Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
KEMENTERIAN Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) meluncurkan Gerakan Masyarakat Pemasangan Tanda Batas (Gemapatas) 2025 pada 7 Agustus 2025, sebagaimana di laporkan Kompas.com dan Beritasatu.com. Gerakan ini bertujuan mengatasi permasalahan 14,4 juta hektare lahan di Indonesia yang belum bersertifikat.
Langkah ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria dan mempercepat sertifikasi tanah. Menteri ATR/Kepala BPN, Nusron Wahid, menekankan pentingnya pemasangan patok batas tanah sebagai kunci pencegahan konflik dan percepatan proses sertifikasi.
Dari total luas daratan Indonesia sekitar 190 juta hektare, sekitar 70 juta hektare merupakan Area Penggunaan Lain (APL) atau non-hutan. Dari jumlah tersebut, 55,9 juta hektare telah bersertifikat.
Gemapatas 2025 di luncurkan serentak di 23 kabupaten/kota di 8 provinsi, dengan harapan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya legalitas dan kejelasan batas kepemilikan tanah.
Mekanisme penetapan tanah terlantar, sebagaimana di atur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021, melibatkan proses evaluasi bertahap yang meliputi tiga kali peringatan dalam kurun waktu 587 hari. Menteri Nusron menegaskan bahwa kebijakan ini tidak menyasar tanah milik rakyat kecil, melainkan di fokuskan pada tanah negara berskala besar yang di biarkan mangkrak. “Tanah masyarakat, seluas apa pun, pasti dimanfaatkan. Yang menjadi perhatian adalah tanah Hak Guna Usaha (HGU)/Hak Guna Bangunan (HGB) skala besar yang tidak produktif,” tegas Nusron.
Langkah tegas Kementerian ATR/BPN ini sejalan dengan amanat reforma agraria dan prinsip keadilan dalam pengelolaan sumber daya agraria nasional. Nusron menjelaskan bahwa tanah yang di berikan HGU/HGB akan di evaluasi selama dua tahun untuk melihat tingkat pemanfaatannya.
Jika dalam dua tahun tidak ada aktivitas, pemerintah akan memberikan tiga kali peringatan sebelum mengambil alih tanah tersebut. Tanah yang di ambil alih negara berpotensi di alihkan kepada masyarakat yang membutuhkan, terutama untuk kegiatan produktif seperti pertanian atau usaha kecil.
Dalam forum dengan para surveyor, Menteri Nusron secara tegas membantah anggapan bahwa sertifikat tanah merupakan warisan sakral yang tak boleh di ganggu gugat, terlepas dari pemanfaatannya. “Tanah itu milik negara, masyarakat hanya di beri hak atas tanah tersebut,” tegas Nusron.
Ia menambahkan bahwa hingga Agustus 2025, sebanyak 100.000 hektare tanah telah masuk dalam kategori tanah terlantar dan sedang dalam proses pencabutan hak guna lahan.
Proses pencabutan ini membutuhkan waktu 578 hari, meliputi kajian, penyuratan, dan verifikasi yang matang. Namun, pesan utama dari kebijakan ini, yang di sampaikan Menteri Nusron dengan lugas dan tegas, terkandung dalam pertanyaan retorisnya: “Emang Mbahmu Bisa Bikin Tanah?”, seloroh Nusron, di lansir Beritasatu.com 7 Agustus 2025.
Pertanyaan ini menjadi simbol perlawanan terhadap praktik feodalisme dalam kepemilikan tanah dan penegasan atas kedaulatan negara atas sumber daya alamnya.
Indonesia menghadapi tantangan kompleks dalam pengelolaan lahan, yang terjalin erat dengan kerangka hukum, realitas sosial ekonomi, dan konteks historis. Analisis ini menyelidiki kerumitan lanskap ini, dengan fokus pada program Gemapatas 2025 dan penanganan lahan terlantar.
Dasar hukumnya terletak pada Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3), yang menegaskan kontrol negara atas bumi, air, dan kekayaan alam. Prinsip ini di uraikan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), Undang-Undang Pokok Agraria, yang di lengkapi dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar, dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Peraturan-peraturan ini membentuk kerangka hukum untuk pengelolaan lahan di Indonesia.
