Gambar ilustrasi (doc : wenebuletin)
DI ufuk timur negeri ini, di mana mentari pertama kali menyapa Indonesia, tanah Papua masih diselimuti kabut duka dan bau darah.
Hutan-hutan tropis yang rimbun kini menjadi tempat pelarian bagi ribuan warga yang mengungsi, menghindari suara tembakan dan deru helikopter militer.
Anak-anak kehilangan masa kecilnya di pengungsian. Mama-mama berjalan bermil-mil mencari tempat aman, dan para lelaki kampung mendaki gunung untuk sekadar bertahan hidup.
Inilah wajah Papua hari ini. Tanah yang katanya “mutiara timur Indonesia,” tetapi kini menjadi cermin retak dari kegagalan negara Indonesia menjaga martabat kemanusiaannya sendiri. Di tengah hiruk-pikuk politik nasional yang sibuk menyoroti Palestina, krisis kemanusiaan di Papua membesar dalam senyap.
Menurut laporan terbaru lembaga kemanusiaan dan jaringan masyarakat sipil Papua, lebih dari 320.000 Orang Asli Papua (OAP) kini hidup sebagai pengungsi internal (IDPs) di berbagai kabupaten konflik.
Yahukimo mencatat sekitar 100.000 pengungsi, Nduga sekitar 80.709, Pegunungan Bintang sekitar 80.000, Intan Jaya dan Puncak lebih dari 60.000, dan Maybrat sekitar 6.000 orang. Sebagian besar dari mereka hidup tanpa akses makanan layak, layanan kesehatan, dan pendidikan.
Ini bukan sekadar angka statistik. Ini potret konkret dari ribuan manusia Papua yang kehilangan segalanya: rumah, kebun, ternak, bahkan harapan. Ini bukti kegagalan sistemik negara Indonesia dalam melindungi warga yang seharusnya ia peluk. Bukan dikejar dengan senjata.
Lebih dari dua dekade lalu, Otonomi Khusus (Otsus) dilahirkan dengan jargon besar: “memberikan keadilan, kesejahteraan, dan martabat bagi orang Papua.” Tetapi dua puluh tahun berselang, yang tersisa hanyalah ilusi kesejahteraan dan retorika pembangunan yang menutupi jurang ketidakadilan.
Negara dan Pemerintah Indonesia mengklaim telah menyalurkan Rp 94,24 triliun dana Otsus (2001–2021). Namun, di balik angka fantastis itu, kemiskinan ekstrem masih mencengkeram lebih dari sepertiga warga Papua.
Di Yahukimo, tingkat kemiskinan mencapai 33,82%, dan angka stunting mencapai 43,6%, salah satu yang tertinggi di Indonesia. Apakah ini yang disebut keberhasilan? Apakah Otsus telah menjawab akar persoalan Papua: kolonialisme internal, ketimpangan struktural, dan perampasan hak masyarakat adat?
Bagi banyak orang Papua, Otsus bukan solusi, melainkan simbol dari pembangunan yang gagal menembus hati rakyat pribumi di neger ini. Papua masih menjadi proyek politik, bukan jalan pembebasan.
Dana besar yang sudah dikucurkan itu tak membangun manusia Papua, melainkan memperkaya elite birokrat dan memperkuat struktur ketergantungan pada pusat.
“Otsus bukan lagi jembatan menuju keadilan, melainkan pagar tinggi yang memisahkan rakyat Papua dari kedaulatannya sendiri.
Papua Berdarah, Palestina Jadi Panggung
Di saat anak-anak Papua kelaparan di tenda pengungsian, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengumumkan rencana investasi 15.000 hektar lahan untuk Palestina.
Pernyataan itu disambut tepuk tangan nasionalisme dan solidaritas global. Tetapi bagi kami di Papua, itu terdengar seperti ironisme moral.
Negara yang gagal memberi makan warganya sendiri justru ingin menjadi penyelamat bagi bangsa lain. Indonesia yang menutup akses jurnalis dan lembaga kemanusiaan di Nduga, malah membuka ladang investasi untuk rakyat di Timur Tengah.
Saya pernah menulis, “Negara ini lebih peduli pada semut di seberang lautan daripada gajah di depan matanya sendiri.”
