Gambar ilustrasi prajurit TNI (doc : Antara)
HUJAN turun perlahan membasahi perbukitan karst, lembah dan hutan pegunungan di Maybrat, membasuh sisa arang dari rumah-rumah di perkampungan yang pernah berdiri kokoh.
Di kampung-kampung yang kini masih ditinggal warganya karena mengungsi paska konflik Maybrat yang pecah di awal September 2021.
Di bawah langit kelabu, para pengungsi masih menunggu kabar tentang tanah yang dulu mereka panggil rumah.
Di atas tanah itu, para pejabat bicara tentang investasi dan masa depan. Sementara dari reruntuhan hutan, suara masyarakat adat berbisik: “Kami belum merdeka di tanah sendiri.”
Langit di atas Maybrat sering mendung menjelang sore. Awan-awan berat menggantung di atas lembah, seolah menahan napas, menunggu sesuatu yang tak kunjung reda. Di kejauhan, suara anak-anak tertawa samar di antara gemericik hujan.
Tapi di sela tawa itu tersimpan kisah panjang tentang luka dan kehilangan. Inilah Maybrat, tanah karst yang subur dan kaya, namun terus bergulat dengan paradoks antara janji pembangunan, kemakmuran dan kenyataan pahit konflik yang belum usai.
Kabupaten yang baru beberapa tahun berdiri di Provinsi Papua Barat Daya ini kini menjadi cermin dari pergulatan besar Papua: pertarungan antara pembangunan dan kemanusiaan.
Sebuah laporan berjudul “Kontradiksi Janji Kemakmuran Investasi vs. Realitas Konflik & Perampasan Hak” mengurai dengan getir bagaimana impian kesejahteraan sering berbalik menjadi sumber ketegangan dan ketidakadilan.
Secara geografis, Maybrat adalah tanah yang diberkahi. Hutan lebat membentang, tanahnya subur, dan sungai-sungai kecil yang jernih keluar dari hutan perbukitan bebatuan karst, mengalir di antara kebun dan kampung.
Dalam kacamata ekonomi, potensi ini adalah “surga investasi.” Perusahaan raksasa seperti PT Putera Manunggal Perkasa (PMP), PT Permata Putera Mandiri (PPM) di bawah naungan ANJ Group, dan PT Pusaka Agro Sejahtera telah menancapkan kaki di sini. Membawa bendera pembangunan dan janji peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Angka memang tampak menjanjikan: PAD Maybrat mencapai Rp 14,93 miliar per Oktober 2025. Namun di balik catatan angka itu, terdapat bayangan panjang: tingkat kemiskinan yang masih berada di 29,18% dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang masih rendah di Papua Barat Daya.
Bagi masyarakat adat, angka itu tak banyak berarti ketika tanah yang mereka warisi dari leluhur mulai digadaikan atas nama pembangunan dan kemajuan melalui investasi pengurasan sumber daya alam.
“Pembangunan yang datang tanpa mendengar suara orang kampung, itu bukan kemajuan,” ujar seorang pengungsi Maybrat yang kini masih bermukim di Sorong, dengan nada getir.
Ia menunjuk ke arah hutan di kejauhan, tempat dulu mereka berburu, kini menjadi lahan perambahan kayu, satwa dan hasil hutan yang dijaga aparat bersenjata dari kesatuan Marinir (TNI AL).
Kini aparat berseragam loreng masih menguasai kampung-kampung di wilayah Aifat, Aifat Timur hingga Aitinyo. Membangun pos militer, menempatkan personil dan mencoba membaur menjadi bagian dari warga lokal.
Ketika Pembangunan Membawa Senjata
Konflik di Maybrat bukan sekadar catatan keamanan di media, tetapi denyut hidup sehari-hari. Dari Kisor Aifat Timur hingga Aitinyo, dentuman senjata telah menjadi gema yang menakutkan.
Insiden serangan terhadap pos Koramil di Kampung Kisor pada awal September 2021 yang menewaskan empat prajurit TNI, disusul penembakan dua prajurit pada April 2025, menjadi titik balik baru dalam spiral kekerasan di Maybrat.
Yang paling menderita bukanlah mereka yang berperang, melainkan warga yang tak bersenjata. Rumah dibakar, barang dijarah, sekolah ditinggalkan, dusun dan ladang terbengkalai.
Data dari berbagai lembaga HAM menunjukkan, sedikitnya 6.000 warga Maybrat masih mengungsi hingga Agustus 2025. Sebagian besar dari mereka tinggal di tenda-tenda darurat, di distrik tetangga, hingga kabupaten tetangga seperti Sorong Selatan, Sorong, Teluk Bintuni dan Manokwari.
