Perampasan lahan dan deforestasi untuk Proyek Stategis Nasiomal (PSN) di Merauke dan Papua secara keseluruhan telah menciptakan persoalan ekologis dan kemanusiaan (Doc Photo: Ulet Infansasti/Greenpeace Indonesia)
PAGI di Tanah Papua selalu dimulai dengan cahaya yang menyentuh puncak-puncak gunungnya lebih dulu daripada tempat lain di Indonesia.
Kabut tipis mengambang di atas rimba, suara burung cenderawasih menggema dari pepohonan, dan sungai-sungai mengalir membawa cerita nenek moyang.
Namun di balik keindahan itu, ada luka yang menganga. Luka yang tak pernah benar-benar sembuh sejak kaki kolonial pertama menjejak tanah ini.
Sejak berabad-abad lalu, masyarakat adat di berbagai belahan dunia menghadapi nasib yang sama: tanah mereka dirampas, hutan dibabat, laut diracuni, budaya dimarginalkan, dan eksistensi mereka perlahan dihapus.
Di Papua Barat (West Papua), wajah penjajahan itu begitu telanjang. Dimulai dari kolonialisme Eropa, lalu berlanjut ke kolonialisme Indonesia, kini hadir pula wajah baru: kapitalisme ekstraktif yang rakus dan militerisme yang menakutkan.
Semua bekerja dalam satu mesin: proyek besar yang mengatasnamakan “pembangunan”. Sebuah terminologi yang sebenarnya lebih berdampak negatif: eksploitasi sumber daya alam, penghancuran, marginalisasi hingga pelanggaran hak asasi manusia.
Jadi “pembangunan” dalam konteks pendudukan dan kolonialisme Indonesia di Tanah Papua sebenarnya bukan bertujuan positif: membangun, memberdayakan, memanusiakan manusia Papua, atau melindungi alam dan lingkungan hidup.
Bayang-Bayang Kolonialisme yang Tak Pernah Hilang
Sejak integrasi paksa Papua ke Indonesia, tanah adat menjadi komoditas, dan manusia pemiliknya seringkali diperlakukan sebagai penghalang kemajuan.
Perusahaan raksasa, dari tambang emas Freeport di Timika, kilang gas BP Tangguh di Teluk Bintuni, perkebunan sawit di Boven Digoel, hingga tambang nikel di Raja Ampat, menguasai lahan yang dulunya adalah sumber hidup bagi suku-suku adat.
Negara dan Pemerintah Indonesia telah membuka jalan selebar-lebarnya bagi modal besar melalui kebijakan seperti Omnibus Law, Undang-Undang Minerba, hingga Proyek Strategis Nasional (PSN).
Pemekaran wilayah atau daerah otonomi baru (DOB) dalam wujud provinsi dan kabupaten baru pun kerap dijadikan dalih “pemerataan pembangunan”. Padahal di lapangan justru memecah masyarakat, mempermudah masuknya investasi, dan memperluas kontrol militer yang lebih luas.
Militer organik dan non-organik hadir bukan sekadar sebagai penjaga “keamanan”, tetapi juga sebagai alat represi. Dari Nduga hingga Maybrat, laporan Komnas HAM dan organisasi masyarakat sipil mencatat kekerasan, pembunuhan, pengusiran, dan intimidasi.
Dalam logika kekuasaan ini, tanah adat harus tunduk pada logika pasar; manusia adat harus menyingkir demi tambang, perkebunan, atau infrastruktur.
Pada 9 Agustus 2025, di berbagai wilayah Papua, bendera-bendera organisasi adat berkibar. Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP) dan Masyarakat Adat Independen Papua (MAI-P) menggelar aksi dan diskusi. Bukan untuk merayakan, tetapi untuk memperingati luka yang tak kunjung kering.
Di Timika, Jomiu Tabuni, koordinator MAI-P, membacakan seruan yang berderet panjang, mulai dari penutupan PT Freeport, penolakan proyek pangan raksasa Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke, penghentian eksploitasi Blok Wabu di Intan Jaya, hingga penolakan tambang nikel di Raja Ampat.
Semua punya benang merah yang sama: tanah adat dirampas, lingkungan rusak, dan masyarakat adat tersingkir.
Di Jayapura, FIM-WP menegaskan tuntutan agar Indonesia mengesahkan RUU Masyarakat Adat dan mencabut Omnibus Law.
Mereka juga menegaskan hak penentuan nasib sendiri masyarakat Papua, hak untuk merdeka dan berdaulat atas tanah air mereka, seperti yang diatur jelas dalam Piagam PBB dan berbagai konvensi internasional.
“Penderitaan masyarakat adat Papua Barat adalah potret luka kolonialisme yang belum sembuh,” demikian pernyataan pers rilis FIM-WP.
Jeritan yang Didengar PBB
Awal Juli 2025, Jayapura, Papua, menjadi tuan rumah pertemuan yang jarang terjadi atau dirasa hampir tidak mungkin terjadi sebelumnya. Lantaran sulitnya akses langsung pihak internasional atas situasi Papua.