Saat darah mengering di jalan-jalan Yahukimo dan Nduga, pemerintah berbicara lantang soal kemerdekaan Palestina. Tapi siapa yang memperjuangkan kemerdekaan dari ketakutan bagi rakyat Papua?
Paradoks ini bukan sekadar persoalan moral, tetapi krisis legitimasi. Negara dan Pemerintah Indonesia kehilangan keabsahan moralnya ketika gagal melindungi nyawa rakyat sendiri, sementara sibuk menampilkan citra humanis di panggung dunia.
Ilmuwan politik Jean-Jacques Rousseau menulis bahwa negara lahir dari kontrak sosial antara rakyat dan penguasa. Suatu kesepakatan bahwa kekuasaan dijalankan untuk menjamin hidup dan kebebasan manusia.
Namun di Papua, kontrak itu telah dibatalkan sepihak oleh negara Indonesia sendiri. Negara hadir dengan senjata, bukan dengan roti; dengan operasi militer, bukan operasi kemanusiaan. Padahal konstitusi Indonesia UUD 1945 dengan tegas menjamin hak hidup, keadilan sosial, dan perlindungan terhadap warga negara tanpa diskriminasi.
Kegagalan ini juga menyangkut legitimasi rasional dan moral negara. Dalam kerangka Max Weber, kekuasaan yang sah (legitimate power) harus dijalankan atas dasar kepercayaan rakyat.
Tapi ketika kepercayaan itu lenyap ketika rakyat Papua takut, bukan percaya, maka kekuasaan berubah menjadi represi telanjang. Di Papua hari ini, negara dan pemerintah Indonesia bukan lagi pelindung, tetapi aktor utama yang ditakuti!
Membangun Ulang Kemanusiaan
Situasi Papua hari ini menuntut lebih dari sekadar revisi kebijakan. Diperlukan perubahan paradigma yang radikal, dari politik kekuasaan menuju politik kemanusiaan.
Berikut ada lima langkah mendesak yang saya tawarkan bagi Jakarta, jika masih ingin menyelamatkan sisa legitimasi mereka di tanah Papua:
Pertama, Dialog Damai Inklusif. Pemerintah Indonesia harus berani membuka ruang perundingan tanpa syarat, melibatkan semua pihak. termasuk TPNPB-OPM, gereja, adat, perempuan, dan kelompok sipil, dengan fasilitator netral. Tapi apakah ini mungkin?
Kedua, Penegakan HAM dan Akuntabilitas. Bentuk komisi independen untuk menyelidiki pelanggaran HAM. Hukum harus menatap ke atas, bukan hanya ke bawah!
Ketiga, Akses Kemanusiaan Terbuka. Izinkan lembaga internasional, media, dan relawan masuk ke tanah Papua tanpa batas untuk membantu pengungsi dan korban.
Keempat, Keadilan Ekologis dan Adat. Terapkan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam semua proyek eksploitasi SDA. Kelima, Paradigma Pembangunan Baru. Ubah pendekatan keamanan menjadi pendekatan kemanusiaan: pembangunan yang berakar pada manusia, bukan pada beton dan senjata.
Perlu diingat, ketika sebuah negara-bangsa gagal pada tingkat yang paling fundamental, rakyat yang diabaikan berhak, bahkan wajib mempertanyakan ulang fondasi hubungan politik mereka. Inilah yang patut dipertanyakan rakyat bangsa Papua kepada kehadiran negara Indonesia di tanah mereka.
Tragedi di Papua bukan bencana alam, melainkan bencana politik dan moral. Dan setiap hari kita membiarkan hal ini terjadi, kita sedang menulis ulang sejarah Indonesia dengan tinta pengkhianatan terhadap kemanusiaan.
Di antara jerit anak-anak yang lapar di Nduga dan doa mama-mama di pengungsian Yahukimo, masih tersisa satu pertanyaan yang menggantung di udara: apakah Republik Indonesia masih memiliki hati bagi rakyat Papua?
Terserah. Mau dijawab apa.
(*) Arkilaus Baho adalah penulis artikel ini. Dia dalah aktivis Papua dan penulis yang fokus pada isu ekonomi-politik dan hak masyarakat adat Papua; penggagas Dewan Rakyat Papua (DRP).
