Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
MANOKWARI adalah wajah dari Provinsi Papua Barat, sebuah kabupaten yang menyimpan rangkaian sejarah panjang masuknya peradaban baru dan pekabaran Injil di Tanah Papua.
Karena itu Manokwari juga dikenal sebagai Kota Injil dan Kota Peradaban orang Papua lantaran warisan histori religi, serta pemerintahan kolonial Belanda hingga Indonesia yang melekat.
Dengan letak geografis yang strategis, kekayaan alam yang melimpah, dan statusnya sebagai pusat pemerintahan provinsi (sebelum pemekaran Papua Barat Daya dengan ibukota di Sorong), Manokwari seharusnya tampil sebagai daerah yang maju.
Namun sayang, kenyataan di lapangan berbeda. Sudah lebih dari 10 tahun, bahkan mendekati 15 tahun, Manokwari nyaris stagnan. Pembangunan tersendat, infrastruktur terbengkalai, dan wajah kota tak banyak berubah.
Jika kita berjalan-jalan untuk memotret Kota Manokwari di sejumlah sisi, kita akan menemukan fakta dan kesan yang memprihatinkan. Kota yang di tahun 80an hingga 90an mencapai kejayaannya ini malah terseok-seok, tak terawat dan makin tak tertata.
Persoalan yang menderanya kini banyak. Soal sejumlah fasilitas publik yang tidak terawat, jalan utama yang penuh sampah, lingkungan pemukiman yang kotor atau tak tertata, kawasan hutan penyangga beserta sungai yang kian rusak, sejumlah sektor pelayanan publik yang mandek, dan lain-lain.
Pertanyaannya: mengapa daerah sepenting Manokwari seperti jalan di tempat? Mengapa Manokwari yang disebut “Kota Bersejarah” (Bersih, Rapih, Sejahtera, Aman dan Harmoni) kini mulai tak elok di pandang?
Alasan Klise: Kas Daerah Minim
Sering kali, alasan klasik yang disampaikan para pemimpin adalah “minimnya kas daerah.” Tapi benarkah itu akar masalahnya?
Prof. Sri Mulyani Lubis, ekonom dari LPEM UI, menyebut bahwa alasan “kas daerah minim” tidak bisa diterima begitu saja.
“Setiap daerah di Indonesia, termasuk di Tanah Papua, mendapat dana transfer pusat yang sangat besar setiap tahun. Ada Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Otsus, hingga DAK. Masalah utamanya bukan jumlah dana, tapi kemampuan menyerap dan mengelolanya,” ujarnya.
Banyak pihak menduga, lemahnya pembangunan di Manokwari bukan karena kekurangan uang, tapi karena salah urus, rendahnya kapasitas birokrasi, dan mungkin juga kebocoran anggaran karena infisiensi dan penyakit korupsi.
Mari kita cermati data statistik. Kabupaten Manokwari saat ini memiliki luas wilayah 2.763,02 km², menjadikannya salah satu wilayah administratif penting di Provinsi Papua Barat.
Berdasarkan estimasi pertengahan tahun 2024, jumlah penduduk Kabupaten Manokwari mencapai 204.106 jiwa, meningkat dari 192.663 jiwa pada tahun 2020.
Dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk berkisar di angka 1,49% per tahun, yang menunjukkan tren pertumbuhan moderat. Menurun dari angka pertumbuhan tinggi pada periode 2007-2011 (sekitar 3,3% per tahun sebelum pemekaran wilayah).
Secara implikasi, pertumbuhan penduduk yang stabil ini memberi peluang bagi Manokwari untuk membangun secara lebih terukur.
Namun, peningkatan jumlah penduduk juga menuntut pelayanan publik, infrastruktur dasar, jaringan air bersih, dan perumahan yang semakin memadai, khususnya di wilayah urban seperti Manokwari Kota yang punya kepadatan penduduk tinggi.
Karakteristik geografis Manokwari yang berbukit dan kecederungan peningkatan penduduk (aspek demografi) yang demikian, menuntut kapasitas anggaran daerah (porsi APBD) yang perlu memadai untuk menunjang pembangunan dan pelayanan publik.
Selanjutnya jika dilihat dari struktur APBD Manokwari, sejak 2022 tercatat sebesar Rp 1.170,96 miliar, turun dari Rp 1.358,55 miliar pada 2021. Dari jumlah itu, sebagian besar sumber pendapatan daerah (lebih dari 91%) masih berasal dari transfer pusat, termasuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Insentif Daerah.
Komposisi Belanja Daerah 2022 sebagian besar masih berfokus pada belanja pegawai (35%), belanja barang dan jasa (28%), belanja modal (20%), hingga belanja lainnya (hibah, bansos, bunga).
Masih tingginya ketergantungan pada dana transfer dari pemerintah pusat mencerminkan lemahnya kemandirian fiskal daerah. Situasi ini umumnya terjadi di sejumlah daerah di Indonesia dan Tanah Papua.
Belanja pegawai yang tinggi juga menandakan bahwa sebagian besar anggaran daerah masih terserap untuk belanja rutin. Bukan untuk pembangunan langsung atau peningkatan layanan publik. Hal ini menjadi tantangan dalam membangun daerah yang otonom secara fiskal.