Albert K. Barume, Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat yang berasal dari Congo, Afrika, duduk mendengarkan kisah-kisah yang jarang lolos dari sensor Pemerintah Indonesia.
Korban kekerasan, pemilik tanah yang kehilangan hutan, perempuan yang menderita akibat pelanggaran hak asasi manusia, semuanya berbicara.
Victor Yeimo, juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB), menyerahkan dokumen berisi lima tuntutan mendesak, termasuk permintaan kunjungan resmi PBB ke Papua dan penghentian kerja sama PBB dengan institusi pelanggar HAM.
Bagi Yeimo, kehadiran Barume membuktikan bahwa alasan “keamanan” untuk menolak akses internasional ke Papua hanyalah dalih. Barume sendiri mencatat bahwa kasus Papua mencerminkan kegagalan sistemik perlindungan masyarakat adat di bawah kerangka negara Indonesia.
Data menunjukkan 14 kali permintaan kunjungan Komisi HAM PBB ditolak. Rekomendasi internasional dari Pacific Islands Forum hingga ACP Group pun diabaikan. “Papua bukanlah tanah kosong, dan manusia adat Papua bukan objek kebijakan,” ujar Barume.
Kapitalisme, Militerisme, Kehancuran dan Perlawanan
Sementara itu, jauh di selatan, di Merauke, cerita lain bergulir. Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mengembangkan perkebunan pangan dan energi di wilayah adat Marind telah mengubah wajah tanah itu. Lebih dari 1,2 juta hektare tanah adat dialokasikan; hutan sagu berubah menjadi kebun tebu, sungai-sungai tercemar limbah.
Sembilan Pelapor Khusus PBB menulis surat kepada Pemerintah Indonesia dan PT Global Papua Abadi, mempertanyakan pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan. Namun, jawaban pemerintah justru membantah semua tuduhan tanpa bukti konkret.
Solidaritas Merauke menyebut respons itu “bertentangan dengan konstitusi, rekomendasi Komnas HAM, dan standar HAM internasional.”
Bagi masyarakat Marind, tanah bukan sekadar aset. Tanah adalah tubuh, rumah, dan jiwa. Ketika tanah diambil, identitas ikut tercabut. “Dulu kami makan dari sagu dan ikan sungai. Sekarang semua tinggal cerita,” kata Marta Samkakai, perempuan Marind dari Muting.
Apa yang terjadi di Papua hari ini adalah kombinasi mematikan antara kapitalisme ekstraktif dan militerisme. Negara dan Pemerintah Indonesia bertindak sebagai perantara modal global, memuluskan jalan dengan regulasi, proyek infrastruktur, dan operasi keamanan.
Korporasi memanfaatkan celah ini untuk mengeruk kekayaan alam tanpa mempertimbangkan keberlanjutan atau hak-hak masyarakat adat Papua. Namun, di tengah tekanan itu, perlawanan tetap ada.
Suku Awyu di Boven Digul, Selatan Papua, menggugat perkebunan sawit PT Indo Asiana Lestari di Boven Digoel. Suku Moi di Sorong menolak konsesi PT Hutan Hijau Papua Barat. Perempuan Marind di Merauke menolak menyerahkan tanah leluhur mereka.
Sementara di berbagai tempat di tanah Papua, penindasan, marginalisasi, penciptaan ketergantungan pangan maupun barang-barang dari luar dan kontrol atas aktivitas ekonomi masih dialami penduduk asli Papua.
Situasi ini menyebabkan penduduk asli Papua, terutama para perempuan dan mama-mama Papua yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga-keluarga Papua, menjadi pihak yang paling menderita, tertindas dan termarginalkan.
Meski begitu, gerakan dan perjuangan untuk emansipasi kePapuaan di sektor ekonomi, politik dan budaya, kini terus meningkat, di tengah tekanan maupun represi Pemerintah Indonesia.
Masyarakat adat Papua tidak hanya berjuang untuk mempertahankan tanah, tetapi juga untuk mempertahankan hak untuk hidup sesuai cara mereka sendiri, hak yang dijamin hukum internasional.
Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV) tahun 1960 menegaskan semua bangsa berhak merdeka. Konvensi ILO No. 169 Pasal 3 menjamin hak menentukan nasib sendiri bagi masyarakat adat.
Namun di tanah ini, janji-janji hukum sering kandas di hadapan realitas kekuasaan negara dan pemerintah Indonesia. Selama alam, tanah, hutan, dan laut masih dirampas; selama militerisasi masih membelenggu; selama rakyat adat masih dipinggirkan, perjuangan akan terus menyala.
Seperti yang dikatakan seorang tetua adat di Merauke: “Kami ini bukan tamu di tanah ini. Kami adalah tanah itu sendiri. Kalau tanah ini hilang, kami pun hilang. Itulah sebabnya kami akan bertahan, sampai napas terakhir.”
(*) Julian Haganah Howay adalah penulis artikel ini. Ia seorang wartawan, aktivis dan pemimpin redaksi Wene Buletin (www.wenebuletin.com).