Skala tantangannya signifikan. Data menunjukkan Indonesia memiliki sekitar 190 juta hektare lahan, dengan sebagian besar (sekitar 70 juta hektare) di tetapkan sebagai Area Penggunaan Lain (APL). Sementara 55,9 juta hektare telah bersertifikat, masih ada 14,4 juta hektare yang belum bersertifikat, menyoroti kesenjangan signifikan dalam pendaftaran tanah. Menambah kompleksitas, di perkirakan 100.000 hektare lahan tergolong terlantar per Agustus 2025.
Beberapa kerangka teoritis memberikan informasi dan pemahaman kita tentang situasi ini. Karya Maria SW Sumardjono (2020) mengklarifikasi “hak menguasai” negara sebagai kekuatan regulasi yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan kepemilikan langsung. Konsep reforma agraria, sebagaimana di definisikan oleh Gunawan Wiradi (2009) dan Bernhard Limbong (2012), menekankan distribusi lahan yang adil dan keadilan sosial.
Lebih jauh, pengakuan hak-hak tanah adat, seperti yang di soroti oleh teori beslissingenleer Ter Haar dan analisis Boedi Harsono (2018) tentang dualisme antara hukum adat dan hukum nasional, sangat penting dalam mengatasi berbagai sistem kepemilikan tanah di seluruh nusantara.
Gemapatas 2025 muncul sebagai inisiatif kebijakan utama, yang secara langsung mengatasi kebutuhan akan reforma agraria. Fokusnya pada sertifikasi tanah dan penetapan batas di 23 kabupaten/kota di 8 provinsi merupakan upaya terpadu untuk meningkatkan administrasi tanah.
Bersamaan dengan itu, pemerintah menangani masalah lahan terlantar melalui proses evaluasi yang ketat selama 587 hari yang melibatkan tiga tahap peringatan, terutama yang menargetkan konsesi HGU/HGB berskala besar. Tujuan akhirnya adalah keadilan redistributif, memastikan lahan di gunakan untuk kepentingan publik.
Implikasi sosial ekonomi sangat besar. Pengelolaan lahan yang efektif sangat penting untuk mencapai keadilan agraria, memastikan akses lahan bagi masyarakat ekonomi lemah, dan mengoptimalkan pemanfaatan lahan. Hal ini, pada gilirannya,
mendorong pembangunan ekonomi melalui peningkatan produktivitas lahan, pengembangan usaha kecil, dan peningkatan ketahanan pangan.
Para ahli seperti Joyo Winoto menganjurkan pemetaan partisipatif, keterlibatan masyarakat dalam penentuan batas, dan proses sertifikasi yang transparan. Endriatmo Soetarto menekankan pentingnya pendekatan sosial budaya, penyelesaian konflik berbasis komunitas, dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Rekomendasi mereka menyoroti perlunya pendekatan holistik.
Namun, tantangan signifikan tetap ada. Keterbatasan teknis, seperti kekurangan tenaga surveyor, proses pemetaan yang kompleks, dan sistem basis data tanah yang tidak memadai, menghambat kemajuan. Hambatan sosial, termasuk resistensi dari pemegang hak lahan yang ada, konflik kepentingan, dan kurangnya kesadaran masyarakat, semakin mempersulit implementasi.
Mengatasi tantangan pengelolaan lahan di Indonesia membutuhkan pendekatan multi-faceted yang mengintegrasikan kerangka hukum, data statistik, pemahaman teoritis, dan implementasi kebijakan praktis.
Program Gemapatas 2025 dan strategi penanganan lahan terlantar merupakan langkah-langkah penting, tetapi keberhasilannya bergantung pada kemampuan mengatasi hambatan teknis dan sosial, sambil sepenuhnya menggabungkan rekomendasi para ahli dan menghormati berbagai konteks budaya dan hukum seputar kepemilikan lahan di Indonesia.
Penguasaan tanah di Indonesia sering kali melibatkan lahan yang di gunakan untuk bisnis dalam skala luas, namun pada praktiknya, hal ini sering kali di salahgunakan melalui proses alih fungsi lahan oleh kelompok oligarki. Misalnya, sebuah perusahaan mungkin meminta izin kepada masyarakat setempat untuk membuka lahan perkebunan sawit, dengan janji-janji manfaat ekonomi dan pelestarian lingkungan.
Namun, setelah beberapa tahun, seperti lima tahun kemudian, perusahaan tersebut mengubah fungsi lahan tersebut menjadi operasional tambang batubara, yang tidak hanya mengabaikan kesepakatan awal tetapi juga menimbulkan konflik dengan masyarakat adat.
