Gambar ilustrasi (doc : wenebuletin)
KABUPATEN Intan Jaya, Papua Tengah, telah berubah menjadi panggung tragedi kemanusiaan yang berkepanjangan, di mana warga sipil terus menjadi korban utama dari konflik bersenjata yang tak berkesudahan.
Sejak akhir tahun 2019, wilayah ini di landa kekerasan antara aparat keamanan Indonesia dan kelompok pejuang bersenjata Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), menyebabkan ribuan jiwa mengungsi, kehilangan nyawa, tempat tinggal, dan akses terhadap layanan dasar.
Sebuah studi komprehensif berjudul “Intan Jaya dalam Kobaran Api: Kronologi Konflik, Duka Warga Sipil, dan Upaya Penanganan yang Belum Usai” yang penulis lakukan, menyajikan gambaran utuh mengenai kompleksitas konflik ini hingga Oktober 2025.
Konflik di Intan Jaya memanas sejak akhir 2019. Dipicu oleh peristiwa pembunuhan tiga pengemudi ojek di Distrik Sugapa. Insiden ini menjadi katalisator bagi spiral kekerasan yang sulit di kendalikan.
Situasi semakin memburuk pada periode 2020-2021 dengan pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani yang menggemparkan masyarakat. Hingga empat tahun berselang, keadilan belum kunjung di temukan, menunjukkan adanya impunitas yang menggerogoti penegakan hukum di wilayah konflik.
Laporan Human Rights Monitor (HRM) mencatat setidaknya 60 eksekusi di luar hukum terhadap orang asli Papua antara Februari 2020 dan Juni 2024.
Pemerintah Indonesia merespons dengan peningkatan kehadiran pasukan keamanan dan menetapkan TPNPB sebagai organisasi teroris pada April 2021, Namun langkah ini justru memperparah eskalasi kekerasan.
Operasi Bumi Hangus, Siklus Kekerasan dan Dampak Kemanusiaan
Memasuki tahun 2022-2023, intensitas kekerasan meningkat tajam. Puncaknya adalah operasi keamanan besar-besaran pada April 2023, yang di dokumentasikan mendalam oleh HRM dalam laporannya “Bumi Hangus”.
Operasi ini melibatkan penggerebekan di empat desa di Intan Jaya, menghancurkan dan membakar setidaknya 28 rumah warga sipil. Empat warga desa di laporkan di eksekusi di luar hukum, dan tiga lainnya, termasuk dua anak di bawah umur, mengalami luka-luka. HRM menduga pola dan skala serangan ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dampak kemanusiaan sangat mendalam: lebih dari 3.000 masyarakat asli Papua terpaksa mengungsi ke hutan atau kabupaten lain. Kondisi pengungsian sangat memprihatinkan, dengan minimnya bantuan, kekurangan makanan, layanan kesehatan, dan pendidikan.
Tahun 2024 menyaksikan siklus kekerasan yang terus berlanjut. Antara 19-23 Januari 2024, terjadi serangkaian bentrokan bersenjata yang menewaskan warga sipil, termasuk Yusak Sondegau dan dua anak.
Insiden ini memicu pengungsian ratusan warga. Laporan ACAPS pada Oktober 2024 memperkirakan total pengungsi internal (IDPs) di seluruh Papua mencapai hampir 80.000 orang, dengan Intan Jaya menjadi salah satu penyumbang terbesar.
Kondisi para pengungsi sangat memprihatinkan, menghadapi kesulitan akses terhadap kebutuhan dasar dan layanan kesehatan, serta pendidikan yang terputus.
Puncak ketegangan terjadi pada pertengahan Oktober 2025, ketika operasi militer besar-besaran TNI di Kampung Soanggama mengakibatkan jatuhnya puluhan korban jiwa. Meskipun TNI melaporkan 14 anggota OPM tewas, Komnas HAM serta Tim Mediasi Konflik Papua menyampaikan keprihatinan dan menegaskan bahwa korban tewas merupakan sebagian besar warga sipil, termasuk seorang ibu rumah tangga.
Anggota DPR RI dari Papua, Thobias Bagubau, kemudian menegaskan dan mempertanyakan, “Sampai kapan rakyat jadi korban?”
Upaya Penanganan Belum Efektif dan Seruan Perubahan
Studi ini menyoroti bahwa upaya penanganan oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten masih bersifat parsial, reaktif, dan belum menyentuh akar masalah.
Pendekatan keamanan yang dominan belum mampu menghentikan siklus kekerasan. Pembatasan akses bagi jurnalis dan LSM, serta lingkungan informasi yang tertutup, semakin memperburuk situasi dan menghambat akuntabilitas.
Bupati Intan Jaya, Aner Maisini, dengan tegas menyerukan agar pendekatan keamanan dilakukan secara lebih humanis dan berkeadilan, serta melibatkan pemerintah daerah dalam perencanaan kebijakan keamanan.
Seruan itu didukung oleh mahasiswa Intan Jaya di Timika yang mendesak pemerintah untuk tidak bungkam.
Jalan Panjang Menuju Perdamaian: Rekomendasi Mendesak
Untuk keluar dari jerat kekerasan, studi ini merekomendasikan perubahan paradigma fundamental:
Pertama, Jeda Kemanusiaan (Humanitarian Pause). Di perlukan jeda yang di jamin semua pihak untuk memungkinkan bantuan kemanusiaan mencapai semua korban dan memulihkan layanan dasar.
Kedua, Pembukaan Akses. Pemerintah pusat harus membuka diri untuk akses yang lebih luas bagi media nasional dan internasional, lembaga HAM, serta organisasi kemanusiaan. Transparansi adalah kunci untuk membangun kepercayaan.
Ketiga, Dialog Inklusif dan Tanpa Syarat. Dialog antara pemerintah, pemimpin masyarakat adat, dan perwakilan kelompok pro-kemerdekaan harus segera di inisiasi, di fasilitasi oleh pihak netral untuk menemukan solusi politik berkelanjutan.
Keempat, Akhiri Impunitas. Penyelidikan independen dan adil atas pelanggaran HAM berat di masa lalu dan sekarang adalah keharusan untuk memberikan keadilan bagi korban dan mencegah terulangnya kekerasan.
Tanpa langkah-langkah berani dan transformatif, Intan Jaya akan terus terbakar, dan generasi mendatang di Papua akan terus mewarisi siklus kekerasan dan duka yang tidak pantas mereka terima.
(*) Arkilaus Baho adalah penulis artikel ini. Dia adalah aktivis Papua yang fokus pada isu-isu ekonomi-politik dan hak-hak masyarakat adat, penggagas Dewan Rakyat Papua (DRP).
