur kami?
Mengapa tanah kami dijadikan sawah, bukan hutan tempat kami berburu dan menokok sagu?
Mengapa semua atas nama pembangunan, tapi kami kehilangan tanah, hutan, dan martabat?
Dalam pandangan Amartya Sen (1981), kelaparan tidak selalu disebabkan oleh kekurangan pangan, tetapi oleh hilangnya entitlement, hak akses seseorang terhadap sumber pangan. PSN di Merauke adalah contoh klasik bagaimana entitlement masyarakat adat hilang bukan karena kekeringan, tapi karena kebijakan negara.
Dengan dalih swasembada pangan, negara justru menciptakan kelaparan struktural: tanah diambil alih, sistem pangan lokal dihapus, dan masyarakat dijauhkan dari sumber kehidupannya sendiri.
Sagunisasi sebagai Kritik Kultural
Ungkapan “sagunisasi” yang dilontarkan Yermias Ndiken bukan sekadar ejekan balik terhadap padinisasi.
Ini adalah metafora perlawanan budaya, semacam manifestasi ekologis yang mengingatkan negara bahwa tidak semua tanah cocok ditanami padi, dan tidak semua masyarakat bisa diukur dengan indeks pertanian nasional.
Sagunisasi adalah seruan untuk kembali pada akar, pada ekologi lokal, pengetahuan adat, dan sistem pangan yang berkeadilan. Ia menolak proyek pangan yang memandang masyarakat adat sebagai objek, dan menuntut model pembangunan yang menghargai pluralitas cara hidup.
Dari “Food Estate” di era Jokowi hingga “KSPP PSN” di era Prabowo-Gibran, pola yang sama berulang: proyek besar, investasi besar, dan janji besar, tapi kehidupan rakyat Papua tetap kecil di dalamnya.
Ketika sawah menggantikan hutan, dan data menggantikan cerita, yang hilang bukan hanya pohon, tapi arti hidup bersama alam.
Dari sagunisasi ke padinisasi, dari adat ke proyek, dari rakyat ke negara, semua berjalan dalam satu arah: menuju homogenisasi pangan dan hegemoni pembangunan.
Kritik Yermias Ndiken seharusnya tidak dianggap sindiran sarkastis semata, tetapi manifesto kecil dari gerakan perlawanan ekologis Papua: bahwa tanah ini punya logikanya sendiri, punya roh, punya cara hidupnya sendiri dan ia tidak akan tunduk pada mesin pembangunan yang buta.
(*) Franky Samperante adalah penulis artikel ini. Dia adalah aktivis lingkungan, pegiat pemberdayaan masyarakat dan direktur eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat yang berbasis di Jakarta.