Selama ini yang menjadi sumber kemasukan bagi Kabupaten Manokwari terdiri dari pajak daerah, retribusi, pemanfaatan kekayaan daerah, pendapatan lain-lain yang sah, hingga dana transfer dari Pemerintah Pusat dan Provinsi (91-93 persen dari postur APBD).
Data juga menunjukan PAD Kabupaten Manokwari dalam 5 tahun terakhir masih menunjukkan trend naik-turun (fluktuasi) yang signifikan: tahun 2020 (88,12 milyar), 2021 (102,68 milyar), 2022 (82,75 milyar), dan pada 2025 ditargetkan sebesar 95 milyar.
Sebagai contoh, pada 2022 komposisi PAD Kabupaten Manokwari terlihat sebagai berikut: perolehan pajak daerah sebesar Rp 57,17 miliar (69%), retribusi daerah sebesar Rp 4,29 miliar (5,2%), hasil pengelolaan kekayaan daerah sebesar Rp 4,23 miliar (5,1%), lain-lain pendapatan asli yang sah: Rp 17,06 miliar (20,6%).
Dari data tersebut, PAD Manokwari mengalami penurunan hampir 19 persen dari 2021 ke 2022. Ini menunjukkan penurunan efektivitas pengelolaan potensi pendapatan lokal. Atau dampak dari kondisi ekonomi makro, termasuk pandemi dan transisi struktural pasca pemekaran wilayah.
Ketergantungan yang tinggi pada pajak daerah dan komponen lain-lain, menunjukkan belum optimalnya diversifikasi sumber PAD, seperti pemanfaatan kekayaan daerah dan inovasi retribusi sektor jasa, pasar, atau pariwisata.
Fluktuasi PAD juga menjadi alarm bagi pentingnya perencanaan fiskal yang lebih kuat dan upaya peningkatan kualitas basis data pajak/retribusi.
Selama ini Pemerintah Kabupaten Manokwari belum sepenuhnya mengelola sejumlah potensi yang ada secara maksimal untuk meningkatkan PAD. Misalnya, sektor pariwisata alam dan budaya yang masih bisa dikembangkan (pantai, hutan, budaya masyarakat Arfak,dll).
Pemda juga belum optimal dalam pengelolaan aset dan lahan produktif (pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan), potensi perikanan dan kelautan, serta digitalisasi pelayanan beserta pajak daerah agar tercipta efisiensi.
Dari analisis ini, terlihat bahwa Pemda Kabupaten Manokwari masih menghadapi kendala lemahnya kemandirian fiscal, fluktuasi PAD dan belum stabilnya sumber penerimaan daerah, tingginya belanja pegawai dibanding belanja pembangunan dan pelayanan publik.
Selain itu belum optimalnya pengelolaan aset dan potensi ekonomi lokal. Keterbatasan kapasitas birokrasi daerah dalam menyusun strategi peningkatan pendapatan dan efisiensi belanja juga menjadi kendala tersendiri.
Sudut Pandang Administrasi Publik: Kepemimpinan yang Lemah
Dr. Budi Santosa, ahli kebijakan publik dari UGM, menyebutkan bahwa gejala seperti ini sering terjadi di daerah yang mengalami “defisit kepemimpinan.”
Ia mengatakan, “Pemimpin daerah seharusnya bertindak sebagai manajer pembangunan. Jika hampir 15 tahun tidak ada perubahan signifikan, berarti ada masalah serius dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan publik.”
Di Manokwari, sebagian besar proyek infrastruktur dasar seperti jalan lingkungan, drainase, sanitasi, hingga penataan pasar rakyat masih belum menunjukkan perbaikan. Wajah kota masih sama, bahkan beberapa fasilitas publik tampak terbengkalai dan terdegradasi karena kurangnya perawatan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kepala daerah tidak cukup inovatif dalam memanfaatkan potensi, tidak membangun sinergi lintas sektor, dan gagal menciptakan arah pembangunan jangka panjang.
Minim Transparansi, Rawan Korupsi, Kepercayaan Rakyat Hilang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam laporan tahunan menyebut bahwa sebagian besar daerah yang minim pembangunan adalah daerah yang lemah dalam akuntabilitas dan transparansi anggaran. Di beberapa kabupaten, termasuk di Papua Barat, terdapat laporan penggunaan dana Otsus yang tidak jelas output dan dampaknya.
Prof. Yenti Garnasih, pakar hukum pidana ekonomi, menyebut bahwa daerah seperti Manokwari perlu diawasi secara ketat. “Bukan hanya soal fisik yang tak terbangun, tapi perlu ditelusuri ke mana aliran dana selama belasan tahun ini. Jika tidak ada hasil pembangunan, maka patut diduga ada kebocoran atau ketidakefisienan besar,” ungkapnya.
Di sisi lain, pengawasan internal sering lemah. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) memang memberi opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau bahkan WTP kepada Manokwari, namun ini tak selalu mencerminkan pembangunan yang benar-benar dirasakan rakyat.