Para pengungsi yang paling menderita, umumnya umumnya akses terbatas terhadap pangan, air bersih, dan layanan kesehatan. Menumpang di rumah dan lahan milik kerabat untuk waktu yang tidak pasti.
Seorang mama pengungsi di Sorong Selatan menceritakan bagaimana ia meninggalkan rumahnya di malam hari, hanya berbekal pakaian di badan. “Kami tidak tahu kapan bisa pulang,” katanya lirih. Di matanya, yang mulai keruh dimakan waktu, tergambar jelas kelelahan yang panjang.
Di atas kertas, keamanan adalah prioritas. Tapi di lapangan, masyarakat sipil justru menjadi korban paling nyata dari pendudukan dan operasi militer Indonesia yang diklaim demi stabilitas dan kedaulatan negara.
Dalam laporan berjudul “Kontradiksi Janji Kemakmuran Investasi vs. Realitas Konflik & Perampasan Hak” menyingkap tiga kontradiksi besar yang menjerat Maybrat dalam lingkaran paradoks:
Pertama, Investasi vs Hak Adat. Perluasan perkebunan sawit kerap mengorbankan tanah ulayat, tanpa persetujuan sejati masyarakat adat. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) hanya berhenti di atas kertas. Sementara suara masyarakat terbungkam di bawah tekanan ekonomi dan politik.
Kedua, Pembangunan vs Militarisme. Setiap kali investor datang, aparat bersenjata pun ikut hadir. “Keamanan investasi” menjadi alasan untuk memperluas kehadiran militer, yang justru memperuncing ketegangan dan memperdalam ketakutan di masyarakat.
Ketiga, Kedaulatan vs Kemanusiaan. Pendudukan militer dan operasi keamanan yang digadang-gadang menjaga negara seringkali melupakan perlindungan terhadap warga sipil.
Mereka yang kehilangan rumah, keluarga, dan mata pencaharian seolah tidak tercatat dalam laporan keberhasilan pembangunan.
Mencari Cahaya di Tengah Gelap
Namun di balik semua itu, harapan belum padam. Suara-suara dari kampung masih menyeru agar jalan damai ditempuh.
Sejumlah tokoh adat dan gereja di Maybrat mulai menggagas dialog lokal. Menuntut pemerintah membuka ruang bagi pertemuan yang inklusif, melibatkan kelompok TPNPB OPM, aparat keamanan Indonesia (TNI-Polri), dan masyarakat sipil tanpa rasa curiga.
Namun pertanyaannya, apakah langkah demikian bisa terwujud, jika antara kelompok yang bertikai, tidak terdapat kesamaan pandangan dan titik temu?
Selain itu, desakan muncul agar pemerintah dan aparat penegak hukum melakukan investigasi independen terhadap dugaan pelanggaran HAM, memastikan perlindungan bagi pengungsi, dan mengembalikan hak-hak dasar warga.
Model pembangunan juga perlu dibalik: dari yang eksploitatif menjadi partisipatif. Masyarakat Maybrat telah lama hidup dari kebun, ikan, dan hutan, bukan dari janji penebangan maupun eksploitasi hutan oleh perusahaan, investasi batu bara, lahan sawit dan lain-lain.
Potensi ekowisata, pertanian rakyat, dan pengelolaan sumber daya berbasis hutan adat, danau, perbukitan, sungai dan keunikan budaya masyrakat adat Maybrat, sebenarnya bisa menjadi jalan menuju kemakmuran yang tidak berdarah-darah maupun eksploitatif.
Kini, Maybrat berdiri di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada jalan yang menjanjikan investasi, industri, dan kemakmuran instan. Di sisi lain, ada jalan yang lebih panjang dan berliku: keadilan, rekonsiliasi, dan pembangunan yang menghormati manusia, budaya serta tanahnya.
Pertanyaannya tinggal satu: jalan mana yang akan dipilih? Karena sejarah telah mengajarkan, kemakmuran yang dibangun di atas penderitaan tidak pernah bertahan lama.
Di Maybrat, penggalan dari tanah yang disebut orang sebagai “surga kecil yang jatuh ke bumi”, luka kemanusiaan tidak seharusnya menjadi harga yang dibayar demi kemajuan.
(*) Arkilaus Baho adalah penulis artikel ini. Dia adalah aktivis Papua yang tinggal di Jakarta, meminati studi dinamika politik lokal, nasional dan internasional.