Praktik alih fungsi lahan ini sering di anggap oleh masyarakat adat sebagai bentuk perampasan tanah adat, di mana hak-hak tradisional dan kultural mereka di abaikan.
Hal ini menciptakan ketidakadilan sosial, karena masyarakat adat kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang telah mereka kelola secara turun-temurun. Dampaknya meliputi kerusakan lingkungan, seperti deforestasi dan pencemaran air, serta konflik sosial yang dapat berujung pada protes atau bahkan kekerasan.
Korelasinya dengan kebijakan tanah terlantar yang hendak di ambil pemerintah menjadi semakin relevan di sini. Kebijakan ini, yang sering di rancang untuk mengatasi lahan yang tidak produktif atau terbengkalai, bertujuan untuk mengambil alih lahan tersebut demi kepentingan umum, seperti redistribusi kepada petani kecil atau pengembangan infrastruktur.
Namun, dalam konteks alih fungsi lahan oleh oligarki, kebijakan ini dapat memperburuk masalah jika tidak di kelola dengan transparan. Misalnya, jika pemerintah mengambil lahan terlantar tanpa melibatkan masyarakat adat, hal ini bisa di lihat sebagai legitimasi atas praktik perampasan yang sudah ada, di mana elite bisnis memanfaatkan celah hukum untuk mengubah penggunaan lahan.
Perlunya regulasi yang lebih ketat dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait tanah. Dengan demikian, kebijakan tanah terlantar dapat menjadi alat untuk melindungi hak masyarakat adat dari pada memperkuat ketidakadilan yang ada, asalkan di terapkan dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan.
Kompleksitas Kepemilikan Tanah di Papua
Perluasan analisis ke kepemilikan tanah di Papua, khususnya sistem berbasis marga atau kepemilikan bersama tanpa sertifikat negara, menghadirkan kompleksitas tersendiri dalam konteks kebijakan Gemapatas 2025 dan penanganan tanah terlantar. Status tanah-tanah tersebut menjadi abu-abu dan memerlukan perlakuan khusus karena bertentangan dengan sistem pertanahan formal negara yang berbasis sertifikat.
Kebijakan-kebijakan yang telah di uraikan sebelumnya, seperti UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) dan Perpres No. 86 Tahun 2018, secara umum berfokus pada sistem pertanahan individual dengan sertifikat sebagai bukti kepemilikan.
Sistem kepemilikan tanah adat di Papua, yang seringkali bersifat komunal dan berbasis marga, tidak mudah di integrasikan ke dalam kerangka hukum ini. Ketiadaan sertifikat negara membuat tanah-tanah tersebut rentan terhadap klaim pihak lain, termasuk perusahaan atau individu yang mungkin mengklaim kepemilikan berdasarkan hukum nasional.
Gemapatas 2025, dengan fokus pada sertifikasi, secara langsung menghadapi tantangan ini. Program ini mungkin kesulitan dalam mensertifikasi tanah-tanah adat di Papua karena proses sertifikasi memerlukan identifikasi pemilik tunggal atau badan hukum yang jelas, yang tidak selalu selaras dengan sistem kepemilikan komunal.
Oleh karena itu, pendekatan yang lebih sensitif terhadap konteks lokal dan partisipatif sangat di perlukan. Pelibatan aktif masyarakat adat Papua dalam proses pemetaan dan penetapan batas sangat krusial untuk menghindari konflik dan memastikan pengakuan atas hak-hak mereka.
Penanganan tanah terlantar juga menimbulkan pertanyaan. Definisi “tanah terlantar” sendiri mungkin perlu di kaji ulang dalam konteks Papua. Lahan yang bagi masyarakat adat memiliki nilai budaya atau spiritual, meskipun tampak “terlantar” menurut definisi formal, mungkin tidak dapat di anggap sebagai tanah terlantar yang dapat di distribusikan ulang.
Penting untuk menghindari pengambilalihan tanah adat atas nama pembangunan atau kepentingan publik tanpa persetujuan dan partisipasi penuh dari masyarakat adat yang bersangkutan.
Oleh karena itu, implementasi kebijakan pertanahan di Papua memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dan berorientasi pada pengakuan hak-hak masyarakat adat. Hal ini membutuhkan:
- Pengakuan dan penghormatan terhadap sistem kepemilikan tanah adat: Kebijakan harus mengakui dan menghormati sistem kepemilikan tanah adat yang ada, bukan memaksakan sistem sertifikasi negara secara paksa.