Di berbagai kampung dan distrik, masyarakat mulai bersuara. Mereka kecewa karena jalan rusak dibiarkan, saluran air bersih (PDAM) tidak merata, listrik belum menjangkau semua wilayah, dan pelayanan publik tetap buruk.
Dalam perbincangan dengan Mama-mama pedagang Papua yang selama ini masih berjualan di tepi jalan di area Sanggeng karena masih menunggu proses pembangunan Pasar Sentral Sanggeng, kerap menyampaikan bahasa sindiran: “Dorang datang minta suara, tapi lupa datang saat kami butuh pembangunan.”
Dr. Ignatius Reiner, sosiolog dari Universitas Atma Jaya Jakarta, mengatakan, “Stagnasi pembangunan dalam waktu lama bisa menghancurkan rasa percaya publik terhadap negara. Masyarakat bisa apatis, atau justru menciptakan perlawanan sosial.”
Yang lebih menyakitkan, banyak warga membandingkan Manokwari dengan daerah lain di Papua Barat seperti Sorong atau Fakfak yang kini lebih hidup, lebih teratur, ritme ekonominya lebih berkembang, dan mengalami kemajuan fisik maupun pelayanan sosial.
Politik Identitas dan Popularitas Kosong: dimana rasa malu pemimpin?
Masalah utama lainnya adalah bagaimana pemimpin dipilih. Dr. Rizal Mulyawan, psikolog politik dari UNAIR, mengatakan bahwa masyarakat sering memilih berdasarkan sentimen etnis, agama, atau karena hubungan kekeluargaan.
“Pemimpin terpilih bukan karena program, tapi karena rasa kekerabatan. Akibatnya, yang berkuasa tidak merasa harus memberikan hasil karena dukungan sudah dijamin,” jelasnya.
Popularitas mengalahkan kapasitas. Inilah penyakit laten yang membuat daerah seperti Manokwari tertahan dan seolah masih berjalan di tempat. Demokrasi lokal pun berubah menjadi formalitas tanpa substansi. Dibiarkan saja begitu.
Dalam banyak budaya di Indonesia, terutama di Papua, rasa malu adalah nilai luhur yang sangat dijunjung tinggi. Seorang pemimpin yang gagal, apalagi memalukan rakyatnya, akan dengan sadar mengundurkan diri atau meminta maaf.
Namun, dalam praktik politik modern, nilai ini seolah luntur. Kepala daerah tetap duduk di kursi empuk, walau daerahnya terpuruk.
Seorang tokoh masyarakat di Manokwari pernah berkata, “Kalau tidak mampu bangun kota, lebih baik mundur. Jangan bikin malu kami tiap tahun. Orang luar datang ke kota, lihat tidak ada perubahan. Mereka pikir kami bodoh, padahal yang bodoh itu pemimpinnya.”
Kalimat ini mencerminkan luka kolektif masyarakat. Mereka merasa tertinggal bukan karena kurang daya, tapi karena mereka dikhianati oleh pemimpin yang tidak bertanggung jawab dan tidak memiliki kapasitas membangun!
Meski kelam, harapan tidak boleh padam. Masyarakat Manokwari kini mulai bersuara lebih aktif. Kelompok pemuda, tokoh gereja, LSM lokal, dan bahkan media perlu mendorong transparansi anggaran, mengkritisi kebijakan pembangunan, dan memantau kinerja pejabat publik.
Menurut penulis, langkah yang bisa ditempuh untuk memperbaiki kondisi Manokwari saat ini meliputi: perlunya audit total terhadap penggunaan anggaran 10 tahun terakhir oleh lembaga independen guna melihat kendala stagnasi anggaran.
Perlunya partisipasi masyarakat dalam perencanaan anggaran (Musrenbang yang substansial, bukan formalitas). Dorongan kepada DPRD untuk perlu bersikap lebih kritis, bukan hanya sebagai stempel kebijakan eksekutif.
Ke depan perlu didorong atau dimunculkan calon pemimpin baru dengan kapasitas yang mumpuni, bukan sekadar karisma. Pentingnya edukasi politik rakyat agar tidak memilih berdasarkan uang, relasi primordial, identitas sektarian, patronisme dan lain-lain.
Manokwari adalah simbol sejarah dan peradaban di Tanah Papua. Jangan biarkan kota ini menjadi simbol kegagalan dan stagnasi. Pemimpin yang tidak mampu membangun daerah seharusnya malu dan rasa malu itu harus menjadi titik tolak perubahan.
Jika pemimpin tidak punya rasa malu, maka rakyat harus bersuara. Jika pejabat tidak bisa mengelola dana, maka masyarakat berhak mengevaluasi dan mengganti.
Jangan biarkan alasan klasik “kas daerah minim” terus digunakan untuk menutupi ketidakmampuan yang sistematis.
Sudah saatnya Manokwari bangkit. Bukan karena uang yang lebih banyak, tapi karena pemimpin yang lebih mampu dan bertanggung jawab. Semoga…!!!
(*) Nikodemus Kambu adalah penulis atikel ini. Dia seorang pensiunan guru yang berdomisili di Amban Manokwari dan ketua Yayasan Wion Susai Papua.
