Gambar ilustrasi (doc : pbd.jadesta/com)
SEBELUM lonceng gereja berdentang di lembah Aifat dan seruan doa bergema dari kapel misi, orang Maybrat di wilayah pedalaman kepala burung (Vogelkoop) Tanah Papua, telah lebih dahulu berbicara dengan Tuhan dalam pandangan mereka.
Ia hadir bukan sebagai konsep teologis yang diajarkan, melainkan sebagai kenyataan yang dihayati, dalam desir angin yang menyapa hutan, dalam gema air yang jatuh di batu, dan dalam keheningan lembah yang menyimpan rahasia langit. Tuhan telah lama bersemayam di tanah ini sebelum agama dari luar tiba.
Dalam bahasa Maybrat, Ia atau Tuhan atau konsep mengenai sesuatu yang disembah disebut Yefun, Siwa, dan Mafif. Tiga nama yang menandai kehadiran yang sama, namun dengan wajah yang beragam.
Nama-nama itu tidak sekadar sebutan, melainkan cara pandang, sebuah kosmologi yang mempersatukan manusia, alam, dan roh leluhur dalam jejaring kehidupan yang utuh. Bahkan, jejak keilahian itu menempel pada lanskap: “Fra Siwa”, atau “batu Tuhan” yang menjadi penanda bahwa alam adalah kitab yang dibuka dan dibaca oleh hati, bukan oleh tinta.
Sebelum berdirinya rumah ibadah, orang Maybrat telah mengenal ruang sakralnya sendiri yang disebut Mos, Totor, Atu, dan Subair, tempat-tempat yang menjadi altar alami bagi doa, pemujaan dan permohonan.
Di sana, tubuh, tanah, dan roh menyatu dalam kesadaran yang hening. Mereka percaya, dari gunung hingga mata air, semua memiliki roh yang bernafas bersama Sang Pencipta. Dalam pandangan mereka, Tuhan tidak jauh di langit, Ia berdiam di batu, di akar pohon, di aliran sungai dan di dalam hati yang bersih.
Kosmologi ini menegaskan satu hal penting: bahwa iman tidak lahir dari institusi, melainkan dari relasi. Alam adalah gereja pertama, langit adalah kubahnya, dan burung cenderawasih adalah loncengnya.
Seperti firman dalam Injil Yohanes: “Pada mulanya adalah Firman…” (Yoh. 1:1-3), maka bagi orang Maybrat, “pada mulanya adalah alam” tempat Firman itu bersemayam sebelum diterjemahkan dalam bahasa manusia.
Jejak Teologi Yang Tumbuh Dari Tanah
Sejarah misi mencatat bahwa Misi Penginjilan Kristiani baru tiba di wilayah Maybrat sekitar tahun 1950-an. Namun jauh sebelumnya, iman dan kepercayaan (sistem religi) manusia Maybrat telah tumbuh dalam bentuk yang berbeda, melalui ritual adat dan laku kehidupan.
Ketika mereka hendak membuka ladang, menikahkan anak, atau mengadakan pesta adat, masyarakat Maybrat akan pergi ke Totor atau Mos, tempat-tempat suci, yang menjadi tempat doa dipanjatkan dan berkat dimohon.
Ketika permohonan itu terkabul, mereka menyebutnya kakou mabia, suatu keadaan sukacita yang bagi mereka adalah realitas surgawi. Di sanalah surga mereka, bukan di awan, melainkan di tanah yang mereka injak. Surga yang membumi dan nyata!
Surga adalah keselarasan antara manusia dan alam, bukan semata tujuan setelah mati (transenden), utopia dan angan-angan paska kehidupan di bumi. Melainkan kenyataan yang bisa dirasakan dalam hidup.
Antropolog Clifford Geertz pernah menulis bahwa agama adalah sistem simbol yang menegaskan keteraturan kosmos dan memberi makna pada pengalaman hidup manusia. Dalam konteks Maybrat, simbol-simbol itu bukanlah kitab atau salib, melainkan batu, pohon, dan air, penanda yang menjembatani dunia nyata dengan yang ilahi.
Jadi bayangkan seandainya pusat sejarah teologi bukan di Yerusalem, tetapi di lembah Aifat, Maybrat, Papua. Seandainya wahyu turun di hutan Maybrat, mungkin Injil akan ditulis dengan bahasa daun dan batu, bukan perkamen.