- Partisipasi penuh masyarakat adat: Masyarakat adat harus di libatkan secara penuh dalam setiap tahap proses, dari pemetaan hingga pengambilan
- Pengembangan mekanisme pengakuan hak-hak adat: Di perlukan mekanisme yang jelas dan transparan untuk mengakui dan melindungi hak-hak kepemilikan tanah adat, yang mungkin berbeda dengan sistem sertifikasi negara.
- Penyelesaian konflik secara damai: Mekanisme penyelesaian konflik yang adil dan efektif harus tersedia untuk mengatasi potensi sengketa tanah antara masyarakat adat dan pihak lain.
Singkatnya, integrasi kepemilikan tanah adat di Papua ke dalam kebijakan nasional memerlukan pendekatan yang jauh lebih bernuansa dan sensitif daripada yang di terapkan pada sistem pertanahan formal di wilayah lain di Indonesia. Keberhasilannya bergantung pada pengakuan, penghormatan, dan partisipasi penuh masyarakat adat Papua.
Reforma Agraria
Reforma agraria merupakan salah satu fondasi utama dalam pembangunan keadilan sosial di Indonesia. Sejak di undangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, negara telah menegaskan hak penguasaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UUD 1945, Pasal 33 ayat 3).
Namun, pelaksanaan prinsip ini masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal ketimpangan penguasaan lahan, konflik agraria, dan lemahnya sistem administrasi pertanahan.
Dalam konteks ini, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) meluncurkan Gerakan Masyarakat Pemasangan Tanda Batas (Gemapatas) 2025 pada 7 Agustus 2025 sebagai bagian dari strategi percepatan sertifikasi tanah dan penanganan tanah terlantar.
Gemapatas 2025 bertujuan mengatasi permasalahan 14,4 juta hektare lahan yang belum bersertifikat dan memperkuat kejelasan batas kepemilikan tanah di Indonesia. Program ini di luncurkan serentak di 23 kabupaten/kota di 8 provinsi, dengan harapan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya legalitas dan kejelasan batas tanah.
Langkah ini juga menjadi respons terhadap kondisi 100.000 hektare tanah yang telah di kategorikan sebagai tanah terlantar hingga Agustus 2025. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2021, tanah yang tidak di manfaatkan secara produktif dalam jangka waktu tertentu akan melalui proses evaluasi selama 587 hari, termasuk tiga kali peringatan sebelum hak atas tanah tersebut di cabut.
Menteri ATR/Kepala BPN, Nusron Wahid, menegaskan bahwa kebijakan ini tidak menyasar tanah milik rakyat kecil, melainkan tanah berskala besar yang di miliki oleh korporasi melalui Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB) yang tidak produktif.
Dokumen “Emang Mbahmu Bisa Bikin Tanah? Gerakan Pemasangan Tanda Batas (Gemapatas) 2025 dan Penanganan Tanah Terlantar di Indonesia” menjadi sumber primer penting dalam memahami narasi kebijakan ini.
Dokumen tersebut menyoroti bagaimana Gemapatas 2025 tidak hanya merupakan upaya administratif, tetapi juga simbol perlawanan terhadap feodalisme kepemilikan tanah dan penguatan kedaulatan negara atas sumber daya agraria.
Dalam pernyataan retorisnya, Menteri Nusron menyatakan, “Emang Mbahmu Bisa Bikin Tanah?”, sebagai bentuk penegasan bahwa tanah adalah milik negara dan hak atas tanah adalah hak yang di berikan, bukan di wariskan secara absolut tanpa pertimbangan pemanfaatan.
Lebih lanjut, dokumen tersebut juga mengangkat kompleksitas pengelolaan tanah adat, khususnya di Papua, di mana sistem kepemilikan komunal berbasis marga tidak selaras dengan sistem sertifikasi formal negara.
Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan Gemapatas 2025 dan kebijakan tanah terlantar sangat bergantung pada pendekatan yang inklusif dan partisipatif, terutama dalam konteks masyarakat adat.
Tanpa pengakuan terhadap hak-hak adat dan partisipasi aktif masyarakat lokal, kebijakan ini berpotensi memperburuk ketidakadilan struktural yang telah lama terjadi.
Masalah alih fungsi lahan oleh oligarki juga menjadi sorotan penting dalam dokumen tersebut. Praktik di mana perusahaan mengubah fungsi lahan dari perkebunan menjadi tambang, tanpa persetujuan masyarakat lokal, menunjukkan adanya celah hukum yang di manfaatkan oleh elite ekonomi.
Dalam konteks ini, kebijakan tanah terlantar dapat menjadi alat untuk melawan praktik tersebut, tetapi juga berisiko menjadi legitimasi baru atas perampasan tanah jika tidak di kelola secara transparan dan adil.
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menakar efektivitas dan dampak strategis dari kebijakan Gemapatas 2025 dan penanganan tanah terlantar dalam kerangka reforma agraria.
Dengan mengintegrasikan analisis hukum, sosial, dan kebijakan publik, serta membandingkan dengan praktik internasional, artikel ini berupaya memberikan kontribusi akademik dan praktis dalam merumuskan arah kebijakan agraria yang lebih adil dan berkelanjutan di Indonesia.
Substansi Kebijakan Gemapatas 2025 dan Penanganan Tanah Perlantar
Gerakan Masyarakat Pemasangan Tanda Batas (Gemapatas) 2025 merupakan kebijakan strategis yang di luncurkan oleh Kementerian ATR/BPN untuk mempercepat proses sertifikasi tanah di Indonesia.
Di latarbelakangi oleh masih besarnya jumlah lahan yang belum bersertifikat, yakni sekitar 14,4 juta hektare dari total 70 juta hektare Area Penggunaan Lain (APL)—Gemapatas hadir sebagai solusi administratif dan preventif terhadap konflik agraria yang kerap terjadi akibat ketidakjelasan batas tanah.
Program ini di luncurkan secara serentak di 23 kabupaten/kota di 8 provinsi, menandakan pendekatan terkoordinasi dan masif dalam pelaksanaannya. Fokus utama Gemapatas adalah pemasangan patok batas tanah oleh masyarakat secara partisipatif, yang kemudian akan menjadi dasar dalam proses sertifikasi.
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, menekankan bahwa pemasangan tanda batas bukan hanya tindakan administratif, tetapi juga bentuk penguatan hak hukum atas tanah dan pencegahan konflik horizontal di masyarakat.
Dalam konteks ini, Gemapatas dapat di lihat sebagai instrumen implementasi dari prinsip-prinsip UUPA 1960 dan Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Sertifikasi tanah bukan hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga membuka akses terhadap sumber daya ekonomi seperti kredit usaha, serta menjadi dasar dalam perencanaan tata ruang yang berkelanjutan.
Namun, keberhasilan program ini sangat tergantung pada kapasitas teknis, seperti ketersediaan tenaga surveyor, sistem informasi pertanahan yang akurat, dan partisipasi aktif masyarakat.
Evaluasi Hak Atas Tanah dan Redistribusi untuk Kepentingan Publik
Kebijakan penanganan tanah terlantar merupakan bagian integral dari strategi reforma agraria. Berdasarkan PP No. 20 Tahun 2021, tanah yang di berikan hak guna (HGU/HGB) tetapi tidak di manfaatkan secara produktif dalam jangka waktu tertentu dapat di cabut haknya dan di kembalikan kepada negara. Proses ini melibatkan evaluasi selama 587 hari, yang mencakup tiga kali peringatan kepada pemegang hak sebelum di lakukan pencabutan.
Menteri Nusron secara eksplisit menyatakan bahwa kebijakan ini tidak menyasar tanah milik rakyat kecil, melainkan tanah-tanah berskala besar yang di kuasai oleh korporasi namun di biarkan mangkrak. Hingga Agustus 2025, tercatat sekitar
100.000 hektare tanah telah di kategorikan sebagai tanah terlantar dan sedang dalam proses pencabutan hak. Tanah-tanah ini kemudian dapat di alokasikan untuk kepentingan publik, seperti redistribusi kepada petani kecil, pengembangan pertanian, atau pembangunan infrastruktur.
Kebijakan ini mencerminkan prinsip keadilan distributif dalam pengelolaan sumber daya agraria. Namun, tantangan muncul ketika proses pencabutan hak tidak di lakukan secara transparan atau tanpa partisipasi masyarakat terdampak. Dalam beberapa kasus, tanah yang di anggap “terlantar” oleh negara sebenarnya memiliki nilai budaya atau spiritual bagi masyarakat adat, sehingga pengambilalihan tanpa konsultasi dapat memicu konflik.