Yesus akan digambarkan bukan berasal dari Nazareth, beretnis Yahudi (Israel) dan sebagai gembala di padang rumput, tetapi sebagai penjaga tanah, sungai, danau, gunung, lembah, pelindung hutan dan alam.
Narasi ini bukan bentuk pengingkaran terhadap iman Kristen, melainkan tafsir yang membebaskan, sebuah teologi kontekstual yang menempatkan alam sebagai wahyu pertama. Dalam perspektif ini, mos bukan sekadar batu besar, melainkan altar alamiah, tempat manusia mengalami perjumpaan dengan Tuhan.
Itulah apa yang disebut oleh teolog pembebasan Leonardo Boff sebagai “mysticism of the earth” mistisisme yang lahir dari kesadaran ekologis, di mana bumi bukan obyek, melainkan subyek yang ikut berdoa.
Etika Leluhur, Hukum Alam dan Wahyu Yang Hidup
Masyarakat Maybrat mewarisi prinsip moral yang menjadi fondasi sosial jauh sebelum mereka mengenal KeKristenan, Hukum Taurat dan sebagainya.
Petuah tua (watum) mereka berbunyi: “Habenis ma, num boa sai, nesif bo mae” atau berbuat baik, jaga kesatuan, hindari perselisihan. Nilai ini hidup dalam setiap tindakan dan menjadi pedoman bagi harmoni komunitas dan alam.
Dalam kitab Roma 2:14 disebutkan, “Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat melakukan apa yang diwajibkan hukum Taurat oleh dorongan kodrat…” maka mereka telah menjadi hukum bagi dirinya sendiri.
Seperti itulah orang Maybrat. Mereka tidak menunggu hukum tertulis untuk memahami kebaikan; moralitas lahir dari pengalaman bersama alam, dari rasa saling bergantung antara manusia dan ciptaan.
Dalam pandangan ekologi modern, sistem nilai seperti ini disebut deep ecology, etika yang melihat bahwa setiap unsur alam memiliki nilai intrinsik dan spiritual.
Tidak heran jika pelanggaran terhadap hutan, sungai, atau gunung bagi mereka bukan hanya dosa ekologis, tetapi juga dosa teologis: pelanggaran terhadap kehadiran Tuhan itu sendiri.
Budaya bagi orang Maybrat bukan sekadar warisan estetika, melainkan wahyu yang hidup, cara Tuhan berbicara melalui adat. Ia mengajarkan harmoni, tanggung jawab, dan rasa takut akan yang sakral.
Dalam pandangan sosiologi agama, seperti dikemukakan Émile Durkheim, agama adalah refleksi masyarakat itu sendiri: ketika manusia memuja Tuhan, sebenarnya ia sedang memuja nilai-nilai sosial tertingginya.
Begitu pula dengan Maybrat: dalam mos, dalam totor, mereka tidak hanya memuja Tuhan, tetapi juga menghormati tatanan sosial, etika, dan kebersamaan yang menjaga dunia tetap seimbang. Budaya, dengan demikian, adalah bentuk iman yang berpijak di bumi.
Kini, setelah lonceng gereja bergema menggantikan bunyi tifa, dan altar kayu menggantikan batu mos, suara lama itu belum benar-benar hilang.
Ia masih hidup dalam bisikan angina, suara burung dan binatang liar, lambaian dedaunan pohon (hutan), dalam doa dan nyanyian mama-mama di ladang, hingga dalam nyanyian anak-anak di tepi sungai.
Tuhan yang dulu disebut Yefun, Siwa, dan Mafif, kini disebut Yesus Kristus, namun Ia tetap Tuhan yang sama, hanya berbicara dengan bahasa yang berbeda. Budaya tanpa manusia yang menjaganya memang akan mati, tetapi manusia tanpa budaya kehilangan akar spiritualnya.
Sebab di Maybrat, Tuhan tidak hanya datang dari langit; Ia tumbuh dari tanah, mengalir dalam air, berdiam di batu, pohon dan berdiam dalam hati setiap orang yang mau mendengar bisikan alam.
(*) Imanuel Tahrin adalah penulis artikel ini. Dia adalah aktivis lingkungan, pemerhati budaya dan pendiri komunitas Peduli Tata Ruang (Petarung) Papua yang berbasis di Kampung Susumuk, Maybrat.