Dampak terhadap Kelembagaan, Tata Kelola Pertanahan dan Fragmentasi Kelembagaan
Salah satu tantangan struktural dalam implementasi Gemapatas 2025 dan kebijakan penanganan tanah terlantar adalah fragmentasi kelembagaan dalam tata kelola pertanahan. Meskipun Kementerian ATR/BPN menjadi institusi utama, koordinasi lintas kementerian dan lembaga seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Dalam Negeri, dan pemerintah daerah sering kali tidak sinkron.
Hal ini menyebabkan tumpang tindih kewenangan, lambatnya proses redistribusi tanah, dan ketidakefisienan dalam pengawasan (Hudalah & Woltjer, 2019).
Keterbatasan jumlah tenaga ahli, seperti surveyor, notaris, dan petugas lapangan, menjadi hambatan signifikan dalam pelaksanaan program Gemapatas. Selain itu, infrastruktur teknologi informasi yang belum merata di daerah juga memperlambat proses digitalisasi data pertanahan. Keterbatasan ini berdampak pada akurasi peta, validitas data, dan kecepatan pelayanan publik (Kementerian ATR/BPN, 2020).
Ketidakjelasan dalam definisi hukum, seperti “tanah terlantar”, serta belum adanya pengakuan eksplisit terhadap tanah adat dalam sistem hukum nasional, menciptakan ketidakpastian hukum. Hal ini berdampak pada rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap program pemerintah dan meningkatnya potensi gugatan hukum terhadap kebijakan pertanahan (Arizona, 2014).
Ketimpangan Akses dan Kepemilikan Lahan: Realitas Struktural
Ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia bersifat sistemik. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa 1% penduduk menguasai lebih dari 59% aset agraria nasional (KPA, 2021). Ketimpangan ini di perparah oleh lemahnya redistribusi tanah dan dominasi korporasi dalam penguasaan lahan melalui skema HGU dan HGB.
Sertifikasi Tanah dan Perlindungan Hukum: Efektivitas Gemapatas 2025
Gemapatas 2025 berpotensi mengurangi konflik agraria melalui legalisasi batas kepemilikan tanah. Namun, efektivitasnya sangat tergantung pada kualitas data spasial dan partisipasi masyarakat. Ketidaksesuaian antara peta partisipatif masyarakat adat dan peta resmi negara menjadi sumber konflik baru, terutama di Papua dan Kalimantan (Bedner & Arizona, 2019).
Tanah Adat dan Ketegangan antara Hukum Adat dan Hukum Negara
Ketegangan antara hukum adat dan hukum negara mencerminkan dualisme hukum yang belum teratasi. Di Papua, sistem kepemilikan tanah komunal tidak di akui dalam sistem sertifikasi formal. Hal ini menyebabkan kerentanan masyarakat adat terhadap perampasan tanah yang di legitimasi oleh hukum negara (Harsono, 2018).
Praktik Alih Fungsi Lahan dan Perampasan Tanah
Praktik alih fungsi lahan oleh korporasi besar, seperti dari perkebunan menjadi tambang, merupakan bentuk perampasan tanah terselubung. Dalam banyak kasus, masyarakat lokal tidak di libatkan dalam proses pengambilan keputusan, yang melanggar prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) sebagaimana di atur dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) (Citraningtyas, 2021).
Hambatan Teknis dan Sosial dalam Implementasi
Keterbatasan tenaga teknis, rendahnya literasi hukum masyarakat, dan resistensi dari pemilik lahan menjadi hambatan utama dalam implementasi kebijakan. Selain itu, konflik kepentingan di tingkat lokal sering kali menghambat proses redistribusi tanah secara adil (Hudalah & Woltjer, 2019).
Perspektif Komparatif: Pembelajaran dari Negara Lain
Pengalaman Brasil dan Filipina menunjukkan bahwa keberhasilan reforma agraria sangat tergantung pada keberpihakan politik, dukungan kelembagaan, dan partisipasi masyarakat. Di Brasil, reforma agraria di lakukan melalui pendekatan koperatif dan penguatan hak kolektif. Di Filipina, pengakuan terhadap tanah adat melalui CADT menjadi instrumen penting dalam mengurangi konflik agraria (Borras & Franco, 2012).
Implikasi Hukum: Kedaulatan Negara vs. Hak Masyarakat
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk menguasai bumi dan kekayaan alam demi kemakmuran rakyat. Namun, seperti di tegaskan oleh Sumardjono (2020), penguasaan oleh negara tidak berarti kepemilikan absolut, melainkan kewajiban untuk mengatur secara adil. Oleh karena itu, kebijakan pertanahan harus menjamin perlindungan terhadap hak-hak masyarakat, termasuk hak atas tanah adat.
Kelemahan Implementasi Kebijakan
Kebijakan Gemapatas dan penanganan tanah terlantar menghadapi berbagai kelemahan: Teknis: Kekurangan tenaga ahli dan belum terintegrasinya sistem informasi pertanahan nasional.
Sosial: Minimnya partisipasi masyarakat adat dan kurangnya sosialisasi kebijakan. Hukum: Tidak adanya mekanisme yang jelas untuk pengakuan tanah adat dalam sistem hukum nasional.
Mengenai potensi konlfik, jika tidak di antisipasi, kebijakan ini dapat memperbesar konflik agraria, terutama di wilayah seperti Papua, Kalimantan, dan Sumatera. Tanah yang di anggap “terlantar” oleh negara bisa jadi memiliki nilai budaya atau spiritual yang tinggi bagi masyarakat adat, sehingga pengambilalihan tanpa konsultasi dapat memicu konflik horizontal dan vertikal (AMAN, 2020).
Solusi dan Rekomendasi Strategis
Perlunya Integrasi seperti penguatan basis data pertanahan nasional melalui integrasi spasial dan legal. Penguatan kapasitas institusi: Pelatihan surveyor, digitalisasiadministrasi, dan penguatan sistem pengawasan.
Pengakuan Tanah Adat: Sertifikasi kolektif dan pengakuan wilayah adat berbasis komunitas. Transparansi: Pelibatan masyarakat dalam evaluasi tanah terlantar dan pengambilan keputusan. Penyelesaian Konflik: Mediasi berbasis komunitas dan penguatan lembaga penyelesaian sengketa.
Selanjutnya, yang dapat menjadi solusi hukum bagi persoalan ini sebagai berikut: revisi PP No. 20 Tahun 2021 untuk memasukkan nilai budaya dan spiritual dalam definisi tanah terlantar.
Perlunya integrasi hukum adat ke dalam sistem pertanahan nasional melalui pengakuan kolektif (komunal title). Implementasi Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2019 tentang sertifikat komunal untuk tanah adat.
Sedangkan yang dapat menjadi solusi sosial dan partisipatif antara lain: pemetaan partisipatif bersama masyarakat adat, pembentukan lembaga mediasi konflik agraria independen dan pendidikan hukum agraria bagi masyarakat adat dan petani kecil.
Selain itu, yang dapat menjadi solusi teknokratik dan teknologis antara lain: pengembangan sistem informasi pertanahan digital yang transparan dan terintegrasi. Penambahan tenaga surveyor di daerah prioritas. Perlunya kolaborasi dengan universitas dan LSM untuk penguatan kapasitas lokal.
Kesimpulan
Kebijakan Gemapatas 2025 dan penanganan tanah terlantar merupakan langkah strategis dalam mewujudkan reforma agraria yang adil dan berkelanjutan di Indonesia. Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kemampuannya dalam mengatasi ketimpangan struktural, mengakui pluralitas hukum, dan menjamin partisipasi masyarakat.
Dalam sepuluh tahun ke depan, keberhasilan implementasi kebijakan ini akan di tentukan oleh: integrasi hak-hak masyarakat adat ke dalam sistem hukum nasional, revisi regulasi untuk mengakomodasi nilai-nilai budaya dan spiritual dalam pengelolaan tanah, peningkatan kapasitas kelembagaan dan teknologi informasi, pendekatan partisipatif dan transparan dalam setiap tahap kebijakan.
Studi komparatif menunjukkan bahwa pengakuan hukum terhadap tanah adat dan pemetaan partisipatif adalah kunci keberhasilan reforma agraria yang adil dan berkelanjutan. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan yang lebih adaptif, inklusif, dan berkeadilan dalam menata ulang struktur agraria nasional demi kesejahteraan seluruh rakyatnya.
(*) Arkilaus Baho adalah penulis artikel ini. Ia adalah aktivis Papua yang meminati studi dinamika politik nasional dan internasional.
